Sinergisitas Antarlembaga Amat Penting untuk Menangkap Buronan Kakap
Masuknya buronan Kejaksaan Agung ke Indonesia tanpa diketahui dinilai Komisi Kejaksaan, secara teknis sebagai kelengahan. Namun, kelengahan mestinya ditindaklanjuti dengan menelusuri persoalannya.
JAKARTA, KOMPAS — Perbedaan informasi mengenai keberadaan Joko Tjandra, buronan Kejaksaan Agung sejak 2009, menandakan kurang sinergisnya kerja sama antara aparat penegak hukum dan instansi keimigrasian. Hal ini harus menjadi bahan evaluasi menyeluruh agar penangkapan buronan kakap lintas negara bisa maksimal.
Sebelumnya, Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin menyebutkan, Joko kembali ke Tanah Air sejak tiga bulan lalu. Namun, pernyataan tersebut dibantah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly. Yasonna mengatakan, sistem keimigrasian tidak menemukan data soal masuknya buronan kasus pengalihan hak tagih utang atau cessie PT Bank Bali tersebut.
Pada Rabu (1/7/2020) sore, tim kuasa hukum Joko Tjandra menegaskan kliennya datang ke PN Jakarta selatan pada 8 Juni untuk mendaftarkan peninjauan kembali atas putusan perkaranya. Adapun dalam arsip Kompas, Joko diketahui pergi ke Papua Niugini pada 10 Juni 2009 malam, sehari sebelum Mahkamah Agung memvonis Joko 2 tahun penjara, 11 Juni 2009.
Wakil Ketua Komisi III DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional, Pangeran Khairul Saleh, dihubungi di Jakarta, Rabu (1/7/2020), mempertanyakan perihal Joko yang bisa dengan mudah hilir mudik tanpa diketahui dan tercatat di sistem keimigrasian. Ironisnya, Joko telah mengajukan peninjauan kembali atas kasusnya di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
”Ini menandakan kurang sinergisnya kerja sama antara instansi penegak hukum dan imigrasi. Dia itu sudah pasti masuk dengan identitas palsu karena tidak tercatat di data pelintasan. Memburu DPO (daftar pencarian orang) kelas kakap seperti ini tidak bisa dengan cara-cara biasa,” ujar Pangeran.
Menurut Pangeran, kepolisian, kejaksaan, dan pihak Imigrasi Kemenkumham harus duduk bersama mengevaluasi sistem yang digunakan saat ini. Sebab, kasus serupa sudah beberapa kali terjadi.
Misalnya, Harun Masiku dalam kasus dugaan suap terhadap bekas anggota Komisi Pemilihan Umum Wahyu Setiawan; Honggo Wendratno di kasus dugaan korupsi pengelolaan kondensat oleh PT Trans Pasifik Petrochemical Indotama atau TPPI; serta Anton Tantular dalam kasus dugaan korupsi Bank Century.
"Sangat disayangkan jika upaya penyelidikan, penyidikan, hingga vonis hukuman kepada para pelaku mega korupsi harus berakhir dengan cerita kaburnya para tersangka (dan narapidana) akibat kelemahan sistem di negara kita,” kata Pangeran.
Forum koordinasi
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Muhammad Nasir Djamil, sependapat dengan Pangeran bahwa fenomena buronan yang lama tidak ditangkap akibat tidak ada koordinasi antar-instansi penegak hukum dan lembaga pendukung lainnya. Karena itu, Nasir akan mengusulkan agar Forum Mahkamah Agung, Kemenkumham, Kejaksaan Agung, dan Kepolisian (Mahkumjakpol) dihidupkan kembali.
”Miris, yang terjadi sekarang. Semua terasa jalan sendiri-sendiri, tidak terintegrasi dengan baik bahkan saling lempar. Di forum Mahkumjakpol, nanti bisa terkoordinasi, bagaimana cara aparat penegak hukum menangani satu kasus, termasuk buronan-buronan yang menjadi DPO,” tutur Nasir.
Forum Mahkumjakpol, lanjut Nasir, bukan tempat persengkongkolan para aparat penegak hukum. Forum tersebut harus mampu mengintegrasikan seluruh sistem penegakan hukum. Hal ini penting, menurut Nasir, karena tidak mudah menangkap para buronan.
