Hoaks, Tantangan yang Melintasi Zaman
Di tengah pro dan kontra persetujuan pengesahan RUU Cipta Kerja, hoaks menjadi ikut naik daun. Kata tersebut juga ramai diperbincangkan. Namun, hoaks bukan fenomena baru. Ia seolah menjadi tantangan lintas zaman.
Pernyataan Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate terkait hoaks menjadi buah bibir di media sosial. Penggalan pernyataan dan meme terkait pernyataan Johnny menyebar luas di grup percakapan juga laman media sosial. ”Kalau pemerintah sudah bilang versi pemerintah itu hoaks, ya, dia hoaks, kenapa membantah lagi,” kata Johnny dalam acara bincang ”Mata Najwa” pada 14 Oktober 2020.
Pernyataan tersebut kemudian dikritik sejumlah akun pengguna media sosial. Di Twitter, misalnya, sejumlah cuitan menyebut pandangan itu seolah menunjukkan kebenaran hanya milik pemerintah. Sebagian lagi mencuit hal itu tak baik bagi demokrasi.
Pro dan kontra terkait persetujuan pengesahan RUU Cipta Kerja oleh DPR pada 5 Oktober 2020 memang riuh berlangsung di media sosial ataupun di ruang luar jaringan.
Pernyataan Menteri Kominfo Johnny saat acara bincang itu juga dalam konteks membahas penyebaran hoaks terkait RUU Cipta Kerja. Johnny menyebut ada 547 sebaran hoaks terkait RUU Cipta Kerja yang ditemukan di berbagai platform media sosial. Di media sosial Instagram 241 temuan, Twitter 232, Facebook 61, Youtube 11, dan Tiktok 2.
Baca juga: Bantah Blokir Medsos, Kominfo Sebut Lakukan Patroli Siber Atasi Hoaks Cipta Kerja
Saat dihubungi pada Sabtu (17/10/2020), Johnny menjelaskan, daftar hoaks yang disampaikannya dalam gelar wicara (talkshow) itu telah melalui verifikasi. Bahkan, verifikasi itu dilakukan dengan merujuk kepada sumber-sumber dari unsur pemerintah yang terlibat langsung dalam penyusunan RUU Cipta Kerja. Pihak kementerian/lembaga memahami substansi RUU Cipta Kerja, termasuk isi pasal dan ketentuan di dalamnya.
”Jika ada informasi yang tidak sesuai dengan fakta yang diketahui oleh kementerian/lembaga, tentu sudah jadi tanggung jawab Kominfo untuk meluruskan. Itulah mengapa Kominfo melabeli beberapa informasi sebagai hoaks,” kata Johnny.
Terkait pernyataannya yang menjadi viral, Johnny menyatakan, acara yang diikutinya itu merupakan gelar wicara televisi, bukan gelar pengadilan Mahkamah Konstitusi (MK). Maka, menjadi kurang proporsional jika menganggap acara tersebut sebagai persidangan MK yang mengadili substansi RUU Cipta Kerja.
Sebuah fenomena
Terlepas dari kontroversi hoaks dalam RUU Cipta Kerja, hoaks bukan sesuatu yang benar-benar baru. Kata hoaks sudah muncul sejak abad ke-17. Mengutip Dekan Fakultas Sastra Universitas Ekasakti Padang Mac Aditiawarman dalam bukunya Hoax dan Hate Speech di Dunia Maya, hoaks dimaknai sebagai berita palsu yang sengaja dibuat seolah-olah sebagai berita benar.
Hoaks juga dapat diartikan sebagai sebuah kebohongan atau informasi sesat yang sengaja disamarkan agar terlihat benar. Hoaks biasanya disebarkan sebagai propaganda atau pesan kebencian terhadap seseorang atau institusi tertentu.
Dalam sejarahnya, ada dua versi awal tentang hoaks. Penulis bernama Glanvill pada 1661 membuat buku yang diakuinya sebagai kisah nyata. Pada buku ketiga, ia mengakui bahwa cerita yang ditulis hanya kebohongan.
Versi kedua kisah Benjamin Franklin pada 1745 lewat harian Pennsylvania Gazette yang mengungkapkan benda bernama ”Batu China” mampu mengobati rabies, kanker, dan penyakit lain. Salah seorang pembacanya kemudian mengungkap bahwa batu yang terbuat dari tanduk rusa tidak memiliki fungsi apa pun.
Di Indonesia, serangan hoaks kepada presiden telah muncul sejak era Presiden Soekarno. Kompas (31/1/1966) menulis, saat itu Bung Karno pernah diisukan sakit dan bersembunyi di Tokyo. Hoaks itu diklarifikasi saat berpidato saat peringatan hari lahir ke-40 Nahdlatul Ulama.
Ada juga hoaks tentang kematian Bung Karno akibat diracun, sampai-sampai Bung Karno menghadiri upacara di Akademi Militer Nasional (AMN) Magelang untuk membuktikan bahwa dirinya segar bugar.
Selain itu, pada era Presiden Soekarno, juga ada hoaks Ratu Markonah dan Raja Idrus yang mengaku raja dan ratu dari suku Anak Dalam. Mereka mengaku mau menyumbang harta benda untuk kepentingan merebut Irian Barat dari tangan Belanda. Mereka konon sempat diterima Presiden Soekarno di Istana. Namun, belakangan diketahui Idrus adalah tukang becak (Kompas, 25/9/2002).
