Mahkamah Kehormatan Dewan diminta menindak sejumlah anggota DPR yang terang-terangan meminta dilibatkan dalam penyerahan program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) dari badan usaha milik negara.
Oleh
Edna C Pattisina/RINI KUSTIASIH
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Kehormatan Dewan diminta menindak sejumlah anggota DPR yang meminta dilibatkan dalam penyerahan program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) dari badan usaha milik negara. Keinginan anggota DPR itu dinilai tidak etis dan mencederai martabat lembaganya.
Dalam jumpa pers koalisi masyarakat sipil yang tergabung dalam Gerakan untuk Indonesia Adil dan Demokratis, Jakarta, Kamis (2/7/2020), Koordinator Lingkar Masyarakat Madani Indonesia Ray Rangkuti mengatakan, permintaan anggota DPR untuk dilibatkan saat penyerahan CSR dari BUMN tidak bisa dibenarkan. Tidak ada dasar hukum atau aturan yang membenarkan hal itu.
Karena itu, BUMN diharapkan mengabaikan permintaan anggota DPR tersebut. BUMN diminta tidak menerima pesanan politik karena akan membuat BUMN kehilangan kredibilitas. Tidak hanya itu, tindakan sejumlah anggota DPR tersebut juga mencederai martabat dan kewibawaan DPR.
”Harusnya peristiwa ini menjadi dasar bagi Mahkamah Kehormatan Dewan memanggil anggota DPR yang minta porsi untuk ikut bagi-bagi CSR,” kata Ray.
Peristiwa sejumlah anggota DPR meminta dilibatkan dalam pembagian CSR dari BUMN mengemuka saat rapat Komisi VII DPR dengan Holding Industri Pertambangan BUMN, MIND ID, Selasa (30/6/2020). Dalam rapat itu terjadi insiden pengusiran Direktur Utama MIND ID Orias Petrus Moedak oleh anggota Komisi VII DPR dari Fraksi Partai Demokrat Muhammad Nasir. Insiden terjadi saat pembahasan pelunasan utang untuk akuisisi saham PT Freeport Indonesia.
Manajer Riset Seknas Fitra, Badiul Hadi, mengatakan, anggota DPR meminta CSR dan mengusir pejabat BUMN merupakan pelanggaran kode etik dan bentuk arogansi. ”Parpol juga harus bertanggung jawab mengontrol anggotanya di Senayan,” katanya.
Yang lebih parah, menurut Koordinator Komite Pemilih Indonesia Jerry Sumampow, anggota DPR meminta dilibatkan dalam penyerahan CSR di daerah pemilihan mereka semata untuk pencitraan anggota DPR.
Batas kewajaran
Meski demikian, Wakil Ketua Komisi VII DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional Edy Soeparno menilai, yang dilakukan Nasir dalam rapat masih dalam batas kewajaran.
”Ketika pendalaman oleh Nasir ada tanya jawab yang kemudian menimbulkan kesalahpahaman. Namun, pada prinsipnya, yang dilakukan Nasir itu masih sesuai dengan koridor. Di satu sisi, kami menilai Dirut MIND ID menunjukkan sikap yang kaku dan keras di dalam ruang rapat,” ujarnya.
Ia pun membantah bahwa sikap keras Nasir itu terkait dengan permintaan pelibatan dalam penyaluran CSR.
”Tidak ada kaitannya itu dengan CSR. Pembahasan soal CSR itu karena ada keluhan dari anggota Komisi VII yang merasa ditanyai soal CSR dari BUMN, tetapi karena tidak dilibatkan, mereka tidak dapat menjawabnya. Padahal, anggota DPR sebagai wakil rakyat di daerah, kan, lebih mengetahui kondisi daerah masing-masing,” katanya.
Senada dengan Edy, Wakil Ketua Mahkamah Kehormatan Dewan dari Fraksi Partai Gerindra Habiburokhman mengatakan, tak ada yang salah dari apa yang dilakukan Nasir.
Begitu pula yang disampaikan Ketua Badan Pembinaan Organisasi, Kaderisasi, dan Keanggotaan Partai Demokrat Herman Khaeron. ”Kalaupun keras, Pak Nasir dari dulu memang keras kalau berdebat dan mungkin saja terpancing sikap Dirut sehingga peristiwa itu terjadi,” ujar Herman.