Akademi Militer Huang Pu: Melawan Jepang hingga Perang Kemerdekaan Indonesia
Kisah para pemuda antipenjajahan alumni Akademi Militer Huang Pu yang berperang bersama sejawat dari China dan Indonesia adalah sejarah yang menjadi penyegar ingatan dan membangkitkan semangat persahabatan antarbangsa.
Solidaritas sesama rakyat Asia mendorong para pemuda idealis bangkit bersama melawan penindasan dan penjajahan semasa Perang Dunia II berkecamuk (1939–1945). Hubungan Kepulauan Nusantara dan Daratan China menjadi erat karena semangat melawan penindasan. Akademi Militer Whampoa di Provinsi Guangdong, China, menjadi simpul bertemunya para pemuda idealis tersebut
Akademi Militer Whampoa atau Huang Pu Jun Xiao di Kota Kanton yang kini dikenal sebagai Guangzhou menjadi simpul sejarah tempat para pemuda dari Nusantara datang ke China untuk melawan serangan fasisme Jepang. Di akademi militer yang sama, sejumlah perwira lulusan Huang Pu juga datang ke Indonesia dan turut mendukung Republik Indonesia dalam Perang Kemerdekaan Republik Indonesia (1945-1949).
Nouval Mursita, pemuda Aceh yang pernah menempuh pendidikan pascasarjana di China, membuka data sejarah tentang pemuda-pemuda dari Hindia-Belanda yang berangkat ke Huang Pu untuk menempuh pendidikan militer demi melawan serbuan Jepang di China. Nouval yang fasih berbahasa Mandarin menerangkan, sesudah insiden Jembatan Marcopolo (Marcopolo Bridge Incident) yang direkayasa militer fasis Jepang tahun 1937, banyak pemuda keturunan Tionghoa di Jawa dan Sumatera bertekad melawan agresi Jepang.
Akademi militer Huang Pu sebagai sekolah militer modern memiliki para instruktur asal Jerman dan Rusia—Rusia Putih atau Golongan Tzarist—anti komunis yang tersingkir sesudah Revolusi Bolshevik di Rusia tahun 1917.
Berawal dari Insiden Jembatan Marcopolo-Lugou Qiao Shibian-tanggal 7 Juli 1937, ketika tentara fasis Jepang tiba-tiba menyerang jembatan yang dijaga tentara Revolusioner Nasionalis Guomindang (dibaca Kuomintang), serangan tersebut sebagai titik awal serbuan Jepang untuk menguasai China.
Rangkaian agresi tersebut juga digambarkan oleh komikus George Remi alias Herge dalam komik Tintin seri Lotus Biru yang terinspirasi atas agresi Jepang yang terus-menerus terjadi sejak tahun 1931 di China. Rekayasa pihak Jepang yang menghancurkan rel kereta api Manchuria—insiden Mukden September 1931—dan menuduhnya sebagai perbuatan Bandit China, juga direkam dalam komik Lotus Biru. Insiden tersebut awal dari pendudukan Jepang di China.
Selanjutnya serangan terhadap Jembatan Marcopolo terjadi tahun 1937. Insiden tersebut berhasil menghentikan Perang Saudara golongan Nasionalis dan Komunis di China yang sempat berseteru (1927-1937). Front Persatuan pun berdiri dan juga menimbulkan simpati para warga keturunan Tionghoa dan masyarakat dunia.
Novelis Pearl S Buck di Amerika Serikat berulang kali memperjuangkan nasib China yang jadi bulan-bulanan militer Jepang dalam berbagai kampanye kemanusiaan yang diadakan Pearl S Buck di Amerika Serikat.
Para pemuda Hindia Belanda dari berbagai latar suku bangsa juga turut memperjuangkan nasib China yang ditindas militer fasis Jepang. Para pelajar Indonesia di Belanda juga pernah mengadakan pertunjukan seni untuk penggalangan dana kemanusiaan di China pada tahun 1930-an itu.
