MA: Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan Wewenang Pemerintah
MA menyerahkan sepenuhnya dan tak akan mencampuri kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Kebijakan itu sepenuhnya kewenangan pemerintah. MA baru akan membahas hal itu jika ada pihak yang menguji Perpres 64/2020 itu ke MA.
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Agung tidak akan mencampuri tentang rencana pemerintah untuk menaikkan iuran BPJS Kesehatan yang akan diterapkan per 1 Juli mendatang. Sebab, kebijakan tersebut sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah.
Juru bicara Mahkamah Agung (MA), Andi Samsan Nganro, Kamis (14/5/2020) mengatakan, pihaknya memercayai bahwa kebijakan menaikkan iuran BPJS Kesehatan tersebut tentunya dilakukan dengan mempertimbangkan semua aspek, termasuk putusan MA sebelumnya.
”Jika iuran BPJS harus dinaikkan untuk kesinambungannya, pemerintah pasti mempertimbangkan isi putusan MA yang membatalkan Perpres (Peraturan Presiden) Nomor 75 Tahun 2019 yang lalu,” kata Andi.
Jika iuran BPJS harus dinaikkan untuk kesinambungannya, pemerintah pasti mempertimbangkan isi putusan MA yang membatalkan Perpres (Peraturan Presiden) Nomor 75 Tahun 2019 yang lalu.
Pada 27 Februari 2020 lalu, MA memutuskan membatalkan ketentuan yang mengatur kenaikan iuran BPJS Kesehatan (Perpres No 75/2019). Ada tiga alasan MA yang menjadi pertimbangan saat memutuskan perkara tersebut, yaitu pelayanan BPJS Kesehatan dinilai belum optimal dan kenaikan iuran juga dinilai tak tepat di tengah kondisi melemahnya ekonomi masyarakat. Selain itu, MA juga meminta BPJS Kesehatan menyelesaikan persoalan ego sektoral dengan instansi pemerintah lain.
Meski demikian, pemerintah memutuskan untuk menaikkan kembali iuran peserta JKN-KIS yang ditetapkan melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Dalam Pasal 34 perpres yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 5 Mei 2020 itu disebutkan, iuran JKN-KIS bagi peserta kelas satu naik dari Rp 80.000 jadi Rp 150.000 per bulan. Iuran peserta kelas dua naik dari Rp 51.000 menjadi Rp 100.000 per bulan. Ketentuan ini berlaku mulai 1 Juli 2020.
Sementara iuran peserta kelas tiga segmen peserta pekerja bukan penerima upah (PBPU) dan peserta bukan pekerja (BP) menjadi Rp 42.000 per bulan. Namun, pada 2020, para peserta JKN-KIS kelas tiga tetap membayar iuran Rp 25.500 per bulan, sama seperti semula. Kekurangan iuran Rp 16.500 ditanggung pemerintah pusat sebagai bantuan kepada peserta PBPU dan BP (Kompas, 14/5/2020).
Baca juga: Kenaikan Iuran Bukan Solusi Atasi Sengkarut BPJS Kesehatan
Menurut Andi, MA tak akan mencampuri persoalan tersebut. Kewenangan MA hanyalah mengadili perkara permohonan hak uji materiil terhadap peraturan yang kedudukannya di bawah undang-undang. Itu pun apabila ada pihak yang berkeberatan bertindak sebagai pemohon yang mengajukan uji materi ke MA.
Ada pembangkangan terhadap keputusan pengadilan. Sebab, perpres baru ini terbitnya selisih waktunya hanya sebentar dari putusan MA sebelumnya. Putusan lembaga peradilan tertinggi tidak dianggap dan diabaikan.
Peneliti Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Andi Muttaqin mengatakan, putusan MA adalah putusan lembaga peradilan tertinggi di Indonesia. Dalam memutuskan perkara, MA pastinya sudah mempertimbangkan berbagai alasan. Ketika putusan itu diterabas, meski dengan terbitnya perpres baru, artinya ada pembangkangan terhadap putusan pengadilan. Seharusnya, jika tarif BPJS kesehatan harus dinaikkan, pemerintah lebih dulu membuat kajian terbaru. Selain itu, putusan dan pertimbangan MA juga harus dijadikan pertimbangan dalam pengambilan keputusan.
