Sejumlah persoalan muncul terkait pelaksanaan sidang secara daring. Kendala itu, di antaranya, jaringan internet yang kurang stabil dan kurang terpenuhinya hak-hak para pihak. MA diminta memperbaiki.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Persidangan daring yang digelar selama pandemi Covid-19 menimbulkan sejumlah persoalan. Mahkamah Agung dan penegak hukum lain diminta memperhatikan persoalan tersebut dan terus melakukan sejumlah perbaikan.
Advokat senior Juniver Girsang mengatakan, sidang secara daring menimbulkan beberapa masalah, di antaranya kurangnya pemenuhan hak para pihak, terutama penasihat hukum yang tidak berdampingan dengan terdakwa secara fisik; kendala teknis berupa keterbatasan jaringan internet; dan belum ada regulasi pedoman hukum acara.
”Saya mengalami persidangan yang tertunda karena internet tidak mampu. Dengan adanya penundaan, pertanyaannya, berapa lama bisa diakomodasi jika internet tidak berfungsi, sementara masa penahanan sudah habis. Bagaimana konsekuensi hukumnya?” ujar Juniver dalam seminar daring bertajuk ”Sistem Peradilan Pidana di Masa Kahar” yang diselenggarakan Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi (Mahupiki), Senin (13/7/2020).
Saya mengalami persidangan yang tertunda karena internet tidak mampu. Dengan adanya penundaan, pertanyaannya, berapa lama bisa diakomodasi jika internet tidak berfungsi sementara masa penahanan sudah habis. Bagaimana konsekuensi hukumnya? (Juniver Girsang)
Selain Juniver, hadir sebagai narasumber dalam diskusi daring itu, antara lain, Guru Besar Hukum Pidana Andi Hamzah; pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Febby Mutiara Nelson; dan pengajar Departemen Hukum Pidana Universitas Brawijaya, Fachrizal Afandi.
Juniver berpendapat diperlukan payung hukum untuk persidangan daring perkara pidana yang didasarkan pada hukum acara pidana. Selain itu, peraturan MA sebagai payung hukum persidangan daring juga hendaknya tidak bertentangan dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Sebelumnya, Mahkamah Agung telah bekerja sama dengan Kejaksaan Agung serta Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia menggelar persidangan daring. Persidangan biasanya dilakukan dengan terdakwa berada di rumah tahanan/lembaga pemasyarakatan, sementara hakim, jaksa, dan penasihat hukum berada di ruang sidang pengadilan.
Hingga 26 Juni 2020, Kejaksaan telah menuntaskan lebih dari 95.000 kali sidang secara daring di seluruh Indonesia.
Senada dengan Juniver, Jaksa Agung ST Burhanuddin mengakui adanya sejumlah kendala yang dihadapi dalam persidangan daring. Kendala itu, misalnya, pengajuan barang bukti tidak dapat diakses secara jelas dan tidak semua lokasi persidangan memiliki akses internet yang memadai. Selain itu, aplikasi persidangan juga masih menggunakan aplikasi umum yang rawan diretas.
Meskipun demikian, ia mengakui bahwa persidangan daring dapat menjadi solusi di masa darurat pandemi Covid-19 agar proses penegakan hukum dan pencarian keadilan tetap dapat berjalan. Hingga 26 Juni 2020, Kejaksaan telah menuntaskan lebih dari 95.000 kali sidang secara daring di seluruh Indonesia. Kejaksaan mendorong agar disiapkan standardisasi persidangan daring dalam masa darurat.
Andi Hamzah mengatakan, persidangan dapat dilakukan secara daring karena asas-asas dalam sistem peradilan pidana dapat dipenuhi. Asas-asas itu, antara lain, peradilan yang cepat, biaya ringan, sederhana, dan asas praduga tak bersalah.
”Pemeriksaan saksi bisa berada di ruang lain atau dilakukan virtual. Yang penting suara didengar. Layar monitor termasuk hadir,” kata Andi.
Hal senada diungkapkan Febby. Selain terpenuhinya asas-asas dalam peradilan pidana, menurut dia, pemanfaatan teknologi dalam peradilan pidana memberi dampak positif dalam hal efisiensi waktu, ketepatan waktu dan proses administrasi, serta mengurangi peran perantara.
Jika persidangan daring itu tidak dilakukan dengan disertai dasar hukum yang jelas, petunjuk teknis bagi penegak hukum dan pencari keadilan, serta tidak difasilitasi dengan baik, akan menimbulkan persidangan yang tidak adil atau melanggar prinsip fair trial.
Namun, jika persidangan daring itu tidak dilakukan dengan disertai dasar hukum yang jelas, petunjuk teknis bagi penegak hukum dan pencari keadilan, serta tidak difasilitasi dengan baik, akan menimbulkan persidangan yang tidak adil atau melanggar prinsip fair trial. Dari survei pribadi terhadap 20 hakim, terlihat masing-masing persidangan daring memiliki standar yang beragam.
”Menurut saya, yang realistis saat ini untuk mengisi kekosongan hukum dan menghindari unfair trial, dikeluarkan peraturan MA. Namun, kalau keluar peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu), itu lebih baik lagi,” kata Febby.
Menurut Fachrizal, perppu tentang persidangan daring penting. Perppu tersebut perlu dikeluarkan saat pandemi, bukan sesudahnya.
Ia juga menyoroti posisi Kejaksaan yang saat ini terjepit. Pasalnya, Kementerian Hukum dan HAM membatasi jumlah tahanan baru yang masuk ke rutan atau lapas. Padahal, kepolisian terus saja memberikan berkas perkara.
”Jaksa Agung mesti berani memberikan batasan. Misalnya, di masa pandemi, Kejaksaan hanya fokus di kasus berat dan penting. Untuk kasus remeh, saya kira tidak harus dituntut di masa pandemi ini. Jadi, tidak semua bertumpuk di pengadilan dan di lembaga pemasyarakatan,” kata Fachrizal.
Hal ini memungkinkan untuk dilakukan. Menurut Andi, berkaca dari negara-negara Uni Eropa, saat ini semakin banyak perkara yang diselesaikan di luar pengadilan untuk menghindari banyaknya tahanan. Penyelesaian dilakukan melalui penggantian kerugian. Sebagai contoh, di Belanda sekitar 60 persen perkara diselesaikan di luar pengadilan, sementara di Norwegia sekitar 74 persen perkara tidak dikirim ke pengadilan.