Kerja Sama Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Dilanjutkan
Sejak kerja sama REDD+ antara RI dan Norwegia diteken 2010, Pemerintah RI terus berkomitmen pada target penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen pada 2030. Kini, aturan soal nilai dari ekonomi karbon disiapkan.
Oleh
Nina Susilo
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah Indonesia melanjutkan kerja sama penurunan emisi gas rumah kaca. Indonesia juga tetap komit pada target penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 26 persen pada 2020 dan sebesar 29 persen pada 2030. Untuk itu, selain tetap menjalankan program pemulihan lingkungan, pemerintah juga menyiapkan peraturan mengenai nilai dari ekonomi karbon.
Komitmen Pemerintah Indonesia untuk terus menurunkan emisi gas rumah kaca dan melanjutkan kerja sama dengan Norwegia ditegaskan Presiden Joko Widodo saat memimpin rapat terbatas di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (6/7/2020). Hadir dalam ratas ini Wakil Presiden Ma’ruf Amin, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Pandjaitan, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, serta Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita.
Dalam laman resmi Pemerintah Norwegia, www.regjeringen.no, pada 3 Juli 2020 disampaikan bahwa Pemerintah Norwegia akan membayar 530 juta krone atau setara 56 juta dollar AS untuk pengurangan deforestasi di Indonesia. Dalam penilaian tim independen untuk tahun 2016-2017, telah terjadi pengurangan emisi sekitar 17 juta ton CO2 dibandingkan dengan satu dekade sebelumnya.
Menteri Iklim dan Lingkungan Hidup Norwegia Sveinung Rotevatn dalam laman tersebut juga mengatakan, ini adalah sebuah terobosan. Pemerintah Indonesia telah berupaya sangat baik dalam perbaikan hutan dan lahan dan ini disebutnya memberi hasil yang mengesankan.
Kita harus terus konsisten menjalankan program pemulihan lingkungan untuk menurunkan emisi gas rumah kaca. Perlindungan gambut, rehabiltasi hutan dan lahan harus terus dilanjutkan.
Tak hanya komit pada kerja sama Indonesia-Norwegia, kata Presiden Jokowi, Pemerintah Indonesia juga berupaya mencapai target yang ditetapkan dalam konvensi perubahan iklim dalam Kesepakatan Paris 2016 yang sebelumnya telah diratifikasi. Dalam konvensi ini, target pada 2030 adalah penurunan emisi gas rumah kaca sebanyak 29 persen dan 41 persen dengan dukungan kerja sama teknik dari luar negeri.
Selain itu, Indonesia wajib menurunkan emisi karbon di sektor kehutanan 17,2 persen, sektor energi 11 persen, sektor limbah 0,38 persen, pertanian 0,32 persen, serta sektor industri dan transportasi 0,10 persen.
”Kita harus terus konsisten menjalankan program pemulihan lingkungan untuk menurunkan emisi gas rumah kaca. Perlindungan gambut, rehabiltasi hutan dan lahan harus terus dilanjutkan,” tutur Presiden Joko Widodo dalam pengantar ratas.
Selain perlindungan keanekaragaman hayati dan pemulihan habitat flora fauna Indonesia, energi ramah lingkungan juga dikembangkan. Penerapan biodiesel B30 dan B50 diharap bisa segera menuju B100. Selain itu, pengembangan pembangkit listrik tenaga surya dan tenaga angin juga akan terus diperbanyak.
”Instrumen untuk pendanaannya yang kita harapkan ini, termasuk insentif bagi pemangku kepentingan, juga harus kita lihat. Kita harus memastikan pengaturan karbon memiliki dampak signifikan bagi pencapaian target (penurunan) gas rumah kaca sebesar 26 persen pada tahun 2020 dan 29 persen pada 2030,” tutur Presiden Jokowi.
Kerja sama Indonesia-Norwegia ini ditandai dengan letter of intent (LoI) pada 26 Mei 2010 yang ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri Norwegia Jens Stoltenberg di Oslo, Norwegia. Ke depan, kata Siti, akan ada beberapa hal yang disesuaikan, seperti target dalam Kesepakatan Paris dan kemajuan-kemajuan yang sudah dicapai Indonesia. Selain itu, LoI ini menjadi contoh bagi negara-negara lain dalam mereduksi emisi dan mengurangi deforestasi (reducing emissions from deforestation and forest degradation/REDD+).
