Akibat pandemi Covid-19, Persyarikatan Muhammadiyah memutuskan menunda penyelenggaraan muktamar ke-48 selama dua tahun, dari jadwal semula tahun 2020 menjadi 2022. Pertimbangan utama penundaan untuk keselamatan umat.
Oleh
ANITA YOSSIHARA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Persyarikatan Muhammadiyah memutuskan menunda penyelenggaraan muktamar ke-48 selama dua tahun, dari jadwal semula pada tahun 2020 menjadi tahun 2022. Situasi darurat akibat pandemi yang belum menunjukkan tanda-tanda terkendali menjadi pertimbangan organisasi kemasyarakatan Islam terbesar kedua di Indonesia itu menunda muktamar.
Keputusan penundaan muktamar ke-48 diambil dalam sidang tanwir yang digelar secara daring pada Minggu (19/7/2020). ”Sidang tanwir memutuskan Muktamar Ke-48 Muhammadiyah dan Muktamar Ke-48 Aisyiyah dilaksanakan pada bulan Juli 2022 secara tatap muka (offline) dengan mempertimbangkan kesiapan panitia pelaksana, keselamatan, keamanan, kesehatan, dan pertimbangan lain yang terkait dengan kemaslahatan bersama sesuai dengan dasar-dasar ajaran Islam, kajian ilmiah, dan berbagai pertimbangan strategis organisasi,” kata Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti saat membacakan hasil sidang tanwir dari Gedung Pusat Dakwah Jakarta.
Sidang tanwir bertema ”Hadapi Covid-19 dan Dampaknya: Beri Solusi untuk Negeri” digelar secara virtual. Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir bersama sejumlah pengurus, seperti ketua A Dahlan Rais, sekretaris Agung Danarto, dan bendahara Marpudji Ali, mengikuti sidang tanwir dari Kantor Pimpinan Pusat Muhammadiyah di Yogyakarta. Sementara Mu’ti beserta sejumlah pimpinan organisasi otonom, seperti Ketua PP Pemuda Muhammadiyah Sunanto, berada di Gedung Pusat Dakwah Menteng, Jakarta.
Sidang tanwir memutuskan Muktamar Ke-48 Muhammadiyah dan Muktamar Ke-48 Aisyiyah dilaksanakan pada bulan Juli 2022 secara tata muka dengan mempertimbangkan kesiapan panitia pelaksana, keselamatan, keamanan, kesehatan, dan pertimbangan lain yang terkait dengan kemaslahatan bersama sesuai dengan dasar-dasar ajaran Islam, kajian ilmiah, dan berbagai pertimbangan strategis organisasi.
Salah satu agenda utama yang dibahas dalam tanwir yang diikuti seluruh pengurus pimpinan wilayah dan pimpinan daerah Muhammadiyah se-Indonesia itu adalah menetapkan pelaksanaan muktamar ke-48. Awalnya, Muktamar Muhammadiyah dan Aisyiyah akan digelar di Surakarta, Jawa Tengah, pada 1-5 Juli 2020. Namun, pada bulan Mei, muktamar diputuskan diundur pada 24-27 Desember 2020 karena pandemi Covid-19 diperkirakan belum bisa dikendalikan.
Awal Juli, PP Muhammadiyah kembali memutuskan menunda muktamar karena situasi darurat Covid-19 belum juga berakhir. Setelah mendengarkan saran dan usulan dari banyak pihak, termasuk tim Muhammadiyah Covid-19 Command Center (MCCC), sidang tanwir akhirnya memutuskan melaksanakan muktamar pada Juli 2022.
Mu’ti menjelaskan, pelaksanaan muktamar secara daring untuk menghindari penyebaran Covid-19 sulit dilakukan. Tak hanya rawan jika dilihat dari aspek keamanan, muktamar daring juga diyakini kurang efektif untuk pengambilan keputusan.
Semua peserta tanwir pun akhirnya sepakat untuk menggelar muktamar dengan tatap muka langsung setelah pelaksanaan ibadah haji tahun 2022 yang bertepatan dengan bulan Juli. Meski begitu, Muhammadiyah tetap terbuka dengan pilihan penyelenggaraan muktamar pada tahun 2021 dengan syarat situasi sudah benar-benar aman dari segi kesehatan dan aspek lainnya.
