Pada 2 Agustus 2020 tepat lima bulan Indonesia menghadapi pandemi Covid-19. Arsip media mencatat, 2 Maret 2020, bertempat di Istana Merdeka, Presiden Joko Widodo mengumumkan pertama kali dua WNI positif Covid-19.
Oleh
Budiman Tanuredjo
·4 menit baca
Saat berbincang dalam acara Satu Meja di Kompas TV, 15 Juli 2020, Ketua Umum Palang Merah Indonesia Jusuf Kalla memperkirakan, pada akhir Juli 2020 jumlah orang terinfeksi Covid-19 menembus 100.000. Prediksi itu tepat. Belum lagi bulan Juli 2020 berakhir, angka 100.000 sudah ditembus.
Tanggal 2 Agustus 2020 tepat lima bulan Indonesia menghadapi pandemi Covid-19. Arsip media mencatat, 2 Maret 2020, bertempat di Istana Merdeka, Presiden Joko Widodo mengumumkan pertama kali dua warga negara Indonesia terkonfirmasi positif virus korona jenis baru. Presiden duduk santai didampingi Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto, Menteri Sekretaris Negara Pratikno, dan Sekretaris Kabinet Pramono Anung Wibowo.
Pengumuman itu penting sekaligus menimbulkan kehebohan dan mengakhiri penyangkalan. Sebelumnya, pemerintah menyangkal kemungkinan ada warga negara Indonesia terkonfirmasi Covid-19. Pada awalnya, ada sikap menganggap remeh Covid-19, ada pula yang secara berkelakar menyebut virus korona jenis baru sulit masuk karena birokrasi yang rumit atau orang Indonesia suka makan nasi kucing.
Pada awalnya, ada sikap menganggap remeh Covid-19, ada pula yang secara berkelakar menyebut virus korona jenis baru sulit masuk karena birokrasi yang rumit atau orang Indonesia suka makan nasi kucing.
Media massa sudah jauh hari memperingatkan tak mungkin Indonesia luput dari korona. Harian Kompas, 11 Februari 2020, menerbitkan tulisan ”Indonesia antara Kebal dan Bebal”. Tulisan yang sempat disebut sebagai ”hoaks” itu mencoba menjelaskan dan memperingatkan pemerintah agar secara dini mengantisipasi penularan Covid-19.
Lima bulan pandemi, belum ketahuan kapan Indonesia akan mencapai puncaknya. Meski puncak belum ketahuan, Presiden Jokowi berulang kali mengingatkan semua pihak agar mewaspadai gelombang kedua. Entah apa yang dimaksud dengan istilah gelombang kedua atau istilah new normal yang kerap disalahartikan bahwa situasi sudah normal.
Data per 30 Juli 2020, jumlah warga terinfeksi Covid-19 di Indonesia mencapai 106.336 kasus, 64.292 sembuh dan 5.058 meninggal. Itu adalah data yang dilaporkan. Data yang tidak dilaporkan atau data yang diolah sumber nonpemerintah diyakini bisa lebih tinggi. Adapun di dunia jumlah kasus positif Covid-19 sebanyak 17.482.248 kasus, yang sembuh 10.941.911 orang dan yang meninggal 676.825 jiwa.
Berdasarkan data worldometers.info, Indonesia ada di peringkat ke-24 negara dengan konfirmasi positif Covid-19 terbanyak di dunia. Bahkan, Indonesia sudah menyalip China, negara tempat pertama kali wabah ditemukan. Jumlah tes Covid-19 di Indonesia 5.398 per satu juta penduduk. Sementara itu, di China per satu juta penduduk dilakukan 62.814 tes. Di Indonesia, baru Jakarta yang angka tesnya tinggi dan melebihi standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Saat beberapa negara lain sudah berada di kurva melandai atau menurun, Indonesia masih berjuang mengendalikan Covid-19. Puncaknya belum tercapai. Taiwan dan Vietnam bisa jadi contoh pengendalian Covid-19 dengan jumlah korban sangat minimal.
Kajian pemodelan yang dibuat Tim Covid-19 Analytics dari Pusat Riset Operasi di Massachusetts Institute of Technology, AS, kasus positif Covid-19 di Indonesia akan mencapai 400.000 kasus, Oktober 2020. Sudah banyak pemodelan dibuat. Bahkan, di Indonesia, lembaga survei politik ikut membuat prediksi kapan Covid-19 berakhir. Pemodelan itu terus berubah. Alasannya, datanya juga berubah. Jadi, jangan terlalu terpengaruh pemodelan.
Kondisi sekarang tak bisa dilepaskan dari kebijakan masa lalu. Kebijakan yang kurang mengedepankan sains, kebijakan yang cenderung politis, membuat situasi Covid-19 jelang peringatan 75 tahun kemerdekaan Indonesia seperti saat ini. Bangsa ini juga nekat menggelar pilkada di era pandemi di 270 daerah.
Apa pun, bangsa Indonesia harus berpikir maju. Lima bulan pandemi adalah waktu yang sudah terlalu lama untuk belajar. Saatnya, Presiden Jokowi merombak menteri yang kurang kooperatif dalam penanggulangan Covid-19. Ketidakpuasan publik begitu tampak.
Saatnya ego sektoral dikikis habis. Ego sektoral dan perebutan kewenangan yang menghambat penanganan krisis. Saatnya, Presiden sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara tegas mengatasi ego sektoral.
Presiden secara periodik bertemu secara virtual untuk mengatasi penularan Covid-19. Menanyakan kepada para kepala daerah, memberikan bantuan yang diminta, dan memberikan target bagaimana perilaku warga harus diubah. Perilaku warga inilah kata kuncinya selain program test, trace, dan treat.
Saatnya pula pendekatan sishankamrata dikedepankan mendisiplinkan warga agar taat protokol kesehatan. Semua hierarki harus diberi tanggung jawab mendisiplinkan warga untuk bermasker, menjaga jarak, dan mencuci tangan. Pendisiplinan dilakukan lewat bahasa sederhana, jika perlu bahasa lokal—misalnya nyedhak keplak (mendekat pukul)—ketimbang new normal yang tak dimengerti artinya.
Di delapan wilayah dengan tingkat penularan tinggi, Presiden secara periodik bertemu secara virtual untuk mengatasi penularan Covid-19. Menanyakan kepada para kepala daerah, memberikan bantuan yang diminta, dan memberikan target bagaimana perilaku warga harus diubah. Perilaku warga inilah kata kuncinya selain program test, trace, dan treat.
Momen pilkada yang amat berisiko harus dimanfaatkan agar petahana bisa mengendalikan Covid-19 di daerahnya. Gugus tugas yang telah membangun sistem informasi dan berjibaku dari awal krisis diganti dengan Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional. Semoga saja langkah ini bisa mencegah bangsa ini dari krisis multidimensi.