Pada era Presiden Soeharto, salah satu hoaks fenomenal adalah kasus janin mengaji di dalam kandungan. Pada akhir 1970-an, Indonesia dihebohkan dengan bayi ajaib di dalam kandungan yang bisa diajak berbicara dan bahkan mengaji di perut Cut Zahara Fona (26), wanita asal Sigli, Kabupaten Pidie, Aceh.
Wakil Presiden Adam Malik dan Presiden Soeharto sempat tertarik dengan fenomena itu. Bahkan, menteri agama saat itu juga memberikan komentar di media massa. Akhirnya, Tim Medis RSPAD, Ikatan Dokter Indonesia, Kejaksaan Agung, dan Polri turun tangan hingga akhirnya terbongkar bahwa tak ada janin di rahim perempuan itu. Ternyata, suara bayi mengaji itu berasal dari tape recorder yang dipasang di dalam pakaian Cut Zahara.
Saat era Presiden Megawati Soekarnoputri terjadi penggalian ”harta karun” Batutulis oleh Menteri Agama Said Agil Al-Munawar. Said bersikeras melanjutkan penggalian situs Batutulis karena harta di sana diyakini bisa digunakan membayar utang negara. Hingga kini, harta karun Batutulis tak terbukti kebenarannya.
Pada zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, terdapat skandal banyu geni atau penggunaan air sebagai bahan bakar. Lagi-lagi, isu menghebohkan itu tidak terbukti. Bahkan, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta memperkarakan Joko Suprapto yang mengajak riset banyu geni atau Blue Energy (Kompas, 26/2/2017).
Pada masa Presiden Joko Widodo, hoaks makin masif. Saat mengikuti kontestasi Pemilihan Presiden 2014, Jokowi menjadi korban hoaks karena disebut berayahkan Tionghoa Singapura dan memiliki keterkaitan dengan Partai Komunis Indonesia. Saat Pemilu 2019, hal yang sama juga muncul.
Hoaks juga tidak hanya yang berbentuk serangan terhadap individu atau pejabat, tetapi juga muncul dalam berbagai bentuk dan isu, di antaranya isu ekonomi, kesehatan, dan teknologi.
Literasi digital
Peneliti media yang juga pengajar Jurnalistik Universitas Multimedia Nusantara, Ignatius Haryanto, menuturkan, hoaks biasanya terjadi karena ada dua kelompok yang selalu berseberangan dan berbeda kepentingan politik. Salah satu pihak selalu mempertanyakan atau meragukan pernyataan dari pihak lain.
Jika terus dibiarkan, hoaks dikhawatirkan bisa merusak demokrasi karena asupan informasi yang diterima publik tidak benar. ”Hoaks biasanya muncul karena ada kepentingan ekonomi dan politik untuk menjatuhkan lawan, bahkan sudah menjadi sebuah industri,” katanya saat dihubungi dari Jakarta, Jumat.
Di sisi lain, analis media sosial, Ismail Fahmi, mengatakan, hoaks menjadi lebih mudah menyebar di era teknologi informasi yang berkembang makin cepat. Hoaks menyebar melalui media sosial yang banyak digunakan masyarakat dan tumbuh subur ketika literasi digital rendah dan disertai dengan keengganan memverifikasi informasi.
”Masyarakat yang termakan hoaks sudah percaya dengan pemberi informasi. Ketika ada informasi dari media sosial yang sesuai dengan pemikirannya, langsung disebar. Dalam pikiran mereka sudah ada standar kebenaran tersendiri sehingga tidak perlu melakukan verifikasi,” ujar Fahmi.
Baca juga: Upaya Melawan Hoaks Covid-19
Mudahnya penyebaran hoaks di media sosial itu cukup tergambarkan dari penelitian Dewan Pers pada November 2019. Penelitian itu menunjukkan, hampir 70 persen masyarakat Indonesia mengandalkan informasi dari media sosial. Ironisnya, media sosial juga menjadi media penyebaran hoaks. Penelitian itu juga menunjukkan, 81,7 persen hoaks menyebar melalui Facebook dan sekitar 57 persen menyebar melalui Whatsapp. Hoaks juga menyebar melalui Instagram, Line, dan Twitter.
Bahkan, penelitian yang dilakukan Massachusetts Institute of Technology (MIT), Amerika Serikat, tahun 2018 menunjukkan, hoaks di Twitter menyebar enam kali lebih cepat daripada berita aslinya.
Fahmi memprediksi hoaks akan terus muncul seiring perkembangan media sosial dan literasi digital masyarakat yang tak kunjung membaik. Jika terus dibiarkan, dikhawatirkan terjadi ketidakpercayaan terhadap pemerintah dan menyulut polarisasi antarmasyarakat.
”Pemerintah harus membangun kepercayaan kepada publik berbasis ilmu pengetahuan,” ujarnya.
Di tengah tantangan itu, Ketua Presidium Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) Septiaji Eko Nugroho menuturkan, pemerintah perlu aktif berkomunikasi dua arah di media sosial untuk menyampaikan informasi yang benar dan utuh agar publik mendapatkan informasi yang cukup.
Hoaks menjadi satu masalah yang terus berulang dan tidak akan pernah selesai. Selain memerangi hoaks, masyarakat perlu meningkatkan literasi digital. Ini karena hoaks bisa menyerang siapa saja tanpa mengenal golongan sosial.