”Apabila pada tahun 2021 keadaan benar-benar aman dari segi kesehatan dan berbagai aspek lainnya, dapat dibuka kemungkinan pelaksanaan muktamar pada tahun 2021 dengan mempertimbangkan maslahat-mudarat dan kemudahan pelaksanaannya,” kata Mu’ti.
Muhammadiyah dan Aisyiyah telah mengenyam pengalaman yang kaya dalam kehidupan berorganisasi maupun menjalankan fungsi keumatan, kebangsaan, dan kemanusiaan semesta sebagai pengejawantahan misi dakwah dan tajdid yang digariskan sebagai gerak Muhammadiyah.
Situasi darurat
Sementara dalam pidatonya, Haedar Nashir menyampaikan, penundaan muktamar bukan kehendak persyarikatan. Situasi darurat, di mana pandemi Covid-19 belum menunjukkan tanda-tanda terkendali, memaksa persyarikatan menunda muktamar.
”Hal yang ingin kami sampaikan bahwa penundaan muktamar itu bukan karena kehendak kita, melainkan karena situasi darurat di mana kita tidak bisa menerabasnya. Dan ada satu yang lebih luhur, lebih mulia, di balik keputusan kita itu, yaitu melindungi nyawa manusia,” ujar Haedar.
Keputusan menunda muktamar tak lepas dari rekomendasi yang berasal dari kajian tim MCCC dan para ahli virus serta pakar epidemiologi yang menyatakan bahwa pada Desember 2020, kasus positif Covid-19 belum dapat dipastikan melandai. Kajian yang melibatkan para ahli kedokteran, virus, dan epidemiologi itu menyarankan kegiatan yang bersifat komunal tidak dilakukan demi memutus mata rantai Covid-19.
Haedar kembali menegaskan, Covid-19 telah merenggut banyak korban, tak hanya di Indonesia, tetapi hampir di semua negara. Penyakit yang disebabkan virus SARS-CoV-2 itu terbukti menyebar dengan cepat.
Hal itulah yang menjadi alasan utama Muhammadiyah memutuskan menunda muktamar. Haedar tidak ingin pelaksanaan muktamar yang melibatkan ratusan ribu peserta dan penggembira menjadi tempat penyebaran virus. Apalagi bagi Muhammadiyah, keselamatan jiwa umat merupakan hal yang utama.
”Ancaman terhadap jiwa manusia ini bagi kita bukanlah sesuatu yang sederhana. Bagi Muhammadiyah, bahkan kegiatan-kegiatan ibadah pun kita ijtihadi untuk ditunaikan di rumah yang dari segi syariah telah terpenuhi dan menjadi solusi kita agar tidak terjadi penularan lebih luas,” ujar Haedar.
Hal yang ingin kami sampaikan bahwa penundaan muktamar itu bukan karena kehendak kita, melainkan karena situasi darurat di mana kita tidak bisa menerabasnya. Dan ada satu yang lebih luhur, lebih mulia, di balik keputusan kita itu, yaitu melindungi nyawa manusia.
Sementara Ketua Umum PP Aisyiyah Noordjannah Djohantini dalam pidatonya menyampaikan komitmen perkumpulan perempuan Muhammadiyah itu dalam membantu menyelesaikan berbagai persoalan bangsa, termasuk pandemi Covid-19 beserta dampaknya. ”Aisyiyah sebagai ibu negeri tidak boleh tinggal diam, apalagi tenggelam di dalam kesedihan tanpa berbuat untuk memberikan solusi bagi permasalahan bangsa,” ujarnya.
Dampak pandemi Covid-19, lanjut Noordjannah, semakin meluas. Jumlah masyarakat miskin bertambah, begitu juga pengangguran. Perempuan dan anak-anak pun menjadi kelompok terdampak dari kondisi tersebut.
Karena itu, Aisyiyah bertekad tetap menjalankan berbagai program yang telah dicanangkan, baik di bidang pendidikan, kesehatan, sosial, maupun ekonomi. Pandemi tidak akan menghalangi Aisyiyah dalam melakukan ikhtiar untuk memajukan umat dan bangsa Indonesia.