Perlunya Penataan Sistem agar Parpol Tak Mendominasi
Hingga kini, konsolidasi demokrasi masih menghadapi tantangan, antara lain peran partai politik yang dinilai terlalu dominan memengaruhi demokrasi. Karena itu, penting saat ini untuk menata kembali sistem parlemen.
Oleh
Edna C Pattisina (*)
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Konsolidasi demokrasi masih menghadapi tantangan, antara lain peran partai politik yang dinilai terlalu dominan memengaruhi jalannya demokrasi. Karena itu, penting saat ini untuk segera menata kembali sistem parlemen yang dapat lebih meningkatkan aspirasi dan keterwakilan masyarakat di lembaga tersebut.
Dalam diskusi virtual yang diselenggarakan Aliansi Kebangsaan, Forum Rektor Indonesia, dan Asosiasi Ilmu Politik Indonesia dengan tema ”Tata Kelola Negara: Lembaga Perwakilan yang Inklusif”, Jumat (10/7/2020), di Jakarta, peneliti senior Pusat Penelitian Politik LIPI, Siti Zuhro, mengatakan, penataan sistem parlemen diharapkan bisa mengakhiri sistem yang rancu di legislasi.
”Penataan sistem parlemen perlu segera dilakukan agar kita bisa segera mengakhiri sistem yang rancu yang membuat proses konsolidasi demokrasi tidak jelas dan tidak pasti,” kata Siti.
Penataan sistem parlemen perlu segera dilakukan agar kita bisa segera mengakhiri sistem yang rancu yang membuat proses konsolidasi demokrasi tidak jelas dan tidak pasti. (Siti Zuhro)
Kerancuan sistem, menurut Siti, didasari konsep dan desain ketatanegaraan yang tidak jelas arahnya dan apa yang akan dicapai. Ia menyoroti, jika yang dianut sistem bikameral, harus ada penguatan fungsi Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang merupakan perwakilan daerah. Dengan demikian, MPR bisa berfungsi sebagai majelis nasional. Konsekuensinya, jabatan ketua MPR harus bergantian DPD dan DPR.
Siti menyatakan, DPR cenderung terlalu kuat dan dikuasai fraksi-fraksi. Akibatnya, keberadaannya terdistorsi menjadi ”dewan perwakilan partai”. Bahkan, kedaulatan anggota DPR pun terancam karena kuatnya peran fraksi sebagai alat parpol. Di sisi lain, DPD tak mempunyai kewenangan optimal sehingga mekanisme check and balances tak jalan.
Hal senada disampaikan Pontjo Sutowo dari Aliansi Kebangsaan. ”Demokrasi hari ini masih dikuasai oligarki dan parpol mengabaikan kepentingan rakyat dengan kepentingan lain,” ujarnya.
Aspek keterwakilan rakyat juga disoroti mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Jimly Asshiddiqie. Ia menceritakan kegagalannya memperjuangkan DPD. Aspek perwakilan yang sehat, menurut Jimly, parlemen seharusnya terdiri dari perwakilan parpol, daerah, dan fungsional. Karena itu, Jimly mendorong dibentuknya kembali utusan golongan untuk keterwakilan kaum minoritas.
Analis politik dari Universitas Diponegoro, Semarang, Teguh Yuwono, mengatakan, problem klasik yang tidak kunjung selesai adalah aplikasi nilai-nilai Pancasila, seperti permusyawaratan yang adil dan beradab dalam sistem politik. Realitasnya kerap bertentangan dengan idealisme akademisi dan pakar. Bentuk demokrasi yang saat ini diadopsi dari luar dan tak sesuai karakter bangsa.
”DPR lebih suka voting karena tak sabar dengan musyawarah,” ujar Teguh mencontohkan. Ia juga menyoroti kuatnya DPR. DPD yang seharusnya jadi pelengkap DPR dan menguatkan mekanisme check and balances justru tak punya kekuatan. Karena itu, ia setuju perlunya amendemen konstitusi untuk memperkuat DPD.
Adapun Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies Jakarta Philips Vermonte menyatakan, perlu ditelaah kembali apakah dengan terpenuhinya asas keterwakilan serta-merta menghasilkan pemerintah efektif.
Problem klasik yang tidak kunjung selesai adalah aplikasi nilai-nilai Pancasila, seperti permusyawaratan yang adil dan beradab dalam sistem politik. Realitasnya kerap bertentangan dengan idealisme akademisi dan pakar. Bentuk demokrasi yang saat ini diadopsi dari luar dan tak sesuai karakter bangsa. (Teguh Yuwono)
Cendekiawan Yudi Latif mengatakan, tak semua negara cocok dengan sistem demokrasi. Karena itu, Indonesia harus menemukan bentuknya. Saat ini, demokrasi yang dilaksanakan dengan literasi buruk tak akan menghasilkan pemerintah yang baik. Salah satu hal penting dari pemerintah yang baik ialah terpenuhinya aspek keterwakilan.
Sementara dalam webinar yang diselenggarakan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dengan tema ”Pancasila dalam Tindakan: Keluarga Beragama, Keluarga Berbudaya, Keluarga Produktif”, Menteri Agama Fachrul Razi menyatakan, kementeriannya sudah membuat konsep tentang moderasi beragama sebagai jalan tengah. ”Konsep moderasi beragama adalah cara pandang beragama dengan cara tengah tanpa mempertentangkan lainnya,” ujarnya.
Staf Khusus Dewan Pengarah BPIP Benny Susetyo menambahkan, keluarga sangatlah penting karena cikal bakal sebuah negara awalnya dibentuk. ”Keluarga sangat penting karena di sana negara dibentuk sehingga keluarga modal dasar penanaman nilai Pancasila,” kata Benny.