”Mana mungkin buronan bisa melenggang ke mana-mana, bertahun-tahun, tanpa diketahui dan tercatat. Ini, kan, pasti ada yang melindunginya. Jangan sampai kasus-kasus seperti ini menjadi nilai buruk bagi sistem penegakan hukum negara kita,” ujar Nasir.
Mana mungkin buronan bisa melenggang ke mana-mana, bertahun-tahun, tanpa diketahui dan tercatat. Ini, kan, pasti ada yang melindunginya. Jangan sampai kasus-kasus seperti ini menjadi nilai buruk bagi sistem penegakan hukum negara kita.
Kemauan politik
Dekan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Sigit Riyanto, mengatakan, kasus buronan yang bisa bergerak dengan sangat bebas ini sebenarnya terjadi akibat koordinasi yang lemah di antara setiap institusi. Sebab, menurut dia, seharusnya perlintasan buron itu tercatat secara jelas di sistem keimigrasian.
Selain itu, menurut Sigit, kejaksaan dan kepolisian seharusnya memiliki informasi yang kuat tentang orang-orang yang sedang tersangkut masalah hukum. Apalagi, jika kasus itu sudah sampai di pengadilan, orang tersebut seharusnya dalam pengawasan, supervisi, atau kendali aparat penegak hukum.
”Sebenarnya, masalahnya itu kalau secara literal, itu soal koordinasi. Kenapa? Seseorang warga negara meninggalkan negaranya, kan, melalui proses yang melibatkan berbagai institusi," ujar Sigit.
Apalagi, lanjut Sigit, kepolisian atau kejaksaan mempunya rantai kendali dengan pihak keimigrasian. Secara institusional, kedua institusi tersebut mempunyai kewenangan untuk meminta pencekalan. Secara kompetensi, juga berhak menahan. Negara pun, lanjut Sigit, memiliki Badan Intelijen Negara (BIN) sehingga segala informasi seharusnya tersedia.
”Tentu institusi-insitusi itu tak hanya mengetahui, mereka mempunyai informasi lengkap, akses, kompetensi dan jaringan sesama institusi yang bisa dimanfaatkan dan memang harus dimanfaatkan. Mereka harus berkoordinasi dengan institusi lain yang relevan,” ucap Sigit.
Upaya menangkap buron yang menggunakan modus lintas batas, kata Sigit, harus dihadapi dengan cara bersama-sama. Semua institusi harus bisa bergerak dengan satu orkestra. Sebab, buron yang seperti itu bukanlah pelaku tindak kriminal konvensional, melainkan mereka mempunyai jaringan, sumber daya, pengetahuan, kecakapan, dan akses di nasional ataupun di negara lain.
Namun, Sigit meyakini, dengan penyatuan segala informasi, akses, kompetensi, dan jaringan yang dimiliki oleh seluruh instansi, kasus buron ini bisa terselesaikan.
Upaya menangkap buron yang menggunakan modus lintas batas harus dihadapi dengan cara bersama-sama. Semua institusi harus bisa bergerak dengan satu orkestra. Sebab, buron yang seperti itu bukanlah pelaku tindak kriminal konvensional, melainkan mereka mempunyai jaringan, sumber daya, pengetahuan, kecakapan, dan akses di nasional maupun di negara lain.
”Sekarang pertanyaannya adalah apakah memang ada willingness untuk melakukan itu semua. Kendalanya, kan, mestinya tidak perlu ada. Mereka semua punya informasi, kesempatan, dan kewenangan. Nah, yang menjadi pertanyaan adalah punya kemauan atau tidak,” tutur Sigit.
Sigit menambahkan, jika buronan berada di luar negeri, aparat penegak hukum tetap bisa menangkapnya dengan hukum ekstradisi. ”Yang jadi persoalan, apakah itu semua dimanfaatkan atas dasar willingness. Kalau memang willingness ada, saya kira tak ada persoalan. Jalan akan sangat terbuka,” katanya.
Menurut Sigit, tak perlu ada forum integrasi aparat penegak hukum, seperti Mahkumjakpol. Setiap institusi tinggal menjalankan otoritasnya masing-masing dan menjalankan koordinasi antar-instansi. Dengan berbagai kasus buron yang belum terselesaikan, menurut Sigit, ini bisa menjadi penilaian buruk masyarakat terhadap aparat penegak hukum bahkan negara.
