Tak Sekadar Gaya Hidup Mewah, tetapi Juga Dugaan Gratifikasi
Gunakan helikopter, Ketua KPK Firli Bahuri telah diputus bersalah melanggar kode etik dan pedoman perilaku. Sanksinya teguran tertulis. Padahal, dia dinilai tak sekadar bergaya hidup mewah tapi juga dugaan gratifikasi.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perkara penggunaan helikopter untuk kepentingan pribadi oleh Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Firli Bahuri mestinya didalami lagi oleh Dewan Pengawas KPK. Sebab, hal itu tidak hanya mengenai gaya hidup mewah, tetapi ada dugaan gratifikasi.
Sebelumnya, Ketua KPK Firli Bahuri diputus bersalah melanggar kode etik dan pedoman perilaku KPK oleh Dewas KPK karena terbukti menggunakan helikopter untuk perjalanan pribadi pada Juni 2020. Firli terbukti melanggar Pasal 4 Ayat (1) Huruf n dan Pasal 8 Ayat (1) Huruf f Peraturan Dewas Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku KPK (Kompas, 25/9/2020).
Dewas KPK menghukum Firli dengan sanksi ringan berupa teguran tertulis II. Firli diminta tidak mengulangi lagi perbuatannya dan agar senantiasa menjaga sikap dan perilaku dengan menaati larangan dan kewajiban yang diatur dalam kode etik dan pedoman perilaku KPK.
Pengajar Ilmu Hukum dan peneliti Pukat Korupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Zainal Arifin Mochtar, ketika dihubungi Kompas, Kamis (1/10/2020), mengatakan, sanksi yang dijatuhkan Dewas KPK dinilai hanya ditempatkan sebagai sanksi administratif biasa. Padahal, mestinya Dewas KPK melihat pelanggaran itu secara lebih dalam dan menyeluruh.
Bukan hanya soal naik helikopter itu bergaya hidup mewah, melainkan apakah memang ada potongan harga. Karena konon menyewa helikopter itu perlu biaya ratusan juta, tetapi kabarnya Ketua KPK tidak membayar penuh. Itu kan gratifikasi.
”Bukan hanya soal naik helikopter itu bergaya hidup mewah, melainkan apakah memang ada potongan harga. Karena konon menyewa helikopter itu perlu biaya ratusan juta, tetapi kabarnya Ketua KPK tidak membayar penuh. Itu kan gratifikasi,” kata Zainal.
Menanggapi putusan Dewas KPK, Firli memohon maaf kepada seluruh masyarakat Indonesia. ”Saya nyatakan putusan saya terima. Saya pastikan, saya tak akan mengulangi,” kata Firli. (Kompas, 25/9/2020)
Perusahaan yang dipantau KPK
Sementara terdapat informasi lain yang mengatakan bahwa perusahaan penyedia jasa helikopter tersebut adalah perusahaan yang sedang dipantau KPK dalam kaitannya dengan suatu kasus. Menurut Zainal, informasi semacam itu mestinya didalami kembali oleh Dewas KPK karena KPK adalah institusi yang dibuat untuk pemberantasan korupsi.
Di sisi lain, kata Zainal, vonis ringan terhadap Ketua KPK tersebut tidak lepas dari posisi Dewas KPK di Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK yang juga tidak jelas. Sebab, meskipun Dewas KPK dapat menjatuhkan sanksi, tindak lanjut dari sanksi yang dijatuhkan itu tidak diatur secara detail. Semisal, ketika Dewas KPK menjatuhkan sanksi berat berupa pemberhentian, tetapi mekanisme pemberhentian itu tidak diatur.
Menurut Zainal, perkara penggunaan helikopter tersebut memiliki benang merah terhadap berbagai peristiwa yang terjadi di KPK dalam setahun terakhir, termasuk mundurnya lebih dari 31 karyawan KPK. Terakhir Kepala Biro Humas KPK Febri Diansyah, yang juga mantan Juru Bicara KPK, pamit meninggalkan KPK.
