Uji Materi ”Presidential Threshold” Diajukan Lagi ke MK
Meski ditolak beberapa kali di Mahkamah Konstitusi, uji materi ambang batas pencalonan presiden terus dilakukan. Kali ini uji materi diajukan mantan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli dan Abdulrahim.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mantan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli dan Abdulrahim mengajukan uji materi ketentuan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) ke Mahkamah Konstitusi, Jumat (4/9/2020). Meskipun sebelumnya MK sudah beberapa kali menolak gugatan yang sama, Rizal Ramli tetap optimistis. Dia meminta ambang batas pencalonan presiden diubah menjadi 0 persen agar tercipta pemilihan presiden yang adil dan berkualitas.
Rizal Ramli melalui keterangannya, Jumat (4/9/2020), mengatakan, memang sudah banyak masyarakat sipil dan tokoh nasional yang mengajukan uji materi tentang ambang batas pencalonan presiden dan selalu kalah. Terakhir, permohonan mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Busyro Muqoddas, pakar komunikasi politik Effendi Gazali, dan beberapa masyarakat sipil ditolak MK pada tahun 2018. Namun, kekalahan itu, menurut Rizal, tidak menyurutkan langkah yang ingin dicapainya.
Ia berkeyakinan, jika ketentuan ambang batas itu dapat diubah, akan menghapuskan praktik demokrasi transaksional yang terjadi di parpol. Karena politik transaksional itu pula, kandidat terbaik di negeri ini tidak bisa muncul ke permukaan. Hanya mereka yang bermodal besar, dan biasanya uangnya berasal dari cukong pengusaha, yang dapat maju mencalonkan diri.
Hanya mereka yang bermodal besar, dan biasanya uangnya berasal dari cukong pengusaha, yang dapat maju mencalonkan diri.
Sistem transaksional itu harus diubah salah satunya dengan mengubah ketentuan yang tercantum dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Dalam pasal tersebut diatur bahwa syarat pencalonan presiden adalah perolehan 20 persen kursi di DPR atau 25 persen dari total jumlah suara sah pemilu sebelumnya bagi parpol atau gabungan parpol yang mengusungnya.
”Sejak tahun 1978 saya telah berjuang agar negara ini menjadi demokratis. Ternyata, setelah 20 tahun lebih reformasi, banyak aturan yang dibuat justru mengubah demokrasi di Indonesia menjadi demokrasi kriminal (transaksional). Ini merusak Indonesia,” ujar Rizal.
Berdasarkan pengalaman pribadi Rizal, jauh sebelum ada UU Pemilu, yaitu tahun 2009, dia pernah ditawari oleh tiga parpol untuk maju sebagai calon presiden. Saat itu, dia diminta menyerahkan mahar politik senilai Rp 300 miliar ke setiap parpol. Total, jika ingin menjadi capres, dia harus mengeluarkan uang Rp 900 miliar.
Kini, fenomena politik transaksional itu terus terjadi. Menurut Rizal, selalu ada mahar politik jika seseorang ingin mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Untuk menjadi bupati, misalnya, harus keluar uang Rp 30 miliar-Rp 50 miliar. Kemudian, jika ingin menjadi calon gubernur, orang harus memiliki uang Rp 100 miliar-Rp 300 miliar sebagai mahar.
”Saya kira praktik politik dagang sapi ini lebih parah setelah ada aturan baru itu. Sebab, untuk bisa terpilih menjadi kepala daerah, presiden, orang harus mencari modal dari para cukong. Saat terpilih, akhirnya mereka lupa cita-cita sebagai pembela kepentingan rakyat. Inilah yang saya sebut sebagai demokrasi kriminal,” tutur Rizal.