Para pemuda-pemudi keturunan Tionghoa di Indonesia, terutama dari Jawa, Kalimantan, dan Sumatera banyak yang terpanggil menjadi relawan. Pada tahun 1939, ada sembilan gelombang pengiriman relawan ke China sejumlah 913 orang sebagai relawan pengemudi kendaraan bermotor dan mekanik. Menurut Nouval Mursita, hampir separuh dari relawan tersebut gugur dalam perang melawan Jepang.
Dalam buku Memoir Ang Jang Goan—pendiri Rumah Sakit Jang Seng Ie yang kini dikenal sebagai RS Husada di Jakarta—tercatat para dokter dan paramedis dari Batavia juga berangkat menjadi relawan dalam perang melawan Jepang. Ang Jang Goan yang juga aktif dalam grup koran Melayu Tionghoa, Sin Po, bergadengan tangan dengan para nasionalis Indonesia.
Melalui media massa, mereka sepakat menggunakan istilah Tionghoa dan bukan China untuk menyebut etnis Tionghoa dan juga menggunakan istilah Indonesier dan bukan Inlander—sebutan menghina dari penjajah Belanda—untuk menyebut Bumiputera dalam terbitan media untuk menghargai martabat sesama manusia yang berjuang dari perhambaan penjajahan Barat dan fasisme.
Masuk Akademi Huang Pu
Nouval Mursita mencatat, pendidikan di Akademi Militer Huang Pu berlangsung selama setahun bagi para relawan dari Nanyang—Asia Tenggara—yang merupakan Cabang Keempat dari Akademi Militer Pusat yang dikenal sebagai Akademi Militer Whampoa. Zhou Enlai—kelak menjadi Perdana Menteri RRC— pernah menjadi direktur politik di Akademi Militer Huang Pu. Dia banyak mendidik pemimpin militer kelak di kubu Guomindang—Nasionalis di Taiwan— dan kubu Komunis di Republik Rakyat China.
Nouval berhasil menghimpun 40 nama kadet dari Hindia Belanda, yakni Peng Jia Heng (19) asal Pontianak, Zhu Yungzhing, Lin Jinzhu (25) asal Kota Surabaya, Chen Yingjie (22) asal Pulau Bangka, Lin Chuan (20) asal Kota Pontianak, Liu Qingren (29) asal Kota Nganjuk, Li Deyuan (23) asal Kota Surakarta, Wei Ruitao (26) asal Kota Batavia, Yang Chunmin (22) asal Kota Batavia, Zhong Guoliang (23) asal Kota Pontianak, dan He Maosheng (24) asal Pulau Belitung.
Kemudian ada Lai Chaoqun (27), Tian Xiaoheng (26), Zhu Shuye (21) asal Kota Singkawang, Li Xinji (22) asal Kota Batavia, Liang Zhijian (22) asal Kota Batavia, Yang Ruishan (21) asal Kota Malang, Wang Guoliang (21) asal Kota Malang, Cai Shuian (21) asal Kota Singkawang, Wei Fengzhang (24) asal Kota Ambon, Liang Yingxian (25) asal Pulau Bangka, Zhu Yuming (23) asal Kota Ampenan, dan Yang Fangshi (22) asal Pulau Sumba.
Berikutnya Chen Weiquan (21) asal Kota Surabaya, Wu Yuncong (23) asal Deli Serdang, Huang Dexi (21) asal Kota Cilacap, Rao Genghua (23) asal Kota Batavia, Huang Fujin (23) asal Kota Batavia, Chen Shaoxun (26) asal Kota Semarang, Chen Xiquan (20) asal Kota Batavia, Yu Yishun (21) asal Kota Blitar, Chen Qili (20) asal Kota Bima, Xu Mingding (22) asal Kota Surabaya, Huang Weizheng, Huang Xingxiang, Zhang Guoliang, Wen Denglu, Lin Kaimiao, Liang Yuebo, dan Chen Qiming.
Para instruktur militer mereka di Akademi Whampoa atau Huang Pu berasal dari Rusia dan Amerika Serikat. Setelah lulus mereka tergabung dalam Tentara Revolusioner Nasional. Hingga Perang Dunia II berakhir, hanya 20 persen dari mereka yang selamat.
