Komitmen dan Sinergi Perlu Diperkuat untuk Atasi Tengkes
Pemerintah serius tangani tengkes. Alokasi anggaran untuk penanganan anak tengkes terus ditambah. Namun, tak hanya anggaran, penanganan tengkes juga perlu komitmen dan sinergi para pemimipin di pusat dan daerah.
Oleh
Nina Susilo
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Alokasi anggaran untuk penanganan anak tengkes (stunting) terus ditambah. Namun, bukan hanya anggaran, penanganan tengkes juga memerlukan komitmen dan sinergi para pemimpin, baik di pemerintah pusat, gubernur, kabupaten/kota, sampai tingkat desa maupun kerja sama semua komponen bangsa lainnya.
Menuju target pengurangan angka tengkes atau anak kerdil akibat kekurangan gizi kronis dengan target 14 persen pada 2024, alokasi anggaran yang disiapkan pemerintah pusat terus bertambah. Apabila tahun lalu alokasi anggaran masih Rp 25,4 triliun, tahun ini disiapkan Rp 27,5 triliun untuk program penanganan tengkes di 260 kabupaten/kota melalui 20 kementerian/lembaga.
Anggaran senilai Rp 27,5 triliun tersebut, menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, dalam Rapat Koordinasi Nasional Percepatan Pencegahan Stunting yang diselenggarakan secara daring, Rabu (21/10/2020), terdiri atas Rp 1,8 triliun untuk intervensi gizi spesifik, Rp 24,9 triliun intervensi gizi sensitif, dan Rp 800 miliar untuk dukungan koordinasi.
Selain itu, masih ada transfer ke daerah dan dana desa (TKDD) yang bisa dimanfaatkan pemerintah daerah untuk menangani tengkes. Pada 2020, TKDD untuk penanganan tengkes mencapai Rp 76,2 triliun. Tahun 2021, TKDD untuk penanganan tengkes naik menjadi Rp 86,2 triliun.
Dengan komitmen yang kuat dari kepala daerah, pencegahan stunting dapat dijadikan sebagai prioritas pembangunan di daerah dan semua sumber daya yang diperlukan dapat dimobilisasi untuk pencegahan stunting.
Wakil Presiden dalam sambutannya menegaskan komitmen pemerintah pusat dalam mengurangi angka tengkes. Dia juga mengapresiasi komitmen pemerintah daerah untuk mengatasi tengkes di wilayah masing-masing.
”Dengan komitmen yang kuat dari kepala daerah, pencegahan stunting dapat dijadikan sebagai prioritas pembangunan di daerah dan semua sumber daya yang diperlukan dapat dimobilisasi untuk pencegahan stunting,” tutur Wapres dari kediaman resmi Wapres, Jakarta, Rabu ini,
Komitmen ini sangat penting. Sebab, tengkes akan mengakibatkan anak-anak memiliki kemampuan kognitif rendah, rentan terhadap penyakit menular, dan saat dewasa berproduktivitas rendah.
Lebih parah lagi, menurut Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, dalam rakornas yang sama, Bank Dunia pernah melansir bahwa dari 137 juta angkatan kerja di Indonesia saat ini, 54 persennya pernah mengalami tengkes dalam seribu hari awal kehidupannya. Karenanya, tengkes diakui sebagai masalah strategis dan harus ditangani secara serius untuk mendapatkan sumber daya manusia yang unggul.
Konvergensi
Kendati demikian, tantangan saat ini adalah memastikan semua program yang alokasi anggarannya ada di berbagai kementerian/lembaga dan pemerintah daerah bisa terintegrasi di suatu wilayah sasaran. Kerap terjadi, satu desa mendapatkan program dari satu kementerian yang fokus pada intervensi gizi spesifik, tetapi tidak menerima program dari kementerian lain yang fokus pada intervensi gizi sensitif. Padahal, semestinya semua program ada secara lengkap di suatu wilayah.
Untuk itu, penyatuan berbagai program atau konvergensi diperlukan. Namun, semua kementerian/lembaga, pemerintah daerah, sampai pemerintah desa harus bersinergi. ”Penurunan prevalensi stunting akan menjadi efektif apabila suatu wilayah menerima keseluruhan program atau kegiatan tadi,” kata Wapres Amin menambahkan.
Intervensi gizi
Sekretaris Eksekutif (Ad Interim) Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan Bambang Widianto menjelaskan, inti dari berbagai macam kegiatan pencegahan stunting adalah intervensi gizi spesifik dan intervensi gizi sensitif.
Intervensi gizi spesifik berupa pemberian suplemen tambah darah untuk remaja; pemberian makanan tambahan, suplemen tablet tambah darah, dan pemeriksaan kehamilan untuk ibu hamil; serta pemberian makanan tambahan dan vitamin untuk bayi dan anak usia balita.
Adapun intervensi gizi sensitif antara lain akses air minum yang aman, akses sanitasi, akses jaminan kesehatan, akses pelayanan keluarga berencana, akses bantuan uang tunai untuk keluarga kurang mampu (PKH), dan akses bantuan pangan nontunai (BPNT).
Inti dari berbagai macam kegiatan pencegahan stunting adalah intervensi gizi spesifik dan intervensi gizi sensitif.
Untuk memastikan konvergensi, menurut Bambang, diperlukan analisis situasi. Pemetaan adanya intervensi apa saja yang sudah dilakukan di setiap desa di suatu kabupaten/kota harus dilakukan. Dengan demikian, program bisa dipantau jelas dan target sedikit demi sedikit tercapai.
Angka tengkes di Indonesia pada 2013 mencapai 32 persen. Pada 2018, angka ini turun menjadi 30,8 persen dan 27,7 persen pada 2019. Ditargetkan, pada 2024, prevalensi tengkes tinggal 14 persen.
Untuk mencapai target itu, lebih jauh Wapres Amin mengatakan, diperlukan kepemimpinan kuat. ”Di berbagai negara yang sukses dalam pencegahan stunting, kepemimpinan yang kuat ini menjadi kunci keberhasilan utama. Kepemimpinan bukan persoalan teknis pencegahan, melainkan pada kemampuan dalam mengoordinasikan begitu banyak lembaga, yang umumnya memiliki kebijakan, program, ataupun anggarannya sendiri,” tuturnya.
Selain itu, usaha bersama menjadi kunci untuk memastikan generasi muda Indonesia akan membawa Indonesia menjadi negara maju. Pandemi Covid-19 pun diharap tidak menghentikan usaha mencegah tengkes. Perlu ada inovasi untuk mendorong warga tetap membawa anak balita ke posyandu kendati tetap ada penerapan protokol kesehatan.