Antiklimaks Drama ”Reshuffle” Kabinet
Pandemi Covid-19 yang berlangsung empat bulan lalu meluluhlantakkan hampir seluruh sektor kehidupan. Masyarakat pun mulai marah, kecewa dengan kinerja kabinet. ”Reshuffle” kabinet jadi opsi meski belum jadi realita.
Ekspektasi publik akan adanya perbaikan kinerja pemerintahan yang lebih baik akan tetap membubung tinggi meskipun perombakan kabinet saat ini seolah hanya menjadi antiklimaks dari drama reshuffle.
Pandemi Covid-19 yang telah berlangsung empat bulan meluluhlantakkan hampir seluruh sektor kehidupan. Masyarakat pun mulai marah, kecewa, dengan kinerja kabinet yang seakan kurang tanggap dan gagap mencari jalan keluar berbagai persoalan.
Jajak pendapat Litbang Kompas pada 7-11 Juli 2020 menunjukkan, 87,8 persen responden tidak puas dengan kinerja menteri, terutama terkait penanganan Covid-19. Hanya 9 persen yang menyatakan puas dengan kinerja kabinet.
Salah satu pemicu ketidakpuasan publik terhadap kinerja kabinet adalah penyaluran bantuan sosial yang tak merata dan tak tepat sasaran. Alasan itu setidaknya disampaikan 75,1 persen responden.
Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), khususnya terkait pemberian stimulus bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang tidak lancar, juga menjadi alasan ketidakpuasan publik. Sedikitnya 68,5 persen responden menganggap kebijakan tersebut belum optimal mengatasi dampak ekonomi akibat Covid-19.
Baca juga: Sinyal Perombakan Kabinet dan Reaksi Parpol Pendukung Jokowi-Amin
Peneliti Litbang Kompas, Toto Suryaningtyas, dalam bincang-bincang Satu Meja The Forum yang disiarkan Kompas TV, Rabu (15/7/2020) malam, mengungkapkan, persentase ketidakpuasan publik terhadap kinerja kabinet yang hampir 90 persen itu merupakan angka absolut. ”Karena kami biasanya mendapatkan angka mayoritas di kisaran 70 persen,” katanya dalam acara yang dipandu wartawan senior Kompas, Budiman Tanuredjo.
Jajak pendapat Litbang Kompas pada 7-11 Juli 2020 menunjukkan 87,8 persen responden tidak puas dengan kinerja menteri, terutama terkait penanganan Covid-19. Hanya 9 persen yang menyatakan puas dengan kinerja kabinet. Salah satu pemicu ketidakpuasaan publik terhadap kinerja kabinet adalah penyaluran bantuan sosial yang tak merata dan tak tepat sasaran.
Bincang-bincang bertema ”Drama Reshuffle Kabinet” itu juga menghadirkan Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki, Juru Bicara Presiden Fadjroel Rachman, pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Aisah Putri Budiarti, dan politikus Partai Keadilan Sejahtera M Nasir Djamil sebagai narasumber.
Angka ketidakpuasan publik terhadap kinerja kabinet kali ini merupakan yang tertinggi sejak Presiden Joko Widodo memimpin pada 2014. Dua bulan setelah perombakan kabinet pertama pemerintahan Jokowi bersama Jusuf Kalla pada Agustus 2015, misalnya penilaian negatif terhadap kinerja kabinet hanya 47,6 persen. ”Saat reshuffle pertama dan kedua periode pertama Jokowi, angkanya tak seekstrem ini. Angka hampir 90 persen menunjukkan kondisi psikososial masyarakat, ada ketidakpuasan yang besar dan masif,” kata Toto.
Kinerja kabinet yang tak optimal juga dirasakan Presiden Jokowi. Hal itu terungkap saat memberikan arahan dalam sidang kabinet paripurna, Kamis (18/6/2020). Dalam video yang diunggah 10 hari setelah sidang pada akun Youtube Sekretariat Presiden, Presiden berbicara dengan nada tinggi mempersoalkan kerja kabinet yang seakan tak merasakan krisis dan abnormalitas. Saking kesalnya, Jokowi mengancam mengambil langkah-langkah luar biasa untuk menyelamatkan 267 juta rakyat Indonesia.
”Bisa membubarkan lembaga, bisa saja reshuffle, sudah kepikiran ke mana-mana saya,” ujar Jokowi di hadapan Wakil Presiden Ma’ruf Amin beserta para menteri dan kepala lembaga. Teguran dan kemarahan Presiden itu pun menimbulkan spekulasi. Banyak kalangan menganggap kemarahan itu sinyal kabinet segera dirombak.
