Fokus Modifikasi Cuaca Diperluas untuk Atasi Kebakaran Hutan
Untuk antisipasi kebakaran hutan dan lahan pada Agustus dan September mendatang, pemerintah memodifikasi cuaca untuk penanganan di beberapa wilayah di Sumatera dan Kalimantan. Pengawasan juga tetap digelar pemerintah.
Oleh
Nina Susilo
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah mengantisipasi kemungkinan kebakaran hutan dan lahan pada periode Agustus dan September mendatang. Modifikasi cuaca untuk penanganan diperluas ke beberapa wilayah di Sumatera dan Kalimantan, selain juga pengawasan yang diperkuat. Antisipasi ini sekaligus mencegah semakin parahnya kondisi masyarakat akibat kebakaran hutan dan lahan yang kini juga tengah menghadapi ancaman pandemi Covid-19.
Pemantauan dan koordinasi antarlembaga diharapkan diperkuat menjelang periode Agustus-September, yang biasanya juga rentan kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Presiden Joko Widodo menyebutkan, musim kemarau sudah dimulai pada April lalu untuk 17 persen wilayah, Mei pada 38 persen wilayah, dan Juni ini di 27 persen wilayah lainnya di Indonesia. Namun, sebagian lainnya baru akan mengalami musim kemarau pada Agustus depan.
Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup Siti Nurbaya pun menyebutkan, ledakan kebakaran hutan dan lahan rata-rata pada Agustus pada minggu kedua dan ketiga sampai minggu pertama September. Untuk Sumatera bagian utara, termasuk Aceh dan Riau, fase krisis pertama kebakaran hutan dan lahan terjadi pada Maret-April dan puncaknya, fase kedua, sepanjang Agustus-September mendatang. Potensi karhutla di periode ini juga terdapat di wilayah Kalimantan.
Mengantisipasi kemungkinan kebakaran hutan dan lahan di periode Agustus-September, Presiden Jokowi meminta penggunaan teknologi untuk memantau titik panas ataupun pengawasan oleh Babinsa, Babinkamtibmas, dan kepala desa dilakukan secara efektif. ”Jangan (ketika) api sudah membesar, baru kita padamkan. Sekecil mungkin, (ketika) api baru mulai, kita (harus) cepat tanggap,” kata Presiden saat memimpin rapat terbatas di Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (23/6/2020).
Jangan (ketika) api sudah membesar, baru kita padamkan. Sekecil mungkin, (ketika) api baru mulai, kita (harus) cepat tanggap.
Dalam ratas itu antara lain hadir Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Agraria dan Tata Ruang Sofjan Djalil, Kepala Polri Jenderal (Pol) Idham Aziz, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto, dan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo.
Hujan buatan
Seusai ratas, Siti menjelaskan, modifikasi cuaca akan segera dimulai pada awal Juli untuk wilayah Kalimantan. Untuk antisipasi kebakaran hutan dan lahan fase dua di wilayah Sumatera, hujan buatan dilakukan pada pertengahan Juli sampai Agustus.
Hujan buatan ini diturunkan sesuai analisis dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menggunakan teknologi yang disiapkan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), dan didukung pesawat dari TNI AU. Model hujan buatan ini dilakukan dengan merekayasa awan yang mengandung banyak air agar segera menjadi hujan di wilayah hutan gambut dan embung-embung yang sudah dibangun.
Sejauh ini, hujan buatan sudah dilakukan di fase pertama krisis karhutla, di masa menjelang Lebaran dan wabah Covid-19, di wilayah Riau dan Sumatera Selatan-Jambi.
Modifikasi sepanjang 13-31 Mei di Riau membuat curah hujan relatif merata di wilayah Bengkalis, Siak, Dumai, Rokan Hilir, Pelalawan, Indragiri Hilir, Indragiri Hulu, dan Kepulauan Meranti dengan rata-rata 80-300 mm. Dengan demikian, wilayah gambut menjadi basah dan air di embung-embung terisi. Risiko kebakaran hutan dan lahan menurun.
Hujan buatan juga telah dilakukan di wilayah Sumatera Selatan-Jambi sepanjang 2-19 Juni 2020. Dengan hujan buatan, volume curah hujan di Sumsel meningkat 29,8 persen ketimbang curah hujan yang diprediksi. Demikian pula, di Jambi, curah hujan lebih banyak 26,2 persen daripada prediksi tanpa terknologi modifikasi cuaca. Pada periode 19-23 Juni, di tujuh provinsi rawan karhutla, satelit TERRA/AQUA (dengan tingkat keyakinan di atas 80 persen) tidak mendeteksi titik panas.
Selain mengantisipasi adanya titik panas dan kebakaran sejak dini, Presiden Jokowi juga mengingatkan bahwa 99 persen kebakaran terjadi akibat ulah manusia, baik kesengajaan maupun kelalaian. Karena itu, Presiden meminta ada penegakan hukum yang tegas. Untuk itu, kata Siti, koordinasi dengan pemerintah daerah serta menjaga kesatuan penguasaan kawasan hutan serta penegakan hukum terus dilakukan.
Risiko pasca-Covid-19
Kita mempersiapkan untuk menghadapi (karhutla) 2020. Sekarang masalahnya bukan hanya kebakaran hutan yang harus kita antisipasi, melainkan juga menyelesaikan Covid-19.
Mahfud relatif optimistis dengan upaya mengantisipasi kebakaran hutan dan lahan. Setidaknya beberapa tahun terakhir, karhutla relatif bisa diatasi. Setidaknya, sepanjang 2016-2019, relatif tidak ada protes-protes dari aktivis lingkungan hidup ataupun negara-negara lain. KLHK juga mencatat luasan lahan yang mengalami kebakaran turun cukup signifikan dari 2,6 juta hektar pada 2015 menjadi 438.000 hektar pada 2016, 165.000 pada 2017, dan 529.000 tahun berikutnya. Baru pada 2019, luasnya ini kembali meningkat menjadi 1,6 juta hektar.
”Kita mempersiapkan untuk menghadapi (karhutla) 2020. Sekarang masalahnya bukan hanya kebakaran hutan yang harus kita antisipasi, melainkan juga menyelesaikan Covid--19,” kata Mahfud menambahkan.
Doni yang juga Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 menambahkan, mencegah karhutla saat ini menjadi lebih penting lagi. Sebab, kebakaran lahan gambut akan menimbulkan asap pekat dan ini meningkatkan ancaman kesehatan, terutama inspeksi saluran pernapasan atas dan mereka yang memiliki penyakit asma. Wabah Covid-19 juga membuat risiko warga yang sudah memiliki riwayat asma dan masalah ISPA semakin berat. Kerja sama semua pihak untuk mengantisipasi kebakaran hutan dan lahan, terutama lahan gambut, jelas menjadi kunci.