Maria Pauline Lumowa, tersangka kasus pembobolan kas Bank BNI Cabang Kebayoran Baru dengan kerugian negara Rp 1,2 triliun, yang buron sejak 2003, Kamis (9/7/2020) ini, tiba di Tanah Air.
Oleh
Prayogi Dwi Sulistyo/Nobertus Arya Dwiangga Martiar/Dian Dewi Purnamasari/Dian Dewi Purnamasari
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Maria Pauline Lumowa, tersangka kasus pembobolan kas Bank BNI Cabang Kebayoran Baru dengan kerugian negara Rp 1,2 triliun, yang buron sejak 2003, Kamis (9/7/2020) ini, tiba di Tanah Air. Maria bertolak dari Belgrade, Serbia, Rabu, melalui mekanisme ekstradisi berdasarkan permintaan Pemerintah RI ke Pemerintah Serbia.
”Keberhasilan menuntaskan proses ekstradisi ini tak lepas dari diplomasi hukum dan hubungan baik kedua negara,” kata Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas, Rabu (8/7/2020).
Yasonna yang turut menjemput di Serbia menyebut RI dan Serbia memang belum terikat perjanjian ekstradisi. Namun, ekstradisi itu bisa diwujudkan karena ada pendekatan tingkat tinggi dengan petinggi Pemerintah Serbia. ”Sempat ada upaya hukum dari Maria untuk melepaskan diri dari proses ekstradisi, juga ada upaya dari salah satu negara Eropa untuk mencegah ekstradisi terwujud,” ujar Yasonna.
Maria ditangkap NCB Interpol Serbia pada 16 Juli 2019 di Bandara Internasional Nikola Tesla, Belgrade, berdasarkan red notice Interpol bernomor kontrol A-1361/12-2003 tanggal 22 Desember 2003. Ia salah satu tersangka pembobol Bank BNI melalui surat kredit (L/C) fiktif yang terjadi pada 2003 dan merugikan negara Rp 1,2 triliun.
Berdasarkan catatan Kompas (11/5/2006), selama kurun waktu 2003-2006, 13 orang telah dijatuhi hukuman terkait perkara tersebut.
Sebulan sebelum ditetapkan sebagai tersangka oleh Polri pada akhir 2003, Maria sudah berada di Singapura. Pemerintah RI sempat mengajukan proses ekstradisi ke Pemerintah Belanda pada 2010 dan 2014. Ini karena Maria telah menjadi warga negara Belanda sejak 1979. Namun, permintaan tersebut ditolak. Belanda sempat memberikan pilihan agar Maria disidangkan di Belanda.
Saat Maria dibekuk, terpidana kasus cessie Bank Bali, Joko Tjandra, yang buron sejak 2009 dan mendaftarkan peninjauan kembali di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, 8 Juni 2020, masih bebas.
Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Azyumardi Azra, mengatakan, jika ada kemauan aparat penegak hukum, seharusnya Joko bisa cepat ditangkap.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD, Rabu sore, memanggil sejumlah instansi terkait kelanjutan proses pengejaran Joko Tjandra. Menurut Mahfud, dalam kesempatan itu semua pihak optimistis dan bertekad segera menangkap Joko.
Mahfud mengatakan, negara malu jika dipermainkan buronan kasus korupsi. Karena itu, setiap instansi diminta berlomba-lomba menangkap Joko Tjandra sesuai dengan kewenangan masing-masing.
”Polisi kita yang hebat masak enggak bisa nangkap? Kejaksaan Agung masak enggak bisa nangkap? Itu sebenarnya sesudah saya bicara dengan ahli, soal perkara sepele. Kalau mau menangkap orang yang begitu, gampang endusnya. Kalau tidak bisa, ya, keterlaluan,” tegasnya.
Karena itu, Kejaksaan Agung dan Polri diminta bekerja keras menangkap Joko. Kemenkumham dan Kemendagri akan menyokong data dari dokumen kependudukan dan keimigrasian. Sementara Istana, melalui Kantor Staf Presiden, akan mendukung instrumen administrasi lain yang diperlukan.
Kasus buronan koruptor ini, lanjut Mahfud, juga membuat pemerintah berkomitmen mengaktifkan kembali tim pemburu koruptor. Salah satu tugas tim pemburu koruptor itu tak lain membawa pulang buronan korupsi.