LSM: Sikap Represif Dinilai Masih Jadi Kultur Polri
Pada perayaan HUT Ke-74 Bhayangkara, Polri perlu terus untuk berbenah. Sejumlah LSM memberikan catatan kritis untuk Polri, antara lain masih adanya kasus penyiksaan dan pengekangan kebebasan berpendapat.
JAKARTA, KOMPAS — Upaya mereformasi internal Kepolisian Negara Republik Indonesia dinilai belum berhasil karena masih banyaknya tindakan represif terhadap masyarakat dan fenomena penempatan perwira aktif di luar institusi Polri. Mekanisme pengawasan internal ataupun eksternal yang ada juga dinilai tidak efektif .
Tim Advokasi untuk Demokrasi mengungkapkan penilaian tersebut dalam rangka memeringati Hari Bhayangkara Ke-74, Rabu (1/7/2020). Tim Advokasi untuk Demokrasi terdiri dari LBH Jakarta, LBH Pers, LBH Masyarakat, Imparsial, Kontras, Setara Institute, HRWG, BEM Universitas Indonesia, dan KASBI.
Kontras mencatat terdapat 62 kasus penyiksaan dalam setahun terakhir.
Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Fatia Maulidiyanti mengatakan, Kontras mencatat terdapat 62 kasus penyiksaan dalam setahun terakhir. Dari jumlah itu, 40 kasus sebagai motif untuk pengakuan dan 22 kasus sebagai hukuman. Polisi menjadi pelaku tertinggi dari praktik penyiksaan karena kewenangannya yang sangat luas.
”Polisi tidak hanya melakukan penyiksaan di tempat-tempat tertutup, tetapi juga di tempat-tempat terbuka. Salah satu contohnya pada saat terjadi aksi reformasi dikorupsi banyak korban yang dipukuli. Juga pada penanganan masa pandemi ini atas nama pengamanan Covid-19,” kata Fatia.
Selain praktik penyiksaan fisik, menurut Fatia, juga terjadi praktik penyiksaan dengan metode baru seiring dengan perkembangan digital, yakni penyiksaan siber (cyber torture). Penyiksaan siber ini tidak hanya menimbulkan rasa sakit secara fisik, tetapi juga secara mental, yakni menimbulkan trauma, depresi, dan ketakutan ketika berada di lingkungan sosial yang terbuka.
Beberapa contoh kasus terkait penyiksaan siber adalah penangkapan Ravio Patra dan kasus teror rencana diskusi oleh Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Di situ, peretasan menjadi instrumen pihak kepolisian untuk kemudian menangkap dan meminta pengakuan. Selain itu, korban pun dibuat malu di dunia maya.
Sejak 2011 terdapat kecenderungan penambahan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) oleh kepolisian. Sementara penggunaan kekerasan terhadap masyarakat dengan alasan penegakan hukum juga cenderung meningkat sejak 2015. (Imparsial)
Peneliti dari Imparsial, Hussein Ahmad, mengatakan, dari catatan Imparsial, sejak 2011 terdapat kecenderungan penambahan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) oleh kepolisian. Sementara penggunaan kekerasan terhadap masyarakat dengan alasan penegakan hukum juga cenderung meningkat sejak 2015.
Beberapa contohnya adalah pembatasan akses terhadap mereka yang ditahan kepolisian, penangkapan seorang warga yang dituduh teroris hingga kemudian meninggal, sampai pembunuhan di luar hukum ketika Asian Games 2018 diselenggarakan.
Hal senada juga diungkapkan Direktur LBH Jakarta Arif Maulana. Menurut Arif, kewenangan polisi yang sangat luas mulai dari penangkapan, penahanan, sampai penyitaan dan penembakan telah memakan korban. Pada aksi reformasi dikorupsi pada September 2019, setidaknya sekitar 1.500 orang ditangkap kepolisian tanpa ada kejelasan.
”Setelah 22 tahun ini kita melihat reformasi kepolisian, cita-cita reformasi 98 untuk menempatkan kepolisian yang humanis justru sekarang berbalik arah menjadi ancaman bagi proses demokratisasi dan pemenuhan perlindungan HAM,” kata Arif.
Setelah 22 tahun ini kita melihat reformasi kepolisian, cita-cita reformasi 98 untuk menempatkan kepolisian yang humanis justru sekarang berbalik arah menjadi ancaman bagi proses demokratisasi dan pemenuhan perlindungan HAM. (Arif Maulana)
Kekerasan terhadap jurnalis pun demikian. Menurut Ahmad Fathanah dari LBH Pers, pada 2019 terdapat 79 kasus kekerasan terhadap jurnalis yang 33 di antaranya dilakukan aparat kepolisian. Ketika terjadi aksi reformasi dikorupsi, terjadi kekerasan terhadap enam jurnalis. Dari empat yang melapor ke kepolisian, hanya dua laporan yang diterima.
