Berkas jaksa Pinangki dilimpahkan jaksa penuntut umum dengan pasal sangkaan menerima pemberian atau janji. Penyerahan itu dinilai terlalu terburu-buru karena Kejagung belum memeriksa pihak-pihak terkait yang disebut.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pelimpahan berkas Pinangki Sirna Malasari kepada jaksa penuntut umum dengan pasal sangkaan menerima pemberian atau janji dinilai terlalu terburu-buru. Belum diperiksanya atasan Pinangki dan pihak-pihak yang terkait dengannya menimbulkan kecurigaan adanya pihak yang dilindungi terkait Pinangki.
Berkas perkara tersangka Pinangki sebelumnya telah dilimpahkan kepada jaksa penuntut umum (JPU), Selasa (15/9/2020). Pelimpahan itu ditandai dengan penyerahan tersangka dan barang buktinya. Adapun untuk kedua tersangka lainnya, yakni Joko S Tjandra dan Andi Irfan Jaya, saat ini masih tahap pemberkasan.
Peneliti Indonesia Corruption Watch, Kurnia Ramadhana, ketika dihubungi Kompas, Rabu (16/9), mengatakan, pelimpahan berkas perkara Pinangki tanpa memeriksa pihak-pihak internal kejaksaan, seperti atasan Pinangki, menimbulkan kecurigaan.
Di belakang Pinangki ini diduga ada seseorang, tidak mungkin jika tidak ada (yang melindungi). Hal itu tidak bisa dijelaskan, tetapi psikologis dari pelaku kejahatan, apalagi seperti Joko Tjandra, pasti tidak mudah percaya kepada orang kalau tidak ada sosok besar di belakangnya.
”Di belakang Pinangki ini diduga ada seseorang, tidak mungkin jika tidak ada (yang melindungi). Hal itu tidak bisa dijelaskan, tetapi psikologis dari pelaku kejahatan, apalagi seperti Joko Tjandra, pasti tidak mudah percaya kepada orang kalau tidak ada sosok besar di belakangnya,” kata Kurnia.
Menurut Kurnia, merujuk pada pernyataan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung Ali Mukartono pada ekspose, beberapa waktu lalu, mestinya penyidik tidak mengembangkan penyidikan hanya dengan mengandalkan keterangan tersangka. Pada waktu itu, Ali menyatakan bahwa Pinangki tidak menjelaskan apa pun yang terkait Jaksa Agung ST Burhanuddin. Burhanuddin sendiri menepis tuduhan yang dinilai memfitnah dirinya (Kompas, 12/8).
Terkait dengan sangkaan Pasal 5 ayat (2) huruf a Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pinangki seharusnya juga dijerat dengan Pasal 12 UU yang sama mengenai gratifikasi. Sebab, patut diduga adanya pemberian lain kepada Pinangki.
”Lalu terkait permufakatan jahat, harusnya itu dicantumkan. Ketika Pinangki menjanjikan soal pengurusan fatwa, lalu fatwa ini untuk bukti di proses permohonan peninjauan kembali (PK) Joko Tjandra, harusnya permufakatan jahat itu ada di sana,” tutur Kurnia menambahkan.
Kurnia mengatakan, adanya gelar perkara oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan mengundang pihak kejaksaan dan kepolisian merupakan langkah maju. Meski demikian, untuk menghilangkan persepsi negatif publik terhadap adanya konflik kepentingan, mestinya KPK mengambil alih kasus itu. Hingga kini, KPK masih belum memutuskan karena masih harus melakukan gelar perkara bersama Polri dan Kejagung.
Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia Boyamin Saiman mengatakan, tidak adanya sangkaan Pasal 11 dan Pasal 12 UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menimbulkan kecurigaan bahwa Pinangki hanya akan dijerat dengan pasal yang hukuman pidananya rendah. Demikian pula tidak adanya Pasal 15 UU yang sama juga menimbulkan kecurigaan. Hal itu dinilai tidak hanya merugikan penegakan hukum dan negara, tetapi juga memperlihatkan adanya pihak-pihak yang dilindungi.
”Ada beberapa nama atau orang yang tidak dipanggil sebagai saksi meskipun sebenarnya disebut oleh jaksa PSM ataupun oleh Anita. Hal ini sesuatu yang memang tampak dilokalisasi dan diduga ada yang dilindungi,” kata Boyamin.
Ada beberapa nama atau orang yang tidak dipanggil sebagai saksi meskipun sebenarnya disebut oleh jaksa PSM ataupun oleh Anita. Hal ini sesuatu yang memang tampak dilokalisasi dan diduga ada yang dilindungi.
Menurut Boyamin, dengan demikian, tidak ada cara lain kecuali pengambilalihan kasus tersebut oleh KPK. Dengan demikian, pihak-pihak yang diduga berada di belakang Pinangki dapat diperiksa secara terbuka.
Sempat dikembalikan
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Hari Setiyono mengatakan, Selasa (15/9), penyidik pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus melimpahkan berkas perkara tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang atas nama tersangka Pinangki Sirna Malasari kepada jaksa penuntut umum pada Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat. Pelimpahan itu diikuti penyerahan tersangka dan barang bukti kepada JPU.
”Berkas perkara atas nama tersangka PSM sempat dikembalikan karena dianggap belum lengkap,” kata Hari.
Pinangki dijerat dengan Pasal 5 Ayat (2) huruf a Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Selain pasal sangkaan tindak pidana korupsi, lanjut Hari, penyidik menemukan bukti yang cukup tentang adanya penerimaan pemberian atau janji berupa uang dalam perkara tindak pidana korupsi tersebut. Oleh karena itu, Pinangki juga ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana pencucian uang dengan sangkaan Pasal 3 UU No 8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Dengan pelimpahan berkas perkara dan tersangka, Pinangki kemudian ditahan di Rumah Tahanan Negara (Rutan) Salemba Cabang Kejagung. Pinangki ditahan untuk masa waktu 20 hari sejak 15 September sampai 4 Oktober 2020.
”Jaksa penuntut umum membuat surat dakwaan atas nama tersangka PSM dan akan segera dilimpahkan ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat,” ujar Hari.
Penangkapan buron ke-72
Kemarin, tim Kejagung bersama Kejaksaan Tinggi Maluku berhasil menangkap Heintje Abraham Toisuta. Heintje adalah terpidana kasus korupsi dan pencucian uang dalam perkara pembelian lahan dan bangunan untuk pembukaan Kantor Cabang Bank Maluku dan Maluku Utara di Surabaya tahun 2014. Dari kasus itu, kerugian negara sebesar Rp 7,6 miliar.
Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 2282 K/Pid.Sus/2017 tanggal 21 November 2017, Heintje dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang serta dihukum dengan pidana penjara selama 12 tahun penjara dan membayar denda Rp 800 juta subsider 7 bulan kurungan. Heintje juga diharuskan membayar uang pengganti sebesar Rp 7,2 miliar subsider 4 tahun penjara.
Menurut Hari, Heintje ditangkap di rumah kostnya di Jakarta Pusat, Selasa malam, tanpa perlawanan. Heintje kemudian akan segera diterbangkan ke Ambon untuk dieksekusi. Heintje adalah buronan ke-72 yang ditangkap tahun ini.