Di Indonesia, REDD kemudian ditambah dengan penanganan sampah, partisipasi masyarakat adat, termasuk penggunaan electro mobility. REDD merupakan mekanisme global yang bertujuan memperlambat perubahan iklim dengan memberikan kompensasi kepada negara-negara berkembang yang telah melindungi hutannya dan mencegah kerusakannya.
Instruksi permanen moratorium gambut
Menurut Siti Nurbaya, salah satu kebijakan yang signifikan dalam pengurangan deforestasi adalah instruksi presiden tentang moratorium izin baru di hutan primer dan lahan gambut. Instruksi Presiden ini diterbitkan pertama kali pada 2011 dan diperpanjang pada 2013, 2015, dan 2017. Baru pada 2019, instruksi ini dijadikan permanen. Dengan demikian, tidak boleh lagi ada izin baru di hutan primer dan lahan gambut.
Pencapaian penurunan emisi CO2 sampai 11 juta ton, dinilai tim independen dari Kementerian Iklim dan Lingkungan Hidup Norwegia, karena Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk berkontribusi pada penurunan emisi gas rumah kaca.
Pencapaian penurunan emisi CO2 sampai 11 juta ton, dinilai tim independen dari Kementerian Iklim dan Lingkungan Hidup Norwegia, karena Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk berkontribusi pada penurunan emisi gas rumah kaca. Komitmen tersebut, seperti tertuang dalam Pasal 28 huruf H Undang-Undang Dasar 1945 yang sebenarnya sudah menegaskan bahwa setiap warga Indonesia berhak mendapatkan lingkungan yang baik.
Adapun dana insentif REDD+ yang diterima akan dikelola Badan Pengelolaan Dana Lingkungan Hidup di bawah Kementerian Keuangan. Rencana investasi untuk penggunaan dana ini masih disusun dan dicek oleh para pakar. Namun, kata Siti, Presiden Jokowi meminta supaya dana insentif ini digunakan untuk pemulihan lingkungan, baik untuk pembibitan mangrove, pemulihan gambut, maupun lahan kritis lainnya.
”Carbon Pricing"
Lebih jauh, Siti menambahkan, terkait dengan pengaturan nilai dari ekonomi karbon, rancangan peraturan presiden sudah dibahas di tingkat Sekretariat Kabinet dan Sekretariat Negara. Rancangan aturan ini segera dibahas antarkementerian di Kementerian Hukum dan HAM.
Perpres ini akan menjamin pencapaian target penurunan emisi gas rumah kaca serta mendorong pembangunan rendah karbon. Karena itu, dalam aturan ini akan disiapkan ketentuan terkait perdagangan karbon, termasuk perencanaannya.
Penetapan nilai ekonomi karbon (carbon pricing) pada dasarnya adalah pemberian nilai terhadap setiap unit emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari kegiatan manusia dan ekonomi melalui mekanisme pasar. Dengan demikian, biaya emisi akan dibebankan kepada kegiatan yang mengeluarkan emisi karbon. Namun, saat ini belum ada payung hukum yang mengatur mekanisme carbon pricing di Indonesia.
Pengaturan lainnya terkait dengan deforestasi dan beban karbon atas deforestasi ini. Penghitungan deforestasi di Indonesia, menurut Siti, menggunakan standar nasional Indonesia tahun 2010 sesuai jenis tutupan yang ada, misalnya semak, hutan primer, hutan sekunder, atau hutan gambut.
Perpres ini akan menjamin pencapaian target penurunan emisi gas rumah kaca serta mendorong pembangunan rendah karbon. Karena itu, dalam aturan ini akan disiapkan ketentuan terkait perdagangan karbon, termasuk perencanaannya.
Hal ini menjadi penting karena CO2 yang terjaga di hutan mangrove mencapai sekitar 1.082,6 ton per hektar. Adapun karbon di hutan tropis, misalnya, sekitar 200 ton per hektar, sedangkan rata-rata karbon gambut 56 ton per hektar, dan gambut primer mencapai 178-310 ton per hektar.
Saat ini, luas hutan Indonesia mencapai 94,1 juta hektar yang tersebar di Sumatera 12,8 juta hektar, Kalimantan 40,8 juta hektar, dan Papua 25 juta hektar. Luas hutan gambut di Sumatera 9,65 juta hektar, Riau 5,09 juta hektar, dan Kalimantan 8,79 juta hektar.
Adapun luas hutan mangrove di Sumatera 835.000 hektar, Kalimantan 1,448 juta hektar, Jawa 264.400 hektar, Sulawesi 181.500 hektar, Maluku 138.000 hektar, Papua 846.900 hektar, dan Bali Nusa Tenggara 26.900 hektar.