”Saya meyakini kejadian-kejadian itu punya hubungan dan tidak terfragmen. Ini sebuah rangkaian, mulai dari geliat politisi ingin membunuh KPK, lalu sikap Presiden dalam membentuk panitia seleksi calon pimpinan KPK, serta proses DPR memilih komisioner yang dekat dengan kepentingan DPR. Itu seperti simfoni,” ujar Zainal.
Saya meyakini kejadian-kejadian itu punya hubungan dan tidak terfragmen. Ini sebuah rangkaian, mulai dari geliat politisi ingin membunuh KPK, lalu sikap Presiden dalam membentuk panitia seleksi calon pimpinan KPK, serta proses DPR memilih komisioner yang dekat dengan kepentingan DPR. Itu seperti simfoni.
Hal itu berakibat pada kualitas pemberantasan korupsi dari KPK yang nyaris tanpa prestasi dalam setahun terakhir. Tidak heran jika kemudian tingkat kepuasan publik kepada KPK melorot hanya menjadi sekitar 40 persen, sementara 60 persen lainnya tidak puas.
Sebelumnya, Ketua Dewas KPK sekaligus Ketua Majelis Tumpak H Panggabean menyatakan, Dewas tidak memiliki kewenangan untuk penyelidikan dan hanya mengadili yang berhubungan dengan kode etik. Meski demikian, Dewas telah mencoba melakukan klarifikasi. Hasilnya, dugaan itu tidak terbukti. Namun, Tumpak tak merinci seperti apa bentuk klarifikasinya.
Adapun, di sela-sela proses sidang etik, Firli menepis tudingan bahwa dirinya bergaya hidup mewah dengan menyewa helikopter saat melakukan perjalanan di Sumatera Selatan akhir Juni lalu. Firli beralasan, penggunaan helikopter saat itu karena kebutuhan dan tuntutan kecepatan tugas. Dia juga menyampaikan membayar sewa helikopter itu dengan uang pribadinya.
”Saya gunakan uang gaji saya untuk mendukung kelancaran dan kemudahan tugas-tugas. Saya sewa dan saya sudah jelaskan kepada Ketua Dewas Pak Tumpak. Saya tidak menerima gratifikasi dan tidak menerima hadiah. Semua saya kerjakan untuk kemudahan tugas saya dan bukan untuk kemewahan. Gaji saya cukup untuk membayar sewa helikopter dan ini bukan hidup mewah. Semua biaya saya bayar sendiri,” jelasnya (Kompas.id, 25/8/2020).
Firli menekankan, dirinya menyewa helikopter untuk tuntutan kecepatan mobilitas. ”Saya mengabdi kepada bangsa dan negara, makanya apa pun saya korbankan untuk bangsa dan negara. Jangankan uang dan harta, nyawa pun saya pertaruhkan untuk bangsa dan negara,” tambahnya.
Tarif helikopter
Ketika diperiksa sebagai saksi, dirinya telah memberikan informasi terkait dugaan gratifikasi dan konflik kepentingan kepada Dewas KPK. Salah satunya mengenai tarif helikopter yang adalah Rp 35 juta per jam, sementara Firli hanya membayar Rp 7 juta per jam.
Secara terpisah, Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman mengatakan, ketika diperiksa sebagai saksi, dirinya telah memberikan informasi terkait dugaan gratifikasi dan konflik kepentingan kepada Dewas KPK. Salah satunya mengenai tarif helikopter yang adalah Rp 35 juta per jam, sementara Firli hanya membayar Rp 7 juta per jam.
Namun, kata Boyamin, Dewas KPK menyatakan tidak bisa mendalami hal itu. ”Ini kan mengecewakan bagi saya,” kata Boyamin.
Untuk itu, kata Boyamin, dirinya akan mencoba menelusuri lagi informasi yang dia miliki untuk memperoleh data yang lebih valid. Jika dia mendapatkan informasi yang lebih banyak dan valid, hal itu akan dilaporkannya kepada Dewas KPK.