Baca juga: Tantangan Polri dalam Menjaga Apresiasi Publik
Multifungsi Polri
Hal lain yang disorot Tim Advokasi untuk Demokrasi adalah penempatan perwira aktif untuk jabatan-jabatan di luar organisasi Kepolisian. Hal itu dinilai bertentangan dengan Pasal 10 Ayat 3 TAP MPR RI Nomor VII Tahun 2000 dan Pasal 28 ayat (3) UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI yang menyatakan bahwa anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar Kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas Kepolisian.
Menurut Fatia, penempatan polisi aktif di luar kepolisian atau multifungsi Polri itu tidak sejalan dengan agenda reformasi. Ombudsman RI mencatat, terdapat 13 perwira polisi aktif yang menjabat sebagai komisaris di beberapa BUMN. Sementara Kontras mencatat terdapat 9 purnawirawan polisi dan 21 polisi aktif yang menduduki berbagai jabatan sipil.
Berbagai masalah tersebut dinilai Tim Advokasi untuk Demokrasi terjadi karena lemahnya mekanisme pengawasan oleh Divisi Profesi dan Pengamanan Polri maupun oleh Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas). Kepolisian mestinya diawasi oleh lembaga dari luar kepolisian yang independen.
”Lembaga itu harus berada di luar kepolisian, harus menjadi lembaga independen, kemudian sumber pembiayaannya tersendiri atau tidak masuk ke anggaran kepolisian, dan diberikan kewenangan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan,” ujar Husein.
Baca juga: Ruang untuk Perbaikan Polri Terbuka
Sementara itu, dalam keterangan tertulis, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan 16 lembaga bantuan hukum (LBH) lainnya mencatat, pada 2019 terdapat 1.847 korban dari 160 kasus mendapatkan pelanggaran fair trial atau asas praduga tidak bersalah. Aparat kepolisian merupakan aktor paling dominan dalam kasus kejahatan pelanggaran fair trial tersebut, yakni sekitar 57 persen.
Pada 2019, YLBHI mencatat peningkatan pelanggaran terhadap hak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia menjadi 56 kasus dengan korban mencapai 601 orang. Angka korban yang besar tercatat dalam berbagai aksi demonstrasi.
”Tingginya angka penyiksaan ini kemudian diiringi dengan pembiaran dan perlindungan (impunitas) terhadap pelaku-pelaku penyiksaan dengan tidak memberikan sanksi,” sebagaimana dikutip dalam keterangan tertulis YLBHI.
Presiden memperhatikan secara serius terhadap pelanggaran tersebut serta meminta Kepolisian agar menghentikan segala bentuk tindakan yang melanggar HAM.
Untuk itu, YLBHI-LBH meminta agar Presiden memperhatikan secara serius terhadap pelanggaran tersebut serta meminta Kepolisian agar menghentikan segala bentuk tindakan yang melanggar HAM. Selain itu, YLBHI-LBH meminta agar DPR melaksanakan tugas konstitusionalnya secara serius, terutama dalam pengawasan terhadap institusi kepolisian.
Tak kekang kebebasan berpendapat
Hingga kini belum ada tanggapan dari pihak Polri terkait dengan sejumlah catatan kritis dari Tim Advokasi. Hanya saja, secara umum, Kepala Kepolisian Negara Republik Jenderal (Pol) Idham Azis, di sela peringatan Hari Bhayangkara Ke-74 , mengatakan, masih banyak kekurangan di tubuh Polri dan menjadi pekerjaan rumah yang harus dibenahi ke depan.
”Dalam kesempatan ini, saya atas nama institusi Polri mohon maaf kepada seluruh masyarakat apabila sampai saat ini ekspektasi masyarakat terhadap Polri belum maksimal. Tetapi, (yang ada) di dada kami bagaimana memberikan pengabdian yang terbaik kepada nusa dan bangsa,” kata Idham.
Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri Inspektur Jenderal Raden Prabowo Argo Yuwono mengatakan, kepolisian memastikan bahwa dalam sistem demokrasi sekarang ini, siapa pun diperbolehkan menyampaikan pendapat. Namun, kebebasan itu juga harus sesuai dengan aturan yang ada.
”Tidak ada pengekangan, semuanya itu bebas, tapi ada aturan yang mengatur. Silakan saja, misalnya, ada yang tidak diterima, kan, bisa menyampikan pendapatnya di muka umum. Kita juga kepolisian akan mengawal adanya penyampaian pendapat yang sesuai aturan,” kata Argo.