Jika terindikasi ada dugaan suap, KPK dapat ambil bagian dalam pemeriksaan kasus buronan perkara pengalihan hak tagih utang atau ”cessie” Bank Bali, Joko Soegiarto Tjandra. Hal itu sesuai dengan undang-undang KPK.
Oleh
PDS/NAD/REK/BOW
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemberantasan Korupsi dapat ambil bagian dalam pemeriksaan kasus buronan perkara pengalihan hak tagih utang atau cessie Bank Bali, Joko Soegiarto Tjandra, jika terindikasi ada dugaan suap. Hal tersebut dapat dilakukan KPK sesuai dengan undang-undang KPK.
Hingga saat ini Joko Tjandra yang kabur sehari sebelum putusan Mahkamah Agung pada 2009 belum tertangkap juga hingga menjadi buronan. Lolosnya Joko diduga karena ada beberapa oknum yang terlibat, termasuk aparat penegak hukum dan penyelenggara negara.
Terkait dengan hal itu, KPK dapat ikut terlibat langsung jika memang terindikasi ada dugaan suap. Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron saat dihubungi di Jakarta, Rabu (22/7/2020), menegaskan, status Joko adalah buron. ”Apa kewenangan KPK? Kalau kehadiran dan aktivitasnya di Indonesia beberapa waktu yang lalu, misalnya di-back-up aparat penegak hukum maupun aparat pemerintah, yang misalnya ada indikasi suap atau gratifikasi, tentu kami akan melakukan penindakan lebih lanjut,” ujar Ghufron menunjuk Pasal 11 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas UU No 30/2002 tentang KPK.
Apa kewenangan KPK? Kalau kehadiran dan aktivitasnya di Indonesia beberapa waktu yang lalu, misalnya di-back-up aparat penegak hukum maupun aparat pemerintah, yang misalnya ada indikasi suap atau gratifikasi, tentu kami akan melakukan penindakan lebih lanjut.
Menurut dia, dalam posisi tersebut, KPK bisa melakukan penindakan langsung ataupun supervisi. Akan tetapi, saat ini KPK belum bisa memberikan kepastian apakah akan memberikan supervisi ataupun koordinasi karena aparat penegak hukum dari instansi lain tengah berproses.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, menambahkan, berdasarkan Pasal 10 A UU KPK, KPK dapat mengambil alih penyidikan. Hal itu jika proses penanganan tindak pidana korupsi tanpa ada penyelesaian atau tertunda tanpa alasan. ”Pasal tersebut harusnya dapat dijadikan dasar KPK mengambil alih penyidikan atas dugaan tindak pidana suap Joko saat masuk wilayah hukum Indonesia,” kata Kurnia.
Ia menambahkan, hal tersebut perlu dilakukan jika kepolisian tidak segera mengungkap siapa saja yang terlibat. Salah satu kewenangan KPK adalah penyelidikan, penyidikan dugaan tindak pidana suap yang berasal dari penyelenggara negara atau penegak hukum. Oleh karena itu, kepolisian harus segera memproses hukum para oknum Polri yang terlibat pelarian Joko. Jika dalam tenggang waktu tertentu tidak kunjung dilakukan, KPK harus mengambil bagian agar perkara itu bisa segera ditindaklanjuti.
Pengacara diperiksa
Sejauh ini, Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri Inspektur Jenderal Raden Prabowo Argo Yuwono mengatakan, selama dua hari kemarin, Polri telah memeriksa salah seorang pengacara Joko Tjandra, berinisial ADK.
Terkait dengan pencopotan Irjen Napoleon Bonaparte dan Brigjen (Pol) Nugroho S Wibowo, tambah Argo, dilakukan karena ada prosedur standar operasi terkait dengan administrasi yang tidak dilakukan oleh keduanya. Karena itu, terdapat pelanggaran kode etik.
Tentang dugaan Joko di Malaysia, Argo mengatakan, kepolisian masih terus melakukan kegiatan penangkapan dan memulangkannya kembali ke Indonesia. ”Kita tunggu saja,” kata Argo.
Menurut Argo, polisi tidak menghapus red notice Joko dari Interpol sebab yang bisa hanya markas besar Interpol di Perancis.
Kepolisian masih terus melakukan kegiatan penangkapan dan memulangkannya kembali ke Indonesia.
Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Listyo Sigit Prabowo membenarkan, saat ini sudah ada permintaan bantuan untuk memburu Joko dari rapat Menkopolhukam.
Sementara itu, pimpinan DPR didesak mengadakan rapat pimpinan atau menggelar rapat Badan Musyawarah kembali guna membicarakan kemungkinan solusi sesuai permintaan rapat kerja Komisi III DPR tentang kasus Joko Tjandra. Sejauh ini, izin rapat itu belum disetujui pimpinan DPR karena ada kesepakatan rapat Bamus DPR yang melarang rapat pengawasan pada masa reses. Sebelumnya, Komisi III mengajukan rapat dengan kepolisian, kejaksaan, serta Kementerian Hukum dan HAM, tetapi ditolak pimpinan DPR, yang diwakili Wakil Ketua DPR Bidang Politik dan Keamanan Azis Syamsuddin.
Menurut peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia, Lucius Karus, penyelenggaraan atau rapim ataupun rapat Bamus DPR pada masa reses untuk merespons isu-isu yang krusial dapat dilakukan DPR.