Veteran Masih Terus Berjuang di Hari Tua
Tidak sedikit veteran yang masih hidup dalam keterbatasan ekonomi. Walaupun mereka cenderung tidak mengeluh, negara perlu terus hadir untuk meningkatkan kesejahteraan para pejuang ini di hari tuanya.
JAKARTA, KOMPAS – Di hari tuanya, sebagian veteran yang semasa muda berjuang merebut kemerdekaan maupun mempertahankan kemerdekaan masih terus berjuang untuk mencukupi kebutuhan hidup. Walaupun mereka cenderung tidak mengeluh, negara perlu terus hadir untuk meningkatkan kesejahteraan mereka.
Sesuai UU 15/2012 tentang Veteran RI, definisi veteran ialah pejuang kemerdekaan (1945-1949), pembela kemerdekaan (Trikora, Dwikora, Seroja), veteran perdamaian, dan veteran anumerta. Berdasar data Kementerian Pertahanan, ada 139.500 veteran di Indonesia. Mereka mendapat dana kehormatan dan tunjangan per bulan dari negara berkisar Rp 2,6 juta-Rp 2,9 juta tergantung golongannya. Golongan veteran ditentukan oleh lama masa baktinya.
Jajak pendapat Kompas Mei 2020 merekam 62,1 persen responden menilai tunjangan veteran masih kurang. Adapun, sebagai pembanding upah minimum provinsi di DKI Jakarta Rp 4,2 juta per bulan. Jajak pendapat juga menunjukkan 56,8 persen responden menganggap keluarga veteran hidup pas-pasan, 22,4 persen menganggap memprihatinkan. Hanya 8 persen responden menyatakan berkecukupan.
Persepsi ini membaik dari jajak pendapat Kompas Agustus 2010. Saat itu, 44,9 persen responden menganggap keluarga veteran hidup memprihatinkan, pas-pasan (39,8 persen), dan berkecukupan (6,7 persen).
Tidak mengeluh
Dalam perbincangan Kompas bersama veteran di beberapa daerah pada pekan terakhir Mei 2020, mereka cenderung tidak mengeluh kendati menghadapi keterbatasan ekonomi.
Misalnya, Zainal Abidin (92), veteran kemerdekaan RI dari Ulee Kareng, Banda Aceh, Provinsi Aceh yang kini masih mengandalkan sepeda jengki tua untuk bepergian. Zainal terlibat dalam perjuangan kemerdekaan antara 1942 hingga 1945, yakni masa penjajahan Jepang. Usia Zainal kala itu sekitar 14 tahun. Dia mendapat tugas menyiapkan dan mengantar logistik kepada pejuang. Setelah merdeka, perjuangan hidup tidak berakhir. Zainal menjadi tukang bangunan dan berhenti saat usia senja. Tahun 1980-an dia ditetapkan sebagai veteran pejuang kemerdekaan.
“Saya bersyukur pemerintah memberi santunan setiap bulan. Walaupun hanya Rp 2,8 juta, itu sangat berarti,” kata Zainal.
Veteran Trikora di Irian Barat tahun 1961, Tarno (75), tinggal di sebuah kontrakan sederhana di Kampung Salo, Kembangan, Jakarta Barat. Tarno tinggal bersama anak, menantu, dan enam cucunya. Sudah empat bulan ini, berhenti berjualan balon di Pasar Bojong Indah Cengkareng karena kehabisan modal.
“Kalau laku sehari bisa dapat penghasilan kotor Rp 100.000. Namanya orang jualan kan tidak menentu,” ujar Tarno, Jumat (29/5/2020).
Baca juga: Veteran Perang Ingatkan Pemerintah Tangani Kemiskinan
Tarno bertugas di perbatasan Sorong selama delapan bulan. Ia juga ikut perang Dwikora tahun 1964 dan ditugaskan di Nunukan, Kalimantan Utara. Setelah itu, Tarno kembali merantau sebagai buruh serabutan dan berpindah-pindah kota. Tahun 1970, dia kembali ke Jakarta. Statusnya sebagai veteran perang membuat dia dipercaya menjadi petugas keamanan. Namun, seiring dengan usia yang semakin uzur, dia pun tersisih oleh generasi muda.
Sekarang, untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, Tarno mengandalkan dana tunjangan veteran dan dana kehormatan. Setiap bulan, dana sekitar Rp 2,7 juta itu ditransfer ke rekening Tarno. Uang harus disisihkan untuk membayar kontrakan Rp 1,3 juta per bulan.
