Mengacu pada UU Intelijen Negara, BIN tak berwenang membentuk pasukan khusus bersenjata. Pasukan bersenjata BIN sebelumnya terkuak lewat rekaman video yang diunggah Ketua MPR Bambang Soesatyo di media sosial.
Oleh
EDNA C PATTISINA
·3 menit baca
JAKARTA,KOMPAS — Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menilai Badan Intelijen Negara tidak berwenang membentuk pasukan khusus bersenjata. Argumen ini merujuk pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara.
Kepala Advokasi Lembaga Bantuan Hukum Nelson Simamora mengatakan, Senin (14/9/2020), berdasarkan UU Intelijen Negara, Badan Intelijen Negara (BIN) tidak berwenang untuk membentuk pasukan bersenjata.
Adanya pasukan bersenjata di bawah BIN ini terkuak lewat rekaman video yang diunggah Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Bambang Soesatyo di akun media sosialnya. Video berdurasi 37 detik tersebut menampilkan tayangan berupa pasukan bersenjata lengkap dan berlaras panjang memperagakan aksi militer.
Dalam unggahannya pada 9 September 2020, Bambang memberikan keterangan bahwa pasukan tersebut adalah Pasukan Rajawali BIN.
BIN belum memberikan konfirmasi terkait hal itu. Wawan Purwanto, salah satu deputi BIN, tidak menjawab saat dikonfirmasi.
Adapun Susaningtyas Kertopati, mantan anggota Komisi I DPR yang kerap berinteraksi dengan BIN mengatakan, Intelsus Rajawali bukan pasukan khusus, melainkan taruna/taruni dan para agen lulusan Sekolah Tinggi Intelijen Negara (STIN) dan Seno (BIN) yang terpilih dididik untuk memiliki kemampuan intelijen khusus, termasuk kemampuan intelijen tempur.
”Jangan sampai ketika menghadapi kelompok bersenjata, tak paham mengatasinya. Ini bukan pasukan khusus yang sifatnya permanen, tetapi gugus tugas khusus untuk misi-misi temporer,” kata Susaningtyas.
Nelson menekankan, yang dipermasalahkan adalah adanya pasukan khusus bersenjata yang seharusnya tidak dibentuk BIN. Pasalnya, tidak ada dasar dalam undang-undang terkait hal itu.
”Pemerintah dan DPR agar membubarkan pasukan tersebut jika pasukan khusus bersenjata tersebut jika benar bahwa Pasukan Rajawali itu adalah bentukan BIN,” kata Nelson.
Feri Kusuma dari Kontras mengatakan, sesuai dengan Pasal 28 UU Intelijen Negara disebutkan bahwa BIN menyelenggarakan fungsi intelijen di dalam negeri dan di luar negeri serta fungsi koordinasi intelijen negara.
Ini berarti BIN seharusnya melakukan pengkajian dan kebijakan nasional di bidang intelijen, menyampaikan produk intelijen sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan kebijakan pemerintah, melakukan perencanaan dan pelaksanaan aktivitas intelijen, membuat rekomendasi yang berkaitan dengan orang atau lembaga asing, dan memberikan pertimbangan, saran, dan rekomendasi tentang pengamanan penyelenggaraan pemerintahan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 29 UU Intelijen Negara.
”Sehingga tidak tepat jika BIN justru membentuk pasukan khusus bersenjata layaknya Tentara Nasional Indonesia (TNI) maupun Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). Apalagi, BIN adalah instansi sipil yang dalam konflik bersenjata tidak dianggap sebagai kombatan,” kata Feri.
Apabila ada kebutuhan penggunaan kekuatan bersenjata, seharusnya BIN melapor kepada Presiden agar dapat memerintahkan kepada Panglima TNI atau Kepala Polri atau Kepala BNPT untuk mengambil tindakan, bukan malah membentuk pasukan khusus bersenjata tersendiri.
”Kalau benar BIN bentuk pasukan Rajawali itu, dalam konteks apa dan kegiatan apa pasukan itu dibentuk, kan, sudah ada Polri, TNI, dan BNPT. Kalau pasukan khusus ini bertindak sewenang-wenang, akan menambah panjang pelanggaran HAM,” kata Feri.
Susaningtyas mengatakan, seharusnya masyarakat bangga siswa STIN punya soft skill yang hebat. Susaningtyas yang juga kerap mengajar di STIN ini mengatakan, keahlian yang diperlukan di antaranya bela diri dan siber.