Menurut Rizal, tanpa ada pembenahan sistem, termasuk norma tentang ambang batas pencalonan presiden, demokrasi di Indonesia akan terus mundur ke belakang. Indonesia pun akan terhalang untuk menjadi negara hebat, kuat, dan maju karena pemimpinnya dikuasai oleh kepentingan oligarki. Dia memberikan contoh, sesaat sebelum pilkada, Bupati Kutai Timur ditangkap KPK karena korupsi dana hingga Rp 18 miliar. Berdasarkan data dari KPK, kerugian negara tidak hanya terjadi saat praktik korupsi tersebut. Kerugian negara lebih besar karena saat menjabat Bupati Kutai Timur, pejabat tersebut telah meminta konsesi hutan, tambang, dan sebagainya yang merugikan negara hingga triliunan rupiah.
”Hampir semua pemilihan pemimpin dihasilkan dari politik transaksional. Hentikan praktik transaksional itu, salah satunya dengan menghapus presidential threshold. Jangan sampai MK melegalisasi praktik transaksional ini,” ujar Rizal.
Rizal berharap, dalam gugatan kali ini, MK dapat mempertimbangkan argumentasi dari pemohon dan para ahli yang dihadirkan. Dalam uji materi tersebut, Rizal didampingi kuasa hukum Refly Harun and Partners. Sebagai penjaga konstitusi, Rizal berharap MK dapat melihat dengan jernih persoalan yang timbul akibat aturan tersebut. MK juga diharapkan dapat memberikan kesempatan kepada kader terbaik bangsa agar dapat maju dalam kompetisi yang adil dan sehat.
Argumentasi konstitusional
Kuasa hukum Rizal Ramli, Refly Harun, mengatakan, dalam uji materi itu, pihaknya akan mengajukan baik argumentasi yang bersifat konstitusional maupun ekstra konstitusional. Melihat kekalahan pemohon pada gugatan-gugatan sebelumnya, Refly mengaku tidak bisa menerima argumentasi dari MK yang mengatakan bahwa presidential threshold memperkuat sistem presidensal. Menurut dia, memberikan kesempatan kepada partai baru untuk dapat bertarung dalam pilpres tidak akan melemahkan sistem presidensial. Justru, tanpa presidential threshold, koalisi yang tercipta akan lebih alamiah.
Selain itu, Refly juga menilai ada banyak fakta baru yang dapat diajukan olehnya pasca-Pilpres 2019. Ada empat parpol baru yang kehilangan hak konstitusionalitasnya karena aturan ambang batas parlemen (parliamentary threshold) maupun ambang batas pencalonan presiden. Hal tersebut dinilai tidak sesuai dengan prinsip hak konstitusional warga negara yang memiliki hak untuk mengajukan calon.
MK menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya dalam putusan 49/PUU-XVI/2018 yang diajukan Busyro Muqoddas dan kawan-kawan serta putusan nomor 54/PUU-XVI/2018 yang diajukan Effendi Gazali. Dalam pertimbangannya, MK merasa tidak punya alasan untuk mengubah pendiriannya atas putusan sebelumnya dan Pasal 222 UU Pemilu dianggap sebagai constitutional engineering, bukan constitutional breaching (pelanggaran konstitusi sebagaimana keterangan para pemohon).
”Pasca-Pemilu 2019, saya rasa ada banyak fakta baru yang bisa menentukan konstitusional pasal-pasal ini. Itu semua akan saya sampaikan ke MK,” kata Refly.
Sebelumnya, MK telah menolak gugatan uji materi terhadap Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu pada 2018. MK menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya dalam putusan 49/PUU-XVI/2018 yang diajukan Busyro Muqoddas dan kawan-kawan serta putusan nomor 54/PUU-XVI/2018 yang diajukan Effendi Gazali. Dalam pertimbangannya, MK merasa tidak punya alasan untuk mengubah pendiriannya atas putusan sebelumnya dan Pasal 222 UU Pemilu dianggap sebagai constitutional engineering, bukan constitutional breaching (pelanggaran konstitusi sebagaimana keterangan para pemohon).
Namun, dalam putusan tersebut, ada dua hakim MK yang menyatakan dissenting opinion, yaitu Saldi Isra dan Suhartoyo. Mereka menilai ambang batas pencalonan presiden itu menimbulkan ketidakadilan bagi parpol baru karena tidak bisa mengajukan capres dan cawapres serta menimbulkan kerancuan dalam sistem presidensial dan parlementer.