Program deradikalisasi terhadap para narapidana kasus terorisme sebaiknya mencakup masalah agama dan non-agama.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rencana Badan Nasional Penanggulangan Terorisme untuk bekerja sama dengan ulama dalam proses deradikalisasi narapidana terorisme ataupun edukasi bagi masyarakat dinilai positif. Meski demikian, program deradikalisasi diharapkan lebih holistik, tidak melulu pendekatan keagamaan.
Country Director International Association for Counter Terrorism and Security Professionals Center for Security Studies (IACSP) Indonesia Rakyan Adi Brata ketika dihubungi, Kamis (7/5/2020), mengatakan, kerja sama dengan ulama dapat dilakukan dalam proses pencegahan ataupun penanganan terorisme.
”Masalahnya, konteks deradikalisasi ini hanya bisa efektif jika pelaksanaannya dilakukan secara terus-menerus serta dilakukan one on one dibanding satu orang menangani banyak orang. Jadi kontinuitas menjadi kunci,” kata Rakyan.
Sebelumnya, seusai pelantikannya menjadi Kepala BNPT, Inspektur Jenderal Boy Rafli Amar mengatakan akan bersinergi dengan semua elemen, baik unsur pemerintah maupun masyarakat, untuk mengantisipasi bahaya terorisme. Deradikalisasi narapidana terorisme akan terus dilakukan, termasuk bekerja sama dengan para ulama untuk memberikan pencerahan kepada masyarakat.
Menurut Rakyan, deradikalisasi mesti dilakukan, baik melalui pendekatan agama maupun non-agama. Untuk pendekatan agama, dapat dilakukan oleh mereka yang memiliki latar belakang keagamaan yang baik. Namun, untuk deradikalisasi narapidana terorisme, akan efektif jika program tersebut bersifat wajib diikuti, bukan pilihan (optional).
Untuk itu, BNPT dapat fokus pada program deradikalisasi bagi narapidana terorisme non-ideolog, seperti mantan kombatan atau orang-orang yang berfungsi sebagai pendukung. Selain jumlahnya banyak, yakni sekitar 90 persen dari total narapidana dan tahanan terorisme yang jumlahnya mencapai 600 orang, mereka dinilai akan lebih mudah diluruskan pemahaman agamanya.
Adapun sekitar 10 persen lainnya adalah narapidana terorisme yang termasuk dalam tingkat ideolog. Proses deradikalisasi terhadap mereka dinilai jauh lebih sulit dibandingkan kelompok non-ideolog.
Demikian pula ketika bebas dari lembaga pemasyarakatan, BNPT dapat bekerja sama dengan ulama dari pesantren setempat untuk merangkul mereka. Dengan demikian, selain lebih mudah dipantau, program radikalisasi juga terus berlanjut.
”Selama ini yang melakukan itu adalah lembaga swadaya masyarakat. Kalau pemerintah bisa menerapkan ini di semua provinsi, akan bagus karena pendekatan lunak itu kebanyakan sukses dilakukan di Indonesia. Dengan demikian, mereka tidak kembali lagi ke kelompoknya,” tutur Rakyan.
Secara terpisah, pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sebelas Maret, Aris Arif Mundayat, berpandangan, deradikalisasi melalui pendekatan agama dengan melibatkan ulama memang diperlukan. Namun, hal itu dinilai belum cukup.
Sebab, menurut Aris, para narapidana terorisme tersebut sebenarnya merupakan orang-orang yang terpinggirkan tidak hanya secara agama, tetapi sosial, politik, dan budaya. Dari penelitiannya, pelaku teror pada awalnya adalah masyarakat biasa yang bergaul dengan banyak orang. Namun, mereka kemudian tercerabut dari masyarakat sehingga hanya bergaul dengan kelompoknya.
”Deradikalisasi berarti mengajak kembali mereka kembali ke dunia yang multikultural dan plural. Kalau pendekatannya hanya agama, itu hanya sebagian,” kata Aris.
Oleh karena itu, pelibatan para ulama tidak hanya untuk memberikan pemahaman agama, tetapi juga untuk memberikan kenyataan dunia yang multikultural tersebut. Mereka harus dibawa kembali untuk berinteraksi dengan banyak orang.