“Dana tunjangan veteran selalu turun pada tanggal 1. Saya lalu naik sepeda ke bank di Jalan Gunung Sahari, Jakarta Utara untuk mencairkan. Di sana, dana akan dipotong untuk cicilan hutang koperasi yang saya ambil,” tutur Tarno.
Mugeni bin Tembok (92), veteran Pejuang Kemerdekaan RI golongan D, tinggal Cengkareng, Jakarta Barat. Atap rumahnya sudah jebol sana sini dan penuh tambalan. Kampung padat penduduk itu pun kerap disapa banjir. Awal tahun lalu, rumah Mugeni tergenang hingga lebih dari satu meter. Sejumlah perabotan rusak dan mereka harus mengungsi. Mugeni tinggal bersesak-sesakan dengan istrinya, Siamah (75), dan empat orang anaknya.
“Setelah enggak jadi pejuang, hidup bapak susah. Dia berjualan cendol keliling untuk menghidupi delapan orang anaknya. Sekarang, karena sudah tidak kuat, di rumah saja mengandalkan tunjangan dan bantuan anak-anak,” kata Siamah.
Uweb (100), prajurit Batalyon 26 Divisi Siliwangi yang dikenal dengan nama Pasukan Siluman Merah berjuang merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Setelah merdeka, ia menjadi buruh pemetik teh di Perkebunan Teh Sinumbra, Ciwidey, Bandung. Ia bekerja hingga tahun 1990. Dengan upah yang tidak seberapa, ke-12 anak Uweb tidak ada yang mengecap pendidikan SMA.
“Saya SMP saja tidak tamat. Memang anak veteran sekolah bisa gratis, tapi waktu itu kami kan butuh makan, dan tidak ada sekolah di sini,” kata Ade Uweb (40), anak bungsu Uweb.
Walau menerima tunjangan veteran sekitar Rp 2,6 juta per bulan, Uweb kesulitan berobat ke rumah sakit di Soreang yang jaraknya hampir 20 km karena harus menyewa mobil. Ade berharap ada perhatian lebih terutama untuk kesehatan ayahnya. Menurutnya, selama ini memang ada penghargaan misalnya dijemput kepala desa kalau HUT Kemerdekaan RI dan namanya disebutkan.
Salman Baderan (92) yang tinggal di desa Reksonegoro, Gorontalo berjuang bersama pasukan yang dipimpin Nani Wartabone yang berperang merebut kemerdekaan dan menumpas PRRI Permesta. Salman yang setelah perang menjadi petani ini mengatakan, untungnya ia masih bisa didukung anak-anaknya. Saat ini ia tinggal di rumah anaknya yang menjadi Polri.
“Yang penting, yang sekarang tidak korupsi di kemerdekaan,” kata Salman.
Di Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh, veteran pejuang kemerdekaan RI, Ibrahim Ali (95) terbaring lemah di atas kasur di rumahnya di Desa Kampung Baro, Kecamatan Baiturrahman. Di rumah ukuran 36 meter persegi itu dia tinggal sendiri. Rumah itu bantuan dari lembaga donor semasa rehabilitasi dan rekontruksi gempa dan tsunami. Tiga rumah anaknya berada di depan dan samping rumah Ibrahim.
Setelah Belanda minggat dari Aceh, ia bekerja keras menghidup keluarga dengan menjadi penjahit pakaian. Baru pada tahun 1981 Ibrahim ditetapkan sebagai veteran pejuang kemerdekaan. Setelah ditetapkan sebagai veteran, setiap bulan dia mendapatkan tunjangan dari pemerintah. Dengan tunjangan itu dia bertahan hidup hingga kini.
Di Kampung Tulung, Kecamatan Magelang Tengah, Kota Magelang, Jawa Tengah, Abak Roflin (93), justru belum bisa mengajukan diri sebagai anggota veteran. Padahal, dia pensiun dari Korps Birgade Mobil dan pernah bertugas dalam operasi Trikora selama enam bulan.
Ada beberapa kendala yang ia alami seperti seperti dokumen berupa surat perintah maupun keterangan saksi. Ia pernah mengajukan diri untuk jadi anggota Legiun Veteran Republik Indonesia di Semarang tetapi diminta mengurus langsung ke kantor pusat di Jakara.
“Untuk mengurus ke Jakarta perlu sangu, dan sangu ini yang saya tidak ada,” kata Roflin.
