Pesawat Jatuh, Hawk 109/209, dan Kekuatan Udara RI
Perhatian publik terpusat pada penyebab jatuhnya pesawat TNI Angkatan Udara Hawk 209 dengan nomor ekor 0209 di Kampar, Riau. Di sisi lain juga ada rasa cemas kecelakaan ini makin mengurangi kemampuan kekuatan udara RI.
Oleh
Edna C Pattisina
·4 menit baca
Insiden jatuhnya Hawk 209 dengan nomor ekor 0209 menjadi semacam alarm tentang kekuatan udara Indonesia. Walaupun masih menunggu penyelidikan lebih lanjut, perhatian publik terpusat pada sebab musabab jatuhnya pesawat TNI Angkatan Udara ini.
Salah satu hal yang melegakan adalah selamatnya pilot Letnan Satu (Pnb) Apriyanto Ismail yang sempat melontarkan dirinya dan selamat. Tidak mudah tentunya mengambil keputusan cepat di tengah kecepatan dan ketinggian yang hanya 500 kaki atau sekitar 152 meter.
Di sisi lain, jatuhnya pesawat latih tempur ini tentu menimbulkan rasa cemas karena berarti semakin mengurangi kemampuan kekuatan udara Indonesia. Tidak mudah membeli pesawat tempur karena pesawat tempur adalah salah satu kekuatan strategis militer yang juga berarti kekuatan negara.
Indonesia dengan formasi kepulauan dengan rentang yang sangat lebar, berada di dekat kawasan Laut China Selatan yang tengah memanas tentu perlu memiliki kekuatan udara yang kuat.
Dalam rapim TNI AU tahun 2019, Marsekal Yuyu Sutisna yang saat itu menjadi Kepala Staf TNI AU mengatakan, pemenuhan kekuatan pokok minimum TNI Angkatan Udara baru 44 persen. Diharapkan, pengadaan dapat dipercepat kembali agar pemenuhan total kekuatan TNI AU bisa tercapai 100 persen pada 2024. Seharusnya pada akhir 2019 pemenuhan kebutuhan pokok minimum TNI AU sudah mencapai 66 persen (Kompas, 2/2/2019).
Angka itu tidak terlalu jauh bergeser saat ini karena penggantian F5 yang sudah sekitar tiga tahun pensiun tidak kunjung hadir. Sesuai rencana strategis pertahanan Indonesia, penggantian pesawat tempur yang paling penting adalah F5, sementara rencana penggantian Hawk 109/209 belum disebutkan dalam waktu dekat.
KSAU Marsekal Fadjar Prasetyo juga menyebutkan bahwa Hawk 0209 telah menghabiskan 3.100 jam terbang. Meski telah berusia 30 tahun, pesawat itu masih dianggap layak mengingat jam terbang dinilai normal.
Rencana Indonesia membeli Sukhoi Su 35, walaupun kontrak sudah ditandatangani Februari 2018, belum efektif karena pembayaran belum dilakukan. Perjanjian imbal dagang yang tadinya disebut dengan karet atau minyak kelapa sawit tidak kunjung dieksekusi. Bahkan sempat muncul pernyataan seorang menteri saat itu, kerupuk ada dalam daftar.
Perkembangan terakhir, konon Amerika Serikat menghambat rencana Indonesia untuk membeli Sukhoi. Bahkan, tekanannya telah masuk ke ranah ekonomi dan politik luar negeri. Beberapa waktu lalu, hal ini disampaikan Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Kementerian Perdagangan Oke Nurwan.
”Rusia berkenan imbal beli, di tengah jalan AS mulai cawe-cawe. Kalau ada transaksi dengan Rusia ada ancaman lain, kita diplomasi itu,” kata Oke, seperti dikutip Kompas.com (7/8/2018).
Bagi AS yang ingin memasarkan produknya juga seperti Viper dan berkepentingan atas konstelasi geopolitik di Asia Pasifik tentu tindakan ini masuk akal. Akan tetapi, bagi Indonesia yang tidak ingin bergantung pada satu produk karena trauma embargo, sangat penting untuk membeli persenjataan non-AS. Apalagi untuk memperkuat kemampuan kekuatan udaranya.
Bagi Indonesia yang tidak ingin bergantung pada satu produk karena trauma embargo, sangat penting untuk membeli persenjataan non-AS.
Pembelian Hawk
Sejarah pembelian Hawk 100/200 menjadi contoh yang menarik. Tahun 1993, Indonesia menandatangani pembelian kontrak 24 pesawat Hawk yang lalu diberi kode 109/209 untuk menandai penjualan ke Indonesia. Gelombang pertama Hawk 100/200 tiba di Indonesia 17 Mei 1996, diterbangkan feri dari Inggris ke Lanud Pekanbaru, Riau. Lanud Pekanbaru dijadikan pangkalan Skuadron Udara 12 di mana pesawat latih/tempur buatan British Aerospace (BAe) ini ditempatkan. Indonesia kemudian memesan lagi 16 pesawat Hawk.
Akan tetapi, pada tahun 1999, pengiriman pesawat ini sempat terhambat. Padahal, dari sisi ekonomi, Indonesia adalah konsumen utama Hawk 100/200 yang pada saat itu juga sebenarnya tidak battle proven dan hingga akhirnya hanya diproduksi 62 pesawat.
September 1999, tiga pesawat Hawk 209 yang terbang dari Inggris ke Indonesia tertahan di Thailand lebih dari lima hari. Alasannya, pilot Inggris merasa tidak enak badan sehingga tidak bisa menerbangkan pesawat yang masih melekat indentitas Inggris (Kompas 24/11/1999).
Tahun depannya, enam pesawat Hawk harus diangkut dengan peti kemas karena AS tidak bersedia menjual radar, alat navigasi, alat komunikasi, dan unit kontrol generator. Padahal empat jenis komponen ini sangat dibutuhkan pesawat tempur, termasuk untuk penerbangan dari Inggris ke Indonesia (Kompas 8/4/2000).
Embargo AS tidak saja melemahkan kekuatan TNI AU secara perlahan tapi pasti. Namun, secara politik juga ada tekanan-tekanan seperti larangan menggunakan Hawk 109/209 untuk operasi di Timor Timur dan Aceh. Saat-saat itu adalah masa-masa kegelapan, yang semoga tidak terjadi lagi.
Saat ini, ada banyak versi tentang jumlah Hawk 109/209 yang masih beroperasi. Military Balance 2020 mencatat, kekuatan TNI AU hanya 45 persen yang beroperasi. Sementara untuk Hawk, disebutkan masih ada 7 Hawk 109 dan 23 Hawk 209 yang aktif beroperasi.
Sementara, dari rentetan kecelakan yang melibatkan Hawk 109/209, tercatat 16 November 2001, ada Hawk 209 kehilangan kendali saat lepas landas; 6 Juni 2002 tergelincir di Polonia, Medan; jatuh pada 16 Oktober 2012. Selain itu, ada beberapa pesawat yang dinonaktifkan. Jumlah Hawk yang dimiliki TNI AU tidak lagi sebanyak itu.
Satu-satunya solusi jangka panjang adalah membuat pesawat sendiri. Sementara solusi jangka menengah tentunya pemeliharaan sebaik-baiknya.