”Ada pembangkangan terhadap keputusan pengadilan. Sebab, perpres baru ini terbitnya selisih waktunya hanya sebentar dari putusan MA sebelumnya. Putusan lembaga peradilan tertinggi tidak dianggap dan diabaikan,” kata Andi Muttaqin.
Sementara Lokataru Foundation dan Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) mengecam langkah pemerintah yang kembali menaikkan besaran iuran BPJS Kesehatan.
”Kami menilai pemerintah seolah hendak mempermainkan warga yang menolak secara menyeluruh kenaikan iuran BPJS Kesehatan sejak awal,” kata Haris Azhar dari Lokataru Foundation, Rabu (13/5).
Ia mengatakan, sejak wacana kenaikan iuran digulirkan hingga diberlakukannya melalui Perpres 75 Tahun 2019 pada Januari silam, gelombang ketidaksetujuan warga telah diungkapkan melalui aksi 792.854 orang yang memilih turun kelas. Aksi turun kelas tersebut jelas menjabarkan bahwa warga kesulitan menjangkau besaran iuran yang baru secara finansial. Pemerintah dinilai tidak memiliki sensitivitas dan kemampuan untuk membaca gelombang protes tersebut dan tetap memilih menaikkan iuran.
Seharusnya, pemerintah tetap teguh berpegang pada prinsip pedoman hak atas kesehatan. Salah satunya, prinsip aksesibilitas keuangan yang memastikan layanan kesehatan harus terjangkau secara biaya oleh semua warga.
Bagi KPCDI, sebagai pihak yang sebelumnya menggugat Perpres 75 Tahun 2019 ke MA, keputusan pemerintah menaikkan kembali besaran iuran khususnya kelas III PBPU/BP sangat mengecewakan. Pasalnya, di tengah pandemi COVID-19, gelombang PHK juga sedang marak terjadi. Hal tersebut mengancam keselamatan pasien penyakit kronis, seperti penderita gagal ginjal yang harus tetap mengakses layanan kesehatan (hemodialisis/cuci darah) demi kelanjutan hidup. Dengan kembali dinaikkan, artinya pembatalan kenaikan iuran hanya bertahan selama tiga bulan, yakni April, Mei, dan Juni.
Keputusan pemerintah menaikkan kembali besaran iuran khususnya kelas III PBPU/BP sangat mengecewakan. Pasalnya, di tengah pandemi Covid-19, gelombang PHK juga sedang marak terjadi. Hal tersebut mengancam keselamatan pasien penyakit kronis seperti penderita gagal ginjal yang harus tetap mengakses layanan kesehatan (hemodialisis/cuci darah) demi kelanjutan hidup.
Lokataru Foundation menilai, pemerintah dinilai tidak memiliki komitmen yang kuat untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak atas jaminan kesehatan warga. Sejak awal Lokataru menilai bahwa kebijakan menaikkan iuran untuk menutup lubang defisit BPJS Kesehatan tidak dapat menjamin bahwa di kemudian hari BPJS Kesehatan tidak akan mengalami defisit lagi. Bagi Lokataru Foundation, tata kelola BPJS Kesehatan semerawut termasuk data kepesertaan, serta absennya tindakan tegas terhadap ribuan badan usaha yang tidak membayar dan menjamin tenaga kerjanya. Selain itu, ada persoalan terkait minimnya pengawasan dan pemberian sanksi bagi tindakan kecurangan (fraud) yang dilakukan oknum pasien, penyedia pelayanan kesehatan, dan juga BPJS Kesehatan sendiri.
Baca juga: Parlemen Ingatkan Pemerintah, Kenaikan Iuran BPJS-Kesehatan Susahkan Rakyat