Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menyatakan, sejumlah langkah tak populer dari pemerintah akan terasa manfaatnya beberapa tahun ke depan.
Oleh
RINI KUSTIASIH, FX LAKSANA AGUNG SAPUTRA DAN SUHARTONO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Presiden Joko Widodo tengah menyiapkan landasan bagi Indonesia maju yang berdaya saing pada masa depan. Ini membuat pemerintah mesti mengambil sejumlah langkah yang kini mungkin kurang populis, tetapi akan terasa manfaatnya dalam beberapa tahun mendatang.
”Seorang pemimpin itu, pilihannya dua, mengambil langkah-langkah progresif karena memahami masa depan untuk keberlangsungan bangsa atau sekadar menikmati kekuasaan yang ada saat ini,” kata Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko kepada Kompas di Jakarta, Selasa (20/10/2020).
Hasil jajak pendapat via telepon Litbang Kompas pada 14-16 Oktober 2020 menunjukkan, sebanyak 52,5 persen responden menyatakan tidak puas dengan kinerja pemerintah. Namun, keyakinan publik terhadap pemerintahan Presiden Jokowi dalam mengatasi problem bangsa masih tinggi. Di sektor kesejahteraan sosial, misalnya, 64,7 responden yakin pemerintah dapat menyelesaikan persoalan di bidang itu (Kompas, 20/10).
Seorang pemimpin itu, pilihannya dua, mengambil langkah-langkah progresif karena memahami masa depan untuk keberlangsungan bangsa atau sekadar menikmati kekuasaan yang ada saat ini.
Langkah tak populer
Menurut Moeldoko, Presiden Jokowi bukan model pemimpin yang ingin menikmati kekuasaan sehingga menghindari kebijakan yang banyak menuai pro dan kontra. Presiden berani mengambil langkah yang kini tak populer di mata publik karena ingin bangsa Indonesia siap menghadapi tantangan pada masa depan, yaitu terkait ketatnya persaingan antarnegara.
”Dengan mengambil langkah-langkah yang mungkin tidak populis bagi publik pada tahun pertama ini, tetapi pada empat tahun lagi masyarakat baru merasakan bahwa pilihan itu yang tepat dirasakan rakyat. Inilah visi seorang pemimpin,” ujar Moeldoko.
Langkah yang kurang populis tersebut, di antaranya, merujuk pada Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja yang telah disetujui DPR untuk disahkan menjadi UU. Sejumlah elemen masyarakat, seperti buruh, berunjuk rasa menolak RUU itu karena dinilai merugikan mereka.
Kebijakan lain yang dilakukan Presiden adalah meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui berbagai program kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur.
Langkah itu dimaksudkan untuk mengoptimalkan peluang dari bonus demografi yang dialami Indonesia. Bonus demografi adalah situasi di mana penduduk usia produktif mendominasi penduduk suatu negara. Kondisi itu bisa jadi keuntungan bagi negara jika penduduk usia produktif berkualitas. Namun, juga ini bisa menjadi bencana jika kualitas penduduk usia produktif rendah.
”Bonus demografi kita maknai sebuah peluang yang baik. Tapi, kalau kita tidak siapkan perangkatnya, terus bagaimana?” tanya Moeldoko.
Bonus demografi kita maknai sebuah peluang yang baik. Tapi, kalau kita tidak siapkan perangkatnya, terus bagaimana?
Demokrasi dan keamanan
Terkait dengan penegakan hukum terhadap mereka yang mengkritik pemerintah, yang oleh sejumlah kalangan dinilai berlebihan, Moeldoko mengatakan, tugas pemerintah adalah melindungi segenap warga negara. ”Tugas negara (memastikan) demokrasi berjalan baik dan stabilitas terkendali. Karena, yang dipikirkan 270 juta jiwa. Kalau yang merusak sebagian kecil, tetapi mengganggu yang lain, gimana? Apa terus silent majority tak diberi hak?” ucapnya.
Di tengah pandemi ini, menurut Moeldoko, Presiden tetap mendengarkan aspirasi publik dengan sejumlah cara. Kantor Staf Presiden pun menggelar program KPS Mendengar.
Kebebasan berekspresi, lanjut Moeldoko, harus berlandaskan hukum. ”Kita ingin jadi bangsa yang tertib atau ugal-ugalan? Kalau bangsa yang tertib, ikuti aturan main. Kalau tidak tertib, akhirnya rusak,” ujarnya.
Komitmen Presiden dalam pemberantasan korupsi juga tidak berubah. ”RUU Cipta Kerja adalah instrumen untuk menghilangkan ekonomi biaya tinggi yang syarat korupsi. Ini ditempuh dengan memperpendek rantai perizinan agar meminimalkan korupsi,” katanya.
Kurang beri perhatian
Secara terpisah, dalam diskusi daring PARA Syndicate bertajuk ”Setahun Jokowi-Amin: Evaluasi dan Proyeksi Janji di Tengah Pandemi” muncul sorotan terkait kian menguatnya kekuasaan eksekutif yang ditopang partai koalisi di parlemen. Akibatnya, tak banyak sikap kritis dari DPR terhadap pemerintah dan pelaksanaan program-programnya.
Prosesnya tak dijalankan hati-hati. Padahal, banyak akademisi yang menjelaskan penyusunan UU dengan metode omnibus law harus hati-hati.
Peneliti Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Aisah Putri Budiatri, mengatakan, persetujuan DPR terhadap RUU Cipta Kerja untuk disahkan menjadi UU menunjukkan sikap legislatif dan eksekutif yang terburu-buru menyusun legislasi. Akibatnya, penyusunan peraturan itu tak inklusif. ”Prosesnya tak dijalankan hati-hati. Padahal, banyak akademisi yang menjelaskan penyusunan UU dengan metode omnibus law harus hati-hati,” katanya.
Arif Susanto dari Exposit Strategic mengatakan, sikap represif yang ditunjukkan pemerintah menghadapi pengkritik dan pihak yang berseberangan mencerminkan adanya pemusatan kekuasaan.
Sementara Lucius Karus dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) mempertanyakan sikap DPR yang tak banyak menjalankan mekanisme kontrol pada eksekutif.