Krisis kesehatan akibat pandemi Covid-19 bisa berkembang menjadi krisis ekonomi dan sosial serta politik jika tidak ditangani dengan baik. Butuh kolaborasi sosial bersama-sama untuk mengatasinya.
Oleh
Budiman Tanuredjo
·4 menit baca
Dalam talk show Satu Meja di Kompas TV, dosen sosiologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Najib Azca, mengatakan, krisis kesehatan bisa berkembang menjadi krisis sosial dan politik jika tidak ditangani dengan baik. Itu peringatan dari Najib yang tentunya tidak kita kehendaki bersama. Dampak dari pandemi Covid-19 memang luar biasa. Ekonomi terpuruk. Pengangguran meningkat. Resesi di depan mata.
Bahkan, Wakil Presiden periode 2009-2014, Boediono, menyebut krisis 2020 berbeda dengan krisis-krisis sebelumnya. ”Ini bukan sekadar resesi, bukan sekadar depresi, melainkan paralisis. Satu sistem yang tiba-tiba membeku. Dan untuk kembali normal memerlukan waktu,” ujar Boediono, 17 Agustus 2020.
Peringatan Boediono dan Najib memberikan gambaran bahwa pandemi bisa memakan waktu lama. Minimal sampai ditemukan dan efektifnya vaksin. ”Jika tak ditangani dengan benar, krisis sosial bisa terjadi,” ujar Najib yang meraih doktor dari The Amsterdam Institute for Social Science Research.
”Ini bukan sekadar resesi, bukan sekadar depresi, melainkan paralisis. Satu sistem yang tiba-tiba membeku. Dan untuk kembali normal memerlukan waktu”
Najib, yang juga mantan wartawan, menyebut yang belum tampak dari penanganan pandemi selama ini adalah orkestrasi semua komponen bangsa. Orkestrator adalah dirigen yang menjadi panglima lapangan yang mengatur soal pengerahan semua komponen bangsa dan masyarakat sipil. Seorang orkestrator yang punya kemampuan mendukung gerakan masyarakat sipil untuk terlibat dalam ”perang” melawan Covid-19.
Enam bulan pandemi berjalan, situasi Indonesia mengkhawatirkan. Belum ada tanda pelandaian penyebaran Covid-19. Bahkan, puncak gelombang pun belum kelihatan. Ada tren positif, yakni peningkatan orang yang sembuh yang mencapai 72 persen. Namun, ada juga peningkatan signifikan jumlah orang yang terinfeksi Covid-19. Laporan media mengenai jumlah orang yang terkonfirmasi positif memang mencemaskan. Peningkatan konfirmasi positif seiring dengan agresivitas tes dan pelacakan. Namun, angka itu seperti menjadi disinsentif politik bagi kepala daerah.
Tanggal 2 September 2020, harian ini menulis dengan judul besar, ”Bersiap yang Terburuk, Berharap Terbaik”. Prediksi sejumlah ahli kesehatan bahwa September dan Oktober 2020 akan terjadi lonjakan kasus positif yang bakal merepotkan fasilitas kesehatan. Perkiraan ahli harus diantisipasi. Meminjam istilah Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan, perlu ada kolaborasi sosial berskala besar (KSBB). Kalau dalam bahasa lain: gotong royong.
Sejarawan Arnold Joseph Toynbee menyebut challenge and response. Setiap ada tantangan harus ada tanggapan. Ketika fasilitas kesehatan tak lagi bisa menampung, bagaimana isolasi orang tanpa gejala? Penambahan kapasitas Wisma Atlet? Hotel? Rumah sakit darurat? Apartemen? Rumah sakit lapangan? Tenaga kesehatan? Bagaimana dengan kondisi di daerah? Ketidaksinkronan pusat-daerah yang sering dikeluhkan harus dituntaskan.
Bagaimana membangun sistem informasi terpusat sehingga keluarga pasien tidak perlu harus berburu sendiri rumah sakit. Jika sistem informasi ketersediaan rumah sakit tersedia, itu akan lebih menenangkan. Para ahli teknologi informasi bisa dilibatkan untuk membuat sistem informasi ketersediaan ruang-ruang perawatan di fasilitas kesehatan berdasarkan lokasi terdekat.
Sang orkestrator itu juga akan mengatur secara detail sampai dengan penanganan logistik. Perang melawan Covid-19 harus dihadapi bersama dengan sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta (sishankamrata). Enam bulan pandemi belum tampak ada kesadaran bersama menggunakan masker misalnya. Kampanye dan iklan layanan masyarakat memang sudah ada, tetapi terasa belum efektif. Geregetnya berbeda dengan saat pemilu pada Orde Baru dengan lagu ”pemilihan umum telah memanggil kita….”
Kerja teknokratis perlu dilakukan. Semua organisasi negara atau quasi negara, TNI, Polri, satpol PP, camat, lurah, RW/RT harus bergerak bersama satu tujuan untuk menyadarkan masyarakat menggunakan masker. Begitu juga organisasi, seperti karang taruna, pramuka, organisasi pemuda, organisasi keagamaan, perlu dilibatkan bekerja bersama mengubah perilaku masyarakat untuk menggunakan masker. Ini adalah kerja rekayasa sosial mengubah perilaku masyarakat.
Saat September berlalu, akan muncul hantu baru yang bernama resesi. Bagi masyarakat kebanyakan, istilah resesi jauh dari bayangan selain ungkapan, ”Ini zaman angel. Mongso pagebluk. Jualan sepi”. Pemahaman sederhana itu akan cepat dibawa ke ranah politik jika tidak ada aksi antisipasi.
"Negara dibutuhkan untuk mengungkit daya beli masyarakat dan juga membangkitkan semangat solidaritas sosial. Gerakan Beli Produk Teman, Sambatan Yogya, dan gerakan sejenis di beberapa daerah adalah kearifan lokal sebagai respons atas situasi pandemi. Vaksin memang sebuah harapan. Namun, vaksin bukan berarti menyelesaikan segala persoalan"
Hasil survei Litbang Kompas menggambarkan ketika daya tahan ekonomi melemah, peran negara justru yang diharapkan. Negara dibutuhkan untuk mengungkit daya beli masyarakat dan juga membangkitkan semangat solidaritas sosial. Gerakan Beli Produk Teman, Sambatan Yogya, dan gerakan sejenis di beberapa daerah adalah kearifan lokal sebagai respons atas situasi pandemi.
Vaksin memang sebuah harapan. Namun, vaksin bukan berarti menyelesaikan segala persoalan. Sebelum sampai pada efektifnya vaksin, maka dampak ekonomi dan sosial tetap harus dikelola dengan baik agar krisis kesehatan tidak melebar.
Dalam situasi dengan perasaan tak menentu, bangsa ini membutuhkan keteduhan dan optimisme. Bangsa ini butuh sinyal kesiapan pemerintah mengatasi pandemi. Bangsa ini tak butuh narasi politisi yang justru bisa merenggangkan kohesivitas sosial demi alasan politik elektoral. Yang dibutuhkan adalah narasi merajut tenun kebangsaan untuk bersama menghadapi pandemi dan resesi.