Berpacu dengan Resesi
Enam bulan sudah Covid-19 bercokol di Bumi Pertiwi. Selain menyerang jantung pertahanan kesehatan, juga meluluhlantakkan sendi-sendi ekonomi. Pemerintah hanya punya waktu satu bulan mencegah resesi ekonomi di depan mata.
Pemerintah hanya punya waktu sekitar satu bulan untuk mencegah resesi ekonomi yang kini ada di depan mata pascapandemi Covid-19, yang juga harus segera diatasi terlebih dahulu.
Enam bulan sudah Covid-19, penyakit yang disebabkan virus SARS-Cov-2, bercokol di Bumi Pertiwi. Tak hanya menyerang jantung pertahanan kesehatan, pandemi Covid-19 juga meluluhlantakkan sendi-sendi perekonomian di Tanah Air. Saat Covid-19 belum berhasil dikendalikan, tiba-tiba ancaman resesi ekonomi sudah di depan mata.
Pertumbuhan ekonomi nasional terjun bebas setelah tiga bulan Covid-19 masuk ke Indonesia. Pada kuartal I, Januari-Maret 2020, ekonomi nasional masih tumbuh positif 2,97 persen. Namun, pada kuartal II, April-Juni, perekonomian nasional mulai terkontraksi, turun hingga 8,29 persen dari kuartal sebelumnya, yakni sebesar minus 5,32 persen.
Presiden Joko Widodo, saat memberikan pengarahan kepada para gubernur secara virtual, Selasa (1/9/2020), mengingatkan tentang ancaman resesi yang sudah di depan mata. Pemerintah hanya punya kesempatan satu bulan untuk menghindar dari jurang resesi.
Baca juga : Ancaman Resesi Ekonomi Mengintai Dunia
”Kita ini masih punya waktu satu bulan, di bulan September ini. Kalau kita masih berada pada posisi minus, artinya kita masuk ke resesi,” ujarnya dari Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat.
Kita ini masih punya waktu satu bulan, di bulan September ini. Kalau kita masih berada pada posisi minus, artinya kita masuk ke resesi.
Tak hanya pertumbuhan ekonomi, konsumsi rumah tangga yang merupakan penyumbang terbesar produk domestik bruto (PDB) juga terus turun, dari 2,84 persen pada kuartal I-2020 menjadi minus 5,51 persen.
Konsumsi rumah tangga yang terus turun mencerminkan kesulitan ekonomi yang mulai dialami masyarakat akibat pandemi. Maklum saja, tidak sedikit pekerja informal yang kehilangan penghasilan karena pembatasan sosial berskala besar. Banyak pula pekerja formal yang kehilangan pekerjaan akibat lesunya sektor industri. Kementerian Ketenagakerjaan mencatat, hingga 31 Juli setidaknya 3,5 juta pekerja formal dan informal dirumahkan serta diberhentikan dari pekerjaan.
Masyarakat pun merasakan kondisi ekonomi yang semakin memburuk akibat Covid-19. Hal itu setidaknya terlihat dari survei Litbang Kompas, 26 Juli-19 Agustus, yang menunjukkan mayoritas responden, yakni 69,4 persen dari kelompok pesimistis, 82,5 persen kelompok ambigu, dan 82,5 persen kelompok optimistis, menilai ekonomi memburuk.
Krisis politik
Kondisi itu tentu tak bisa dibiarkan. Sebab, menurut sosiolog Universitas Gadjah Mada, Najib Azca, dalam bincang-bicang Satu Meja The Forum yang disiarkan Kompas TV, Rabu (2/9/2020), krisis kesehatan yang berkembang menjadi krisis ekonomi berpotensi menimbulkan krisis sosial, bahkan politik. ”Ketika krisis kesehatan yang masif kemudian berdampak pada krisis ekonomi yang sangat signifikan, tentu menimbulkan dampak sosial besar. Ini sangat berpotensi menjadi krisis politik jika tak ditangani dengan benar,” tuturnya dalam diskusi bertema ”Pandemi, Resesi, dan Politik Jokowi” yang dipandu wartawan senior Kompas, Budiman Tanuredjo. Hadir pula Ketua Satuan Tugas Pemulihan Ekonomi Nasional Budi Gunadi Sadikin, ekonom senior Emil Salim, dan politikus PDI-P, Nursyirwan, sebagai narasumber.