Disparitas kesejahteraan
Wakil Ketua Umum Legiun Veteran Republik Indonesia Mayjen TNI (Pur) Bantu Hardjijo mengakui tingkat kesejahteraan veteran memang berbeda-beda. Veteran yang berasal dari TNI/pegawai negeri sipil kehidupannya mungkin lebih baik karena mendapatkan uang pensiun dari pemerintah selain dana tunjangan veteran. Namun, bagi veteran perang yang berasal dari pemuda pejuang, bisa jadi kesejahterannya lebih rendah karena tidak memiliki uang pensiun.
Menurut Bantu, perhatian pemerintah terhadap veteran terus membaik. Sudah ada regulasi yang menjamin tunjangan veteran, seperti Undang Undang Nomor 15/2012 tentang Veteran RI, Peraturan Pemerintah Nomor 67/2014 tentang Pemberian Kesejahteraan Terhadap Veteran. Pada tahun 2018, dana kesejahteraan veteran juga dinaikkan 25 persen oleh pemerintah.
“Perhatian pemerintah terhadap veteran sudah cukup baik dan sesuai dengan kemampuan keuangan pemerintah,” ujar Bantu.
Di luar tunjangan veteran dan dana kehormatan, veteran juga mendapatkan sejumlah insentif seperti pembebasan pajak bumi dan bangunan (PBB) di wilayah DKI Jakarta. Veteran juga mendapatkan reduksi biaya transportasi dan jaminan kesehatan. Saat ini, jumlah veteran yang tergabung dalam organisasi LVRI sebanyak 84.158 orang. Sebanyak 49.224 adalah veteran pejuang kemerdekaan RI. Veteran lainnya, adalah veteran pembela Trikora, Dwikora, Seroja, maupun veteran perdamaian menurut mandat PBB.
Direktur Jenderal Potensi Pertahanan, Kementerian Pertahanan (Kemenhan) Bondan Tiara Sofyan mengatakan saat ini adalah 139.500 veteran yang tersebar di Indonesia. Ia mengatakan, pemerintah berusaha sebaik-baiknya memberikan apresiasi bagi para pejuang itu.
Apa yang kita apresiasi tak sebanding dengan jasa mereka. Tapi negara berusaha yang terbaik. Seperti sekarang ada pemotongan anggaran di Kemhan, tapi untuk veteran tidak dipotong
Berdasarkan PP 31/2018, pemerintah menaikan Dana Kehormatan Veteran dari Rp 750.000 pada tahun 2014 menjadi Rp 938.000. Sementara, Tunjangan Veteran untuk pejuang kemerdekaan naik dari yang terkecil Rp 1,4 juta menjadi Rp 1,75. Untuk kategori veteran yang lain juga naik dengan proporsi berbeda-beda sesuai golongan veteran.
“Apa yang kita apresiasi tak sebanding dengan jasa mereka. Tapi negara berusaha yang terbaik. Seperti sekarang ada pemotongan anggaran di Kemhan, tapi untuk veteran tidak dipotong,” katanya.
Dia juga mengakui, belum semua veteran mendapat tunjangan karena belum secara resmi terdaftar sebagai veteran. Kendalanya, ada di pendataaan di Indonesia yang begitu luas. Kemhan berupaya mengadakan sosialisasi lewat media elektronik bahkan membuat apilkasi. Kendala lain adalah keabsahan dokumen dari veteran. Kemhan harus berhati-hati karena ada pihak yang memalsukan status veteran untuk mendapatkan tunjangan. Oleh karena itu, ada jenjang-jenjang untuk melakukan verifikasi.
Hendi Johari, Ketua Dewan Pembina Yayasan Historika yang kerap memberi bantuan pada pveteran menuturkan, memang ada kalanya para veteran ditipu oleh orang-orang yang menggunakan dokumen mereka untuk mendapat tunjangan. Dokumen kadang dibawa dan hilang.
Namun dia juga melihat bahwa kerap kali persyaratan veteran terlalu ketat. Misalnya, menanyakan tentang surat tugas. Atau ada kasus-kasus khusus yang tidak tertangani. Misalnya, ada veteran yang memang pernah ikut perang akan tetapi bentrok dengan bekas komandannya karena ideologi sehingga dia keluar.
“Misalnya, Pak Ido, di Cibeber, Cianjur (Jawa Barat), akhirnya beliau meninggal tanpa sempat mendapat penghargaan sebagai veteran,” kata Hendi.
Guru Besar Sejarah UIN Syarif Hidayatullah, Azyumardi Azra mendorong pemerintah terus meningkatkan kesejahteraan veteran. Terkait adanya veteran yang belum terdaftar, dia meminta pemerintah tak terbelenggu administrasi.
(Norbertus Arya Dwiangga Martiar/Zulkarnaini)