Ajaran kepemimpinan dalam budaya Jawa itu selaras dengan kepemimpinan transformatif, yang bisa melahirkan perubahan mendasar dalam pola pikir dan perilaku masyarakat.
Oleh
TRI AGUNG KRISTANTO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS -- Ajaran kepemimpinan yang awalnya dikembangkan dalam masyarakat Jawa, dikenal sebagai Trilogi Kepemimpinan dalam budaya Jawa, meski dikenalkan sejak tahun 1922, tetapi hingga kini tetap relevan dalam kepemimpinan di segala tingkatan: keluarga, lokal, nasional, atau global. Ajaran itu menggambarkan, seorang pemimpin di segala tingkatan seharusnya selalu ada bersama kawula atau orang yang dipimpinnya, atau rakyat.
Trilogi kepemimpinan dalam budaya Jawa dipopulerkan oleh Ki Hadjar Dewantara, dan merupakan hasil permenungan Ki Condrodirdjo dari Taman Siswa. Inti ajaran kepemimpinan itu, adalah ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.
"Pemimpin itu di depan harus menjadi contoh. Jadi teladan. Bukan memberi contoh. Memberi contoh itu mudah," jelas mantan Ketua Harian Majelis Luhur Perguruan Taman Siswa Ki Prijo Mustiko dalam webinar bertema “Trilogi dalam Kepemimpinan Jawa”, Sabtu (10/10/2020). Acara itu digelar lembaga Javanologi Yogyakarta. Prijo juga pimpinan Javanologi.
Pemimpin pada level apapun yang bisa menjadi contoh, teladan, kata Prijo lagi, adalah yang mampu menunjukkan satunya kata dan perbuatan. Bisa menjadi contoh, bukan bisa memberi contoh yang sifatnya lebih sesaat. Pemimpin di tengah orang yang dipimpinnya juga bisa membangun harapan dan inisiatif (karsa). Saat di belakang pun pemimpin bisa mendukung aspirasi dan kehendak rakyat.
Pemimpin bukan kumawoso (sok berkuasa), tetapi menjaga kepercayaan dari yang dipimpinnya, atau dari rakyat, dan melayani.
Inti dari Trilogi Kepemimpinan dalam budaya Jawa, yaitu pemimpin selalu berada bersama dengan orang yang dipimpinnya. Berada bersama rakyat, jika ia pemimpin pada level lokal, daerah, atau nasional. Bukan meninggalkan atau ditinggalkan rakyatnya. Konsep Trilogi Kepemimpinan dalam budaya Jawa, yang dilahirkan di Yogyakarta, ini bisa diterapkan dalam kehidupan pribadi, keluarga, organisasi, berbangsa dan bernegara, bahkan global.
Trilogi kepemimpinan sebagai metode pengasuhan dan pendidikan pada ujungnya menekankan pembentukan karakter seseorang yang utama, yakni bijaksana dan berpengetahuan, kesatria, berperikemanusiaan, berkeadilan, mampu mengelola diri, dan bertakwa (transendensi). Pembentukan karakter melalui sistem among itu, lanjut Prijo, melalui proses keteladanan, pelatihan, dan pembelajaran.
Ajaran kepemimpinan dalam budaya Jawa itu selaras dengan kepemimpinan transformatif, yang bisa melahirkan perubahan mendasar dalam pola pikir dan perilaku masyarakat. Ahli manajemen dan kepemimpinan internasional, James MacGregor Burn tahun 1978 menuliskan, kepemimpinan transformasional adalah gaya kepemimpinan yang dapat menginspirasi perubahan positif pada mereka yang mengikuti. Berseberangan dengan gaya kepemimpinan transaksional.
Kepemimpinan transformatif yang dikembangkan di dunia ini mirip dengan Trilogi Kepemimpinan dalam budaya Jawa.
“Kepemimpinan transformatif yang dikembangkan di dunia ini mirip dengan Trilogi Kepemimpinan dalam budaya Jawa. Bahkan, konsep Trilogi Kepemimpinan dalam budaya Jawa sudah lahir lebih dahulu,” ungkap Prijo Mustiko lagi.
