Meskipun terjadi pandemi COVID-19, pemerintah tak hentikan rencana pemindahan ibu kota negara. Rancangan Undang-Undang tentang Ibu Kota Negara terus disempurnakan dan lelang penyusunan rencana induk juga dilanjutkan.
Oleh
Nina Susilo
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Pandemi COVID-19 tidak menghentikan rencana pemindahan ibu kota negara. Rancangan Undang-Undang tentang Ibu Kota Negara terus disempurnakan dan lelang penyusunan rencana induk juga dilanjutkan. Namun, di masa pandemi COVID-19, pemerintah diharapkan lebih mengutamakan penanggulangan COVID-19 berikut dampak ekonomi dan sosial yang mengikutinya.
Saat ini, draft peraturan perundangan tentang Ibu Kota Negara masih terus disiapkan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, tetapi penyampaian kepada DPR masih menunggu saat yang tepat. “Draft sudah disampaikan Menteri (PPN) kepada Presiden,” kata Staf Ahli Menteri PPN/Bappenas Diani Sadiawati kepada Harian Kompas, Jumat (8/5/2020) petang.
Lelang penyusunan rencana induk IKN juga dilanjutkan. Lelang jasa senilai Rp 85 miliar ini masih diproses melalui situs Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. Jadwal lelang dengan nama penyusunan rencana induk dan strategi pengembangan Ibu Kota Negara (Master plan IKN) di situs LKPP tampak berubah beberapa kali. Dalam perubahan terakhir, penandatanganan kontrak ditarget terlaksana 11-14 Mei 2020. Adapun saat ini, tahapan klarifikasi teknis dan negosiasi baru berlalu.
“Draft sudah disampaikan Menteri (PPN) kepada Presiden”
Presiden Joko Widodo sebelumnya berencana mewujudkan ibukota baru di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Rencana pembangunan diharapkan dimulai pada awal 2021 mendatang sehingga 2024 ibukota negara baru dapat dipindah dari Jakarta ke Penajam Paser Utara.
Kendati demikian, penataan wilayah metropolitan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur tetap dilakukan. Presiden sebelumnya menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 60 tahun 2020 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur pada 16 April lalu. Dalam Perpres ini, Jakarta masih disebut sebagai Ibu Kota.
Sekretaris Kabinet Pramono Anung menjelaskan Perpres tersebut murni mengatur tata ruang wilayah Jabodetabekpunjur yang sesuai Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yang harus ditinjau setiap lima tahun. Namun, Perpres ini tidak menyinggung apakah lima tahun ke depan, Jakarta masih tetap ibu kota negara atau bukan.
“Kalau dalam Perpres, pengaturan pola ruang DKI Jakarta masih mengakomodasi fungsinya sebagai Ibu Kota Negara, karena memang secara hukum DKI Jakarta sampai saat ini masih menjadi Ibu Kota Negara dan pusat pemerintahan sehingga pengaturan tata ruangnya harus mengakomodasi atau memelihara kondisi fungsi eksisting DKI Jakarta sebagai ibu kota negara dan pusat pemerintahan tersebut,” tutur Pramono.
“Hampir semua negara mengalihkan anggaran untuk mengatasi penyebaran COVID-19 dan menangani dampak sosial ekonominya. Untuk itu, semestinya pemerintah mengesampingkan program-program yang tidak mendesak atau proyek-proyek mercusuar dan mengalihkannya untuk menangani COVID-19 baik dana untuk peralatan, rumah sakit dan sebagainya, mengatasi dampak sosial, serta pemulihan ekonomi”
Diani menambahkan, dalam draft RUU IKN, disiapkan pula proses transisi status DKI Jakarta. Saat RUU IKN diundangkan sekalipun, misalnya, status Jakarta masih tetap Daerah Khusus Ibu Kota atau tetap Ibu Kota Negara. Baru setelah IKN di lokasi baru selesai dibangun, barulah status Ibu Kota Negara beralih ke tempat baru. Hal ini akan menjaga keberlanjutan Ibu Kota Negara. Perpres 60/2020 akan menyesuaikan dengan UU IKN tersebut.
Secara terpisah, Profesor Riset LIPI Prof Syarif Hidayat menilai, saat Indonesia dilanda pandemi, secara logika semestinya pemerintah lebih konsen menangani wabah COVID-19 serta mengatasi dampak sosial ekonominya. Sebab, penangggulangan COVID-19 secara medis, mengatasi dampak sosial dan ekonomi memerlukan anggaran sangat besar.
“Hampir semua negara mengalihkan anggaran untuk mengatasi penyebaran COVID-19 dan menangani dampak sosial ekonominya. Untuk itu, semestinya pemerintah mengesampingkan program-program yang tidak mendesak atau proyek-proyek mercusuar dan mengalihkannya untuk menangani COVID-19 baik dana untuk peralatan, rumah sakit dan sebagainya, mengatasi dampak sosial, serta pemulihan ekonomi,” tutur Syarif, Sabtu (9/5/2020) sore.