Isu perombakan kabinet yang mulai liar pun teredam setelah Menteri Sekretaris Negara Pratikno menegaskan perubahan kinerja para menteri dan lembaga mulai berjalan baik kembali.
”Teguran keras tersebut dilaksanakan secara cepat oleh kabinet. Ini progres yang bagus. Jadi, kalau progresnya bagus, ngapain di-reshuffle?” kata Pratikno. Mantan Rektor Universitas Gadjah Mada itu juga mengajak publik tak lagi membahas isu perombakan kabinet.
Teten mengakui, realisasi program PEN memang lambat, sementara sudah banyak UMKM yang terpukul akibat pandemi. Penyusunan PEN dimulai awal Maret dan baru selesai awal Juli karena banyak proses yang harus dilalui, mulai dari penyusunan peraturan presiden, pengajuan anggaran di Kementerian Keuangan, berlanjut ke DPR, hingga penyaluran yang relatif rumit. ”Kalau saya mengatakan overregulated. Jadi, ini yang membuat lambat,” kata Teten. Contohnya, perpres yang sampai dua kali direvisi.
Setelah teguran
Menurut Teten, setelah teguran Presiden, terjadi percepatan realisasi program PEN. Penyerapan anggaran di kementerian dan lembaga mulai meningkat. Kementerian Koperasi dan UMKM, misalnya, naik dari Rp 1 triliun, kini terserap hingga 24 persen. Bahkan, targetnya, realisasi anggaran sampai 50 persen pada akhir Juli.
Meski program kerja di kementerian mulai berjalan, Presiden masih belum merasa puas. Sehari setelah Mensesneg menyampaikan kinerja kabinet yang mulai membaik, Selasa (7/7/2020), Presiden kembali menegur para menteri agar bekerja lebih keras lagi. Sebab, ia melihat tiga bulan bekerja dari rumah justru seperti cuti. ”Saya minta kita memiliki sense yang sama, sense of crisis yang sama. Jangan sampai tiga bulan lalu kita menyampaikan bekerja dari rumah, yang saya lihat ini kayak cuti,” kata Presiden saat rapat terbatas membahas percepatan penyerapan anggaran enam kementerian/lembaga.
Enam hari kemudian, Senin (13/7/2020), Presiden kembali menyampaikan rencana pembubaran lembaga non-struktural. Menurut dia, ada 18 badan dan komisi yang akan dibubarkan dalam waktu dekat.
Putri melihat kekesalan Presiden Jokowi yang disampaikan berulang-ulang menunjukkan adanya problem inefektivitas kerja kabinet. Inefektivitas itu bisa saja karena latar belakang profesi dan pendidikan menteri yang kurang relevan dengan bidang kerja di kementerian.
Menurut dia, hanya 44 persen menteri yang punya pengalaman birokrasi dan teknokrasi. Sementara menteri yang punya latar belakang pendidikan dan pengalaman relevan dengan bidang kerja kementerian sebanyak 60 persen. ”Dengan kondisi seperti itu, menteri akan sulit beradaptasi hanya sembilan bulan. Apalagi di masa pandemi, ini semakin menyulitkan,” tutur Putri.
Hanya 44 persen menteri yang punya pengalaman birokrasi dan teknokrasi. Sementara menteri yang punya latar belakang pendidikan dan pengalaman relevan dengan bidang kerja kementerian sebanyak 60 persen.
Untuk mengefektifkan kabinet, Presiden disarankan mengevaluasi kinerja secara kontinu. Jika pascaevaluasi kabinet tetap tak efektif, perombakan kabinet menjadi jalan keluar. Tentu jika perombakan jadi pilihan, Presiden harus mengangkat menteri dengan latar belakang pendidikan atau pengalaman yang relevan.
Baca juga: Kemarahan di Balik Pidato Presiden
Saran perombakan kabinet pun datang dari rakyat. Hasil jajak pendapat Litbang Kompas menunjukkan, 69 persen responden mendesak Presiden segera merombak kabinet. Namun, Fadjroel kembali menegaskan pernyataan Mensesneg bahwa kabinet tak akan dirombak. Presiden hanya menginginkan ada percepatan pelaksanaan tiga prioritas kabinet, yakni kesehatan, jaring pengaman sosial, dan PEN. Keinginan Presiden dijawab dengan percepatan berbagai program di kementerian dan lembaga.
Publik boleh saja mendesak Presiden Jokowi merombak kabinetnya lantaran tak puas dengan kinerja pemerintah. Namun, harus diingat, perombakan kabinet atau tidak adalah hak prerogatif Presiden. Pada akhirnya, drama reshuffle sejak 28 Juni lalu berujung pada sebuah antiklimaks.