Krisis sosial akan terjadi saat pengangguran semakin besar, kebutuhan semakin sulit dipenuhi, kecemasan semakin tinggi, dan kriminalitas meningkat. Saat krisis sosial semakin meluas, saat itulah kepercayaan rakyat kepada pemerintah turun drastis.
Pemerintah sejak awal sadar akan ancaman krisis multidimensi akibat pandemi. Dana sebesar Rp 695,2 triliun pun digelontorkan. Budi menyebut, dana itu digunakan untuk mengganjal, menyelamatkan perekonomian saat Covid-19 belum berhasil dikendalikan.
”Krisis ini disebabkan krisis kesehatan. Kalau kesehatan tidak pulih, sampai kapan pun kita harus ganjal ekonomi,” ujarnya. Sebagian besar, yakni Rp 607,65 triliun, memang digunakan untuk menangani dampak ekonomi. Hanya Rp 87,55 triliun untuk penanganan kesehatan.
Untuk mencegah krisis ekonomi yang rawan berlanjut menjadi krisis sosial dan politik, pemerintah pun menggenjot penyaluran belanja. Budi menyebut, 40 hari setelah Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional terbentuk, sudah Rp 41 triliun dana Covid-19 yang digelontorkan. Dengan demikian, diperkirakan dana yang disalurkan selama tiga bulan pada kuartal III bisa mencapai Rp 150 triliun.
”Fiscal multiplier dua kali lipat. Jadi, kalau kita bisa gelontorkan Rp 150 triliun, dampak ke PDB bisa sekitar Rp 300 triliun. Sementara kita harus mengembalikan Rp 180 triliun agar pertumbuhannya sama dengan kuartal I,” kata Budi.
Buka partisipasi masyarakat
Sebelum bicara mengenai pemulihan ekonomi, menurut Emil, hal yang penting dilakukan pemerintah adalah memperbaiki penanganan krisis kesehatan. Kapasitas uji Covid-19 harus ditingkatkan untuk mengetahui posisi ”musuh” yang telah meluluhlantakkan berbagai sendi kehidupan. Membendung penyebaran virus menjadi kunci mencegah resesi karena penyebab utama terganggunya perekonomian adalah krisis kesehatan akibat Covid-19.
Kebijakan yang diambil pemerintah pun semestinya sesuai dengan keinginan dan kebutuhan rakyat. Karena Covid-19 telah menyebabkan banyak orang kehilangan penghasilan, pemerintah perlu membuat program yang bisa menciptakan lapangan kerja, seperti proyek-proyek padat karya.
”Padat karya harus dilakukan besar-besaran, jangan malah kebijakan membuka bioskop, itu keliru. Jalankan kebijakan employement creation,” kata Emil.
Pemerintah perlu memberi dukungan penuh pada inisiatif-inisiatif masyarakat dalam menangani dampak kesehatan ataupun ekonomi dari Covid-19. Sebab, kadangkala kebijakan pemerintah tidak berkesesuaian dengan inisiatif rakyat.
Pemerintah, lanjut Emil, juga perlu membuka partisipasi masyarakat yang kini banyak mengambil inisiatif untuk menjaga perekonomian. Pemerintah perlu memberikan ruang gerak yang lebih luas kepada masyarakat agar dapat tumbuh secara mandiri.
Baca juga : Memitigasi Ancaman Resesi
Namun, menurut Najib, memberi ruang saja tidaklah cukup. Pemerintah perlu memberi dukungan penuh pada inisiatif-inisiatif masyarakat dalam menangani dampak kesehatan ataupun ekonomi dari Covid-19. Sebab, kadangkala kebijakan pemerintah tidak berkesesuaian dengan inisiatif rakyat.
Karena itu, orkestrasi dalam penanganan berbagai dampak Covid-19 mutlak diperlukan. Pemerintah bersama semua elemen bangsa harus satu tarikan napas dalam upaya penanggulangan Covid-19 beserta dampaknya. Selain itu, kecepatan gerak juga menjadi keharusan karena kini Ibu Pertiwi tengah berpacu dengan ancaman resesi.