Penegak hukum perlu mengusut teror dan ancaman terkait diskusi yang sedianya digelar oleh Constitutional Law Society Fakultas Hukum UGM. Teror tersebut melanggar HAM dan kebebasan berekspresi.
Oleh
Dian Dewi Purnamasari
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Intimidasi terhadap panitia kegiatan diskusi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, menunjukkan pengekangan kebebasan akademis yang masih terjadi di negara demokrasi. Pembatalan diskusi dan cara-cara intimidasi di lingkungan kampus pun bukan sekali ini terjadi. Pelanggaran tersebut justru akan membawa kemunduran terhadap perkembangan akademis.
Kegiatan Diskusi dan Silaturahmi Bersama Negarawan (DILAWAN) sedianya akan diselenggarakan kelompok studi mahasiswa Contitusional Law Society Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM), Jumat (29/5/2020). Namun, panitia acara diskusi daring itu mendapatkan intimidasi dari sejumlah oknum. Intimidasi dilakukan melalui telepon, pesan singkat, bahkan ancaman langsung ke rumah salah satu anggota panitia. Oknum pengancam berpendapat, tema acara yang bertajuk ”Persoalan Pemecataan Presiden di Tengah Pandemi Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan” berbau isu makar.
Dekan FH UGM Sigit Riyanto saat dikonfirmasi, Sabtu, mengatakan, diskusi ilmiah tersebut merupakan inisiatif dari mahasiswa yang berminat pada konsentrasi keilmuan bidang hukum tata negara. Tema tersebut juga relevan dengan mata kuliah ilmu hukum tata negara yang dipelajari mahasiswa. Poster terkait tema dan pelaksanaan diskusi lalu diunggah ke laman Instagram sejak Kamis, 28 Mei.
Kemudian, informasi tersebut beredar viral di media sosial dipicu oleh tulisan seseorang berinisial BPW yang menuduh dengan narasi ”Gerakan Makar di UGM Saat Jokowi Sibuk Atasi Covid-19”. Setelah itu, panitia mengubah judul diskusi disertai permohonan maaf dan klarifikasi. Tema diskusi diubah menjadi ”Meluruskan Persoalan Pemberhentian Presiden Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan” di media sosial.
”Orang yang melakukan provokasi di social media dengan menuduh bahwa diskusi adalah gerakan makar itu ngawur. Dia tidak pernah mengonfirmasi kepada panitia, dia tidak tahu TOR diskusinya, tetapi menuduh macam-macam,” kata Sigit.
Intimidasi
Tak berhenti di situ, pada 28 Mei malam, teror dan ancaman berdatangan kepada nama yang tercantum dalam poster kegiatan. Baik pembicara, moderator, maupun narahubung mendapat ancaman pembunuhan melalui telepon hingga pesan singkat. Teror tak hanya menyasar mereka yang terlibat dalam acara. Tak hanya teror melalui telepon, sejumlah orang tak dikenal juga mendatangi rumah orang yang terlibat dalam diskusi itu. Bahkan, keluarga korban pun mendapatkan teror serupa.
”Akun Instagram Constitutional Law Society juga diretas pada 29 Mei 2020. Peretas menggunakan akun tersebut untuk menyatakan pembatalan diskusi dan mengeluarkan semua peserta diskusi yang telah masuk dalam grup diskusi,” ujar Sigit.
Ini adalah ancaman nyata bagi mimbar kebebasan akademik yang dilakukan dengan menjustifikasi sepihak secara brutal sebelum diskusi itu dilaksanakan.
Pihak kampus sepenuhnya mendukung kegiatan akademis yang dilakukan oleh mahasiswa. Menurut Sigit, tidak ada yang salah dari diskusi tersebut. Tema yang dibahas mahasiswa dipelajari dalam disiplin ilmu hukum ketatanegaraan di seluruh dunia. Justru intimidasi dan pelarangan mengancam kebebasan akademis. Jika dibiarkan, hal itu akan mengancam perkembangan dunia akademis. Kebebasan berpendapat dalam koridor akademik yang berkontribusi positif dalam menjernihkan polemik di masyarakat harus diberi ruang.