Salah satu kadet, yakni Xu Mingding asal Kota Surabaya, dikirim untuk menjadi penerbang militer dan berlatih di Amerika Serikat tahun 1944. Pada tanggal 16 Maret 1945, Xu Mingding tewas karena pesawatnya jatuh di pinggiran Kota Oklahoma. Dia dikebumikan di pemakaman militer di Texas, Amerika Serikat.
Alumnus lainnya adalah Chen Xiquan, kelahiran Kota Xiamen yang hijrah ke Batavia, kemudian bergabung dengan Divisi ke-29 dengan kekuatan 8.000 orang bertempur melawan 12.000 serdadu Jepang di Techong, Yunnan. Setelah sebulan bertempur, pihak Jepang dikalahkan, tetapi Divisi ke-29 kehilangan sepertiga pasukan. Sesudah perang, Chen Xiquan kembali ke Jakarta.
Ada juga kisah kakak beradik Chen Qiming dan Chen Zheng. Mereka berdua lulus dari Akademi Militer Huang Pu. Chen Zheng gugur dalam pertempuran melawan Jepang saat mempertahankan Kota Wuhan. Adapun Chen Qiming setelah mengundurkan diri dari ketentaraan, kembali ke Republik Indonesia yang telah merdeka dan mendirikan Bank Ekonomi Nasional Indonesia.
Cerita menarik dialami Peng Jiaheng asal Pontianak yang setelah lulus dari Akademi Militer Huang Pu tahun 1941 masuk ke sekolah penerbang dan bergabung dalam Angkatan Udara China-Amerika ke-14, yakni ”The Flying Tigers” yang terkenal. Dia menerbangkan pesawat tempur P–51 Mustang di tahun 1944 dan pada 1945 ikut dalam misi serangan udara Sekutu ke Kota Wuhan yang dikuasai fasis Jepang. Pada 14 Agustus 1945, setelah mengikuti 64 misi, Peng Jiaheng mendapat Flying Cross dari Pemerintah Amerika Serikat.
Pada tahun 1947, Peng Jiaheng—yang rutin ikut reuni The Flying Tigers—kembali ke Indonesia. Kemudian di tahun 1950, dia kembali ke China ikut menjadi perintis sebagai pilot di Maskapai Air China. Di tahun 2002, dia sempat mudik ke Pontianak, Kalimantan Barat. Sesudah wafat, dia diperabukan dan abunya dibawa pulang ke Tanah Air: Indonesia.
Perang Kemerdekaan Indonesia
Beberapa alumnus Akademi Militer Huang Pu asal China juga terlibat dalam Perang Kemerdekaan Indonesia, mendukung perjuangan melawan kembalinya Belanda yang membonceng Pasukan Inggris. Dalam laman wartakota.com tanggal 17 Januari 2017, berjudul ”Sejarah yang Terlupakan antara Huang Pu dan Nusantara” disebutkan, sosok Kho Sien Hoo asal Provinsi Fujian—alumnus Huan Pu—yang terlibat dalam Pertempuran Palagan Ambarawa.
Sastrawan Pramoedya Ananta Toer menuliskan dalam buku biografi Ghanda Winata Bangkit dan Pantang Menyerah: Kisah Nyata Inspiratif Seorang Prajurit, Pendidik, dan Pebisnis Tionghoa, mengungkapkan peran Surjo Budihandoko alias Kho Sien Hoo yang menjadi Komandan Tertinggi Laskar Rakyat Magelang dan Kedu. Kho memimpin BKR merampas senjata Nakamura Butai-Batalyon Nakamura-dan melawan Pasukan Inggris Gurkha dan NICA di front Ambarawa.
Adapun Ghanda Winata yang ditemui penulis dalam satu kesempatan, mengatakan, Kho Sien Hoo datang bersama dua temannya alumni Akademi Militer Huang Pu, yakni Lim Tjiang Kee dan Lim Sun Kho. Mereka turut berperang dalam Revolusi Fisik Republik Indonesia.
Kisah para pemuda antifasis dan antipenjajahan yang mendapatkan ilmu kemiliteran di Akademi Militer Huang Pu yang juga berperang bersama sejawat dari China, Amerika Serikat, dan Indonesia adalah penggalan sejarah yang dapat menjadi penyegar ingatan dan membangkitkan kembali semangat persahabatan antarbangsa.