”Artinya kalau (kasus buron) itu dibiarkan, itu, kan, masyarakat bisa bertanya, sebenarnya negara hadir tidak untuk menyelesaikan persoalan itu? Aparat penegak hukum punya keseriusan tidak untuk menyelesaikan masalah itu. Jalan, kan, sangat terbuka,” ujar Sigit.
Secara khusus kasus Joko Tjandra, menurut Sigit, penangkapan terhadapnya bukan persoalan yang sulit. Apalagi, Joko pernah mendaftarkan kasusnya di PN Jakarta Selatan. Dengan begitu, sebenarnya, aparat penegak hukum sangat mudah menelusuri keberadaan buronan itu.
”Jadi, kesempatan, kan sebenarnya sangat terbuka. Informasi itu, kan, masa pengacaranya tahu, masa negaranya tidak tahu, kan, jadi tanda tanya. Harusnya sangat bisa diselesaikan kasus seperti ini,” kata Sigit.
Sistem rusak
Anggota Ombudsman Republik Indonesia, Adrianus Eliasta Meliala, mengatakan, dugaan masuknya Joko yang adalah buron Kejaksaan Agung ke wilayah Indonesia tanpa diketahui aparat penegak hukum tidak terlalu mengherankan. Sebab, di awal tahun ini sudah ada kasus serupa, yakni tersangka Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yakni Harun Masiku, masuk ke Indonesia tanpa terdeteksi.
Adrianus mengatakan, pada waktu Ombudsman RI memeriksa sistem pengawasan di Ditjen Imigrasi karena kasus masuknya Harun Masiku tanpa terdeteksi, ditemukan kemungkinan sistem tersebut rusak. Namun, bukan berarti yang disalahkan adalah sistem. Adrianus menilai, masih ada yang lemah atau yang kurang dari sistem pengawasan tersebut sehingga sistem itu menjadi tidak dapat dipercaya.
”Mungkin sejak kasus Harun Masiku itu dilakukan perbaikan sistem di Ditjen Imigrasi. Namun, di sisi lain, mungkin saja Joko Tjandra memang tidak berada di Indonesia,” kata Adrianus.
Hal itu, lanjut Adrianus, karena Ditjen Imigrasi menyatakan tidak mendeteksi masuknya nama Joko. Selain itu, dalam sidang peninjauan kembali (PK) kasus korupsi Joko Tjandra pada Senin lalu, jaksa dari Kejaksaan Agung, Agung Budi Triono, mengatakan, surat sakit Joko berasal dari rumah sakit yang berada di Kuala Lumpur, Malaysia.
Menurut Adrianus, selama ini publik memang tidak bisa mengakses mekanisme intelijen dari Kejaksaan Agung untuk mendeteksi buronan. Dengan demikian, menjadi sulit dilihat kesalahan ini terletak pada sistem atau pada manusianya.
Secara terpisah, Ketua Komisi Kejaksaan RI Barita Simanjuntak berpandangan, jika terdapat buron Kejaksaan Agung yang masuk Indonesia tanpa diketahui, secara teknis memang terjadi kelengahan. Namun, kelengahan mestinya ditindaklanjuti dengan menelusuri persoalannya.
”Masak sudah buronan mendaftarkan PK kita tidak tahu sama sekali. Rasa-rasanya kan tidak benar sama sekali. Dan itu harus diakui. Bahkan, media sudah lebih dulu tahu. Jadi, memang sulit diterima akal,” kata Barita.
Terkait dengan informasi bahwa Joko telah berganti warga negara maupun nama, hal itu sama sekali tidak mengubah putusan pidana oleh pengadilan yang harus dieksekusi Kejaksaan Agung. Hal inilah yang dibuka oleh Kejaksaan Agung ke publik. Sebab, di belakang sistem yang berjalan terdapat orang-orang yang bertanggung jawab.
Barita berharap agar Kejaksaan Agung segera memastikan keberadaan Joko dan membukanya kepada publik. Sebab, isu yang berkembang justru akan merugikan institusi penegak hukum itu sendiri. Selain itu, Kejaksaan Agung mesti mengevaluasi mekanisme pelacakan buron yang dilakukan oleh institusi tersebut agar lebih efektif melakukan penangkalan atau penangkapan.