Bantuan sosial kepada warga terdampak Covid-19 yang diberikan pemerintah masih terkendala berbagai hal. Fraksi Partai Gerindra pun mengusulkan pemerintah mengubah skemanya, di antaranya dengan bantuan langsung tunai.
Oleh
Rini Kustiasih
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Fraksi Partai Gerindra mengusulkan kepada pemerintah agar mengubah skema bantuan kepada masyarakat terdampak pandemi Covid-19. Berbagai macam bentuk bantuan yang diluncurkan oleh pemerintah sebaiknya diubah menjadi bantuan uang tunai.
Sekretaris Jenderal Partai Gerindra Ahmad Muzani, dalam keterangan persnya, Senin (18/5/2020) di Jakarta, mengatakan, perubahan skema bantuan kepada masyarakat, yakni antara lain yang semula dari bahan pokok (sembako) menjadi uang tunai agar memiliki banyak pengaruh di masyarakat. Uang tunai merupakan sesuatu yang sangat diperlukan oleh masyarakat, khususnya kalangan prasejahtera. ”Fraksi Gerinda mengusulkan sembako digantikan dengan uang tunai,” kata Muzani.
Bantuan tersebut pun diyakininya akan dibelanjakan untuk kepentingan makanan ataupun untuk kebutuhan kebutuhan lainnya. ”Jika mereka bisa menghemat jumlah uang tunai yang diterima, tentu saja kebutuhan kebutuhan yang lain sebagian bisa tertutup,” katanya.
Jika mereka bisa menghemat jumlah uang tunai yang diterima, tentu saja kebutuhan kebutuhan yang lain sebagian bisa tertutup.
Selain itu, uang tunai sifatnya bisa langsung diterima secara langsung oleh nama keluarga yang bersangkutan. Penyaluran uang tunai juga akan memberikan pengaruh pada perekonomian di daerah. Sebab, ekonomi akan berputar lantaran ada kenaikan daya beli masyarakat setelah ada bantuan tunai dari pemerintah. Berbeda halnya apabila bantuan kepada masyarakat disalurkan dalam bentuk sembako.
”Uang tersebut pasti akan dibelanjakan di mana dia bertempat tinggal sehingga roda perputaran ekonomi bisa meningkatkan, daya beli juga bisa meningkat,” katanya.
Penyaluran sembako, kata Muzani, hanya menjadi ajang pemodal besar mendapatkan keuntungan di tengah krisis pandemi. Sebab, penyaluran sembako dipastikannya akan melewati proses pengadaan lewat tender yang pasti akan dimenangkan oleh para kontraktor-kontraktor besar. Selain itu, efek ekonominya dinilai sangat kecil karena perputaran uang itu hanya pada segelintir orang.
”Yang kedua, kalau sembako itu hanya mampu menutupi kebutuhan pangan, kalau uang tunai, pasti akan dibelanjakan kebutuhan pokok dan kalau masih lebih, bisa pakai untuk kebutuhan lainnya,” katanya.
Oleh karena itu, Partai Gerindra mengusulkan agar skema bantuan kepada masyarakat yang terkena dampak virus korona baru dapat diubah, dari semula sembako menjadi uang tunai. ”Saya percaya pemerintah bisa melakukan itu, termasuk perbaikan data penerima bantuan uang tunai. Semoga pemerintah bisa mengelaborasi pandangan ini,” pungkasnya.
Dapat asal ada syarat
Sejauh ini, pemerintah melalui Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (PDTT) yang dipimpin Abdul Halim Iskandar sebenarnya telah memberikan bantuan langsung tunai (BLT) untuk mengurangi beban masyarakat desa di tengah tekanan ekonomi akibat pandemi Covid-19 dengan dua syarat utama.
Secara umum, masyarakat desa yang masuk dalam daftar keluarga penerima manfaat akan mendapat Rp 600.000 per bulan per keluarga selama tiga bulan. Dengan demikian, masyarakat desa bisa mendapat Rp 1,8 juta dari dana desa yang sebelumnya kerap digunakan untuk pembangunan infrastruktur, seperti jalan dan jembatan.
Namun, untuk mendapatkan bantuan ini, ada dua syarat utama. Pertama, calon penerima merupakan masyarakat desa yang masuk dalam pendataan RT/RW dan berada di desa. Masyarakat yang akan masuk pendataan adalah mereka yang kehilangan mata pencarian di tengah pandemi korona.
Saat ini ada sedikitnya tujuh jenis bantuan dari negara, mulai bansos, sembako, hingga Kartu Prakerja, dan beras sejahtera (rastra). Persoalannya, bantuan yang ada itu sekarang belum menjangkau orang-orang yang menjadi miskin dari pandemi atau setidaknya orang miskin baru sejak tahun 2015 hingga sekarang.
Kedua, calon penerima tidak terdaftar sebagai penerima bantuan sosial (bansos) lain dari pemerintah pusat. Artinya, calon penerima BLT dari dana desa merupakan mereka yang tidak menerima Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Sembako, Paket Sembako, Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) lain, hingga Kartu Prakerja.
Sebelumnya, Direktur Pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Pahala Nainggolan mengingatkan belum baiknya pembaruan data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS) yang masih menggunakan data tahun 2015. Baru 286 daerah di Tanah Air yang memperbarui data sejak tahun 2015.
Adapun total daerah di Indonesia, dari provinsi hingga kabupaten dan kota ialah 542 daerah. Akibatnya, data warga yang berhak memperoleh bantuan dari pemerintah saat ini kurang valid karena mendasarkan pada data tahun 2015.
”Saat ini ada sedikitnya tujuh jenis bantuan dari negara, mulai bansos, sembako, hingga Kartu Prakerja, dan beras sejahtera (rastra). Dengan DTKS yang ada saat ini, ada kemungkinan penerimaan bantuan ganda karena yang menerima bantuan hanya orang itu-itu saja. Persoalannya, bantuan yang ada itu sekarang belum menjangkau orang-orang yang menjadi miskin dari pandemi atau setidaknya orang miskin baru sejak tahun 2015 hingga sekarang,” kata Pahala.