Risiko Politik dan Kesehatan dari Pilkada di Tengah Pandemi Covid-19
Keputusan pemerintah, DPR, dan penyelenggara pemilu untuk menggelar pilkada di tengah pandemi Covid-19 mengandung dua risiko. Terlebih upaya untuk mengantisipasi risiko itu tak optimal.
Oleh
Edna C Pattisina
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Walau Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 6 Tahun 2020 yang mengatur protokol penyelenggaraan pemilihan kepala daerah di tengah pandemi Covid-19 dinilai telah cukup rinci mengatur agar terhindar dari Covid-19, implementasi dari aturan itu dianggap mengkhawatirkan. Adanya ketidaksinkronan kebijakan serta praktik di saat anggaran terlambat turun dianggap meningkatkan risiko tertular Covid-19.
”Ketidaktersediaannya anggaran yang memadai tak membuka ruang terpenuhinya standar protokol,” kata Khairul Fahmi, dosen Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Sumatera Barat, dalam diskusi daring bertajuk ”Protokol Penanganan Kesehatan dalam Tiap Tahapan Pilkada” yang diadakan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Selasa (14/7/2020).
Ia mencontohkan, setiap tahapan membutuhkan adanya rapid test bagi penyelenggara pemilihan. Hal ini jelas akan menguras anggaran. Di sisi lain, walau sudah ada anggaran, kalau tidak sinkron penerapannya, masalah akan terjadi saat realisasinya. ”Penyelenggara juga pasti akan khawatir kalau dituduh penyelewengan anggaran,” ujarnya.
Selain itu, ada masalah geografi, di antaranya, di beberapa daerah, pemakaian alat pelindung diri sangat sulit. Tidak saja kurangnya ketersediaan, tetapi juga suhu yang panas sehingga tidak nyaman. ”Kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan pemenuhan protokol kesehatan harus ada harmonisasi dan tidak membingungkan dan timbulkan problem,” katanya.
Ketua Tim Pemantauan Pemilu Daerah Komnas HAM Hairansyah mengatakan, ada faktor risiko yang lain seperti munculnya kluster-kluster baru. Ia menggarisbawahi beberapa titik krusial seperti masa kampanye dan pemungutan suara. Risiko dialami oleh para petugas KPU karena harus berkali-kali berinteraksi dengan masyarakat.
”Jumlah massa yang berkumpul antara 150-500 orang sesuai kapasitas maksimal saat pemungutan suara. Akan timbul kerentanan luar biasa, tergantung bagaimana pemilih gunakan protokol Covid-19,” katanya.
Selain itu, ia mengingatkan, ada pemilih-pemilih yang isolasi mandiri di rumah ataupun dirawat di rumah sakit. Berdasarkan pengalaman yang lalu, ada kendala logistik dan waktu yang dialami petugas untuk bisa menjangkau semuanya.
Hatmiati dari KPU Kalimantan Selatan mengatakan, pihaknya berusaha melaksanakan protokol kesehatan sebagaimana diatur dalam Peraturan KPU Nomor 6 Tahun 2020.
Sementara itu, Ketua KPU Sumatera Barat Amnasmen mengatakan, saat pemutakhiran data pemilih 15 Juni terjadi masalah dengan alat pelindung diri (APD). Walaupun KPU telah memiliki aturan agar semua petugas mengenakan APD, belum ada standar untuk APD. ”Dan anggarannya belum turun,” ungkapnya.
Akibatnya, KPU Sumatera Barat berinisiatif utuk meminta bantuan pengusaha setempat. KPU itu memutuskan untuk menyediakan sendiri masker, pelindung wajah, dan sarung tangan, serta termo gun sesuai dengan yang bisa disediakan saat itu oleh bantuan yang ada.
Legitimasi
Mirza Satria Buana, dosen Fakultas Hukum Universitas Lambang Mangkurat, Kalimantan Selatan, mengatakan, pilkada kali ini sangat dilematis karena ada risiko politik kurangnya legitimasi dan risiko kesehatan. Pemilih juga mengalami dilema karena di satu sisi ingin memilih, tetapi juga takut terpapar.
Mirza mengatakan, sudah ada beberapa negara melakukan pemilihan umum dengan hasil yang berbeda-beda. Di Queensland, Australia, relatif bagus karena jumlah pemilih tidak terlalu jauh dengan pemilu sebelumnya di masa pandemi. Akan tetapi, di Mali, tidak saja terjadi banyak penularan, jumlah pemilih turun hingga di bawah 10 persen dari total pemilih terdaftar.