Bukan “kumawoso”
Saat membuka acara, Pengahageng Kawedanan Hageng Punakawan Purwabudaya (Pimpinan Pelestari Budaya) Keraton Yogyakarta Keraton Yogyakarta Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Mangkubumi menegaskan, dalam diri pemimpin itu ada tanggung jawab yang harus diwujudkan, agar mereka yang dipimpinnya menjadi lebih baik. Pemimpin bukan kumawoso (sok berkuasa), tetapi menjaga kepercayaan dari yang dipimpinnya, atau dari rakyat, dan melayani.
GKR Mangkubumi mengakui, tidak mudah melaksanakan ajaran Trilogi Kepemimpinan dalam budaya Jawa, sekalipun pada tingkatan yang paling rendah. Konsep kepemimpinan itu juga membutuhkan kemampuan seorang pemimpin untuk merefleksikan diri, selalu bertanya pada dirinya sendiri tentang kemampuan dan ketepatannya dalam memimpin. “Saya ingin belajar juga mengenai konsep Trilogi Kepemimpinan dalam budaya Jawa ini,” papar putri sulung dari Raja Kasultanan Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X itu.
Menurut Pengajar Filsafat dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Dr Sindung Tjahyadi, masih ditemukan perbedaan antara fakta dan konsep Trilogi Kepemimpinan Jawa di masyarakat. Tidak jarang ada pemimpin (Jawa) yang terjebak dalam perilaku koruptif, kolutif, dan mempraktikkan nepotisme, atau kepemimpinannya berjalan tak sesuai ajaran Trilogi Kepemimpinan dalam budaya Jawa itu. Selain pemimpin harus selalu bersama yang dipimpinnya, dalam ajaran kepemimpinan Jawa juga ada keadilan.
Sindung mengakui, dalam tradisi kepemimpinan Jawa memang ada pemberian persembahan dari rakyat atau siapapun yang dipimpin kepada raja atau yang memimpin. Tradisi hulu bekti glondong pengareng-areng, penyerahan hasil bumi atau sebagian kekayaan dari rakyat kepada pemimpinnya. “Konsep ini jika dilihat sekarang, bisa saja diartikan pemberian gratifikasi. Namun, dalam tradisi itu sebenarnya ada nilai keikhlasan, bukan dengan pamrih (imbal balik), seperti gratifikasi.
Tradisi hulu bekti glondong pengareng-areng, penyerahan hasil bumi atau sebagian kekayaan dari rakyat kepada pemimpinnya.
Menurut Sindung, sekalipun pada awalnya menjalankan ajaran kepemimpinan dalam budaya Jawa, bisa saja seorang pemimpin dalam perjalanan kepemimpinannya, atau di ujung kepemimpinannya, melakukan penyimpangan. Trilogi Kepemimpinan dalam budaya Jawa adalah sebuah norma. Jika terjadi penyelewengan, hal itu tak terkait dengan norma yang diikuti, karena banyak pula pemimpin yang memakai norma lain pun terjebak dalam perilaku yang menyimpang.
Selain Trilogi Kepemimpinan, dalam budaya Jawa, ada pula norma lain terkait praktik hidup dan perilaku seorang pemimpin, seperti prinsip Astabrata yang menggambarkan delapan karakter keutamaan seorang pemimpin. Selain itu, ada prinsip Mandala, yang menempatkan raja atau pemimpin sebagai pusat dan penjaga harmoni; norma Pustakaraja Madya dari pujangga Jawa Ki Ranggawarsito, yang menerapkan prinsip Devaraja dan menggambarkan ikatan raja (pemimpin) dengan rakyat atau yang dipimpinnya. Juga ada simbol-simbol yang menggambarkan keutamaan seorang pemimpin (raja) ketika ia duduk di tahta atau saat memegang kekuasaannya.
Namun, lanjut Sindung, meskipun seorang pemimpin, terutama raja memiliki kekuasaan yang absolut, mereka tak bisa menggunakan kekuasaan itu sesuka hatinya. Kekuasaan dan kepemimpinan itu diikat dengan keadilan, yang seharusnya diwujudkan oleh seorang pemimpin. Dalam norma Pustakaraja Madya disebutkan, ukum kawengku ing ratu; ratu kawisesa dening adil (hukum ditentukan oleh ratu atau pemimpin; ratu atau pemimpin terikat oleh mewujudkan keadilan. Memang tak mudah menjadi seorang pemimpin pada tingkatan apapun.