”Ini adalah ancaman nyata bagi mimbar kebebasan akademik yang dilakukan dengan menjustifikasi sepihak secara brutal sebelum diskusi itu dilaksanakan,” ucap Sigit.
Para mahasiswa yang menjadi korban intimidasi pun saat ini dibawa ke rumah aman. Pihak kampus akan sepenuhnya melindungi segenap sivitas akademika yang terlibat dalam diskusi tersebut.
UGM juga sedang mempertimbangkan langkah hukum yang akan ditempuh dalam kasus intimidasi tersebut. Namun, Sigit berpendapat, kasus intimidasi ini harus segera diselidiki oleh pihak kepolisian. Sebab, para pelaku telah melakukan pelanggaran hukum berupa peretasan akun serta ancaman fisik dan verbal. Menurut dia, kasus tersebut bukanlah delik aduan sehingga pihak kepolisian dapat langsung menyelidiki kasus tersebut. Apalagi, kasus tersebut juga mengatasnamakan oknum kepolisian.
Melanggar hak asasi manusia
Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Hasto Atmojo Suroyo mengatakan, tindakan intimidasi di kampus termasuk pelanggaran hukum dan hak asasi manusia. Menurut dia, kebebasan berpikir dan berpendapat tidak bisa dianggap makar apabila tidak ada aksinya. Apabila tidak setuju dengan sebuah gagasan, seharusnya juga dilawan dengan gagasan lain.
Negara melalui aparat penegak hukum harus mengintervensi kasus ini. Jangan sampai ada pembiaran yang dapat mengancam kebebasan akademis ke depan. Apalagi, kasus pembatalan diskusi di lingkungan kampus ini bukan hanya satu kali terjadi.
Oleh karena itu, lanjutnya, negara melalui aparat penegak hukum harus mengintervensi kasus ini. Jangan sampai ada pembiaran yang dapat mengancam kebebasan akademis ke depan. Apalagi, kasus pembatalan diskusi di lingkungan kampus ini bukan hanya satu kali terjadi.
”Korban yang mendapatkan intimidasi juga bisa mengajukan perlindungan ke LPSK,” kata Hasto.
Hasto melanjutkan, maraknya kasus pembatalan diskusi di kampus menunjukkan ada kemunduran demokrasi di Indonesia. Demokrasi masih sebatas pada prosedural dan belum menyentuh substansi. Cita-cita Reformasi 1998 seolah mundur dan praktik otoritarianisme seolah hanya berganti baju. Semua pihak harus introspeksi dengan kejadian ini. Negara harus memberikan perlindungan terhadap kebebasan berpikir dan akademis.
”Aparat kepolisian harus proaktif menyelidiki kasus ini untuk menunjukkan bahwa negara memberikan perlindungan hukum,” ucap Hasto.
Sementara itu, Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara (APHTN) mengkritik segala bentuk tindakan intimidasi dan ancaman yang dilakukan kepada penyelenggara kegiatan diskusi akademik yang diselenggarakan oleh kalangan kivitas akademika. APHTN juga meminta pemerintah dan aparat penegak hukum untuk melindungi segala bentuk kegiatan akademik yang diselenggarakan sivitas akademika sebagai bagian dari kebebasan akademik.
Kebebasan akademik adalah kebebasan yang bersifat fundamental dalam rangka mengembangkan otonomi institusi akademik.
Anggota APHTN, Susi Dwi Harijanti, menyebutkan, kebebasan akademik adalah kebebasan yang bersifat fundamental dalam rangka mengembangkan otonomi institusi akademik. Kebebasan tersebut merupakan bagian dari kebebasan berekspresi dan berpendapat sebagai sistem hukum HAM universal yang diakui dan dilindungi keberadaannya di Indonesia. Hal tersebut dituangkan dalam Pasal 28E Ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Di dunia akademis, kebebasan berpendapat semakin dilindungi dengan adanya konsep kebebasan akademik yang secara tegas diakui oleh negara, yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Pasal 8 Ayat (1) UU No 12/2012 menyatakan bahwa negara menjamin kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan di perguruan tinggi. Kebebasan akademik juga diakui dan dihormati secara universal berdasarkan Magna Charta Universitatum (Bologna, 18 September 1988).