Setelah meninggal Kamis kemarin, Kakak dari aktivis Soe Hoek Gie, yang sempat dirawat itu dimakamkan di Taman Makam Bancaan Salatiga. Ayah dua anak dan empat cucu itu dikenal sebagai cendekiawan-aktivis di zamannya.
Oleh
LAS, DIT, BOW
·5 menit baca
Setelah lama menderita sindrom parkinson, sosiolog, cendekiawan, dan aktivis Arief Budiman, Kamis (23/4/2020), meninggal di RS Ken Saras, Semarang, Jawa Tengah, dalam usia 79 tahun. Arief, yang juga aktivis 1966, mengajar di Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, dan pensiunan dari Guru Besar University of Melbourne, Australia, dikenal sebagai sosok yang kritis sejak Orde Lama hingga era Reformasi.
Kakak dari aktivis Soe Hoek Gie, yang sempat dirawat hampir dua minggu, itu kini dimakamkan di Taman Makam Bancaan Salatiga. Ia meninggalkan dua anak dan empat cucu. Istri Arief, Leila Ch Budiman, mengatakan, almarhum sudah lemas sebelum ke rumah sakit. ”Sebetulnya biasanya kaku dan bergetar, tetapi ini lemas. Kata salah satu cucunya yang dokter, itu gejala stroke,” kata Leila.
Arief, di mata Leila, adalah sosok yang sederhana dan jujur. ”Ia selalu mencari the truth,” kata Leila, mengenang.
Direktur Institut Asia dan Profesor Studi Asia Universitas Melbourne, Vedi Hadiz, menyatakan, Arief sosok yang betul- betul unik dalam sejarah Indonesia. ”Ia menempuh jalan sunyi. Pilihan hidupnya makin relevan, apalagi sepuluh tahun terakhir ini, banyak intelektual masuk jadi ’pasukan bayaran’ pemenangan pertarungan politik nasional,” kata Vedi.
Sahabat Arief, Yosep ”Stanley” Adi Prasetyo, mantan Ketua Dewan Pers, mengenang Arief yang semasa hidupnya tak pernah kendur mengkritik persoalan bangsa. ”Beliau meletakkan satu dasar pemikiran strukturalisme, baik sosiologi, sastra, maupun kritik sosial,” ujar Stanley.
Sosok Intelektual Kritis
Pada 1997, Arief mengajar di University of Melbourne dan bermukim di sana selama 14 tahun sebelum kembali ke Salatiga.
”Ia menempuh jalan sunyi. Pilihan hidupnya makin relevan, apalagi sepuluh tahun terakhir ini, banyak intelektual masuk jadi ’pasukan bayaran’ pemenangan pertarungan politik nasional”
Sejak sakit dan menderita sindrom parkinson, Arief kembali ke Salatiga. Ia lebih banyak beraktivitas di rumah.
Leila menuturkan, Arief juga sosok yang gigih, termasuk di saat kondisinya yang terbatas untuk beraktivitas.
Beberapa waktu terakhir, sebelum meninggal, Arief senang menyanyikan lagu nasional. "Pada hari Pak Arief masuk RS, paginya, ia nyanyikan Indonesia Tanah Air Beta (Indonesia Pusaka) di rumah. Di IGD, saat tensi tinggi, juga menyanyikan Indonesia Raya. Usai nyanyi, tensinya turun," ujar Leila, psikolog yang lama mengisi rubrik konsultasi psikologi di Harian Kompas.
Wawan Surawan (32), yang merawat Arief dalam beberapa tahun terakhir, menuturkan, sejak kembali dari Australia, aktivitas Arief hanya di sekitar rumah. Kalau pun keluar rumah, hanya berkeliling di dalam kota atau sesekali ke tempat tinggal putrinya di Yogyakarta.
"Sakit utamanya parkinson jenis kaku. Kaki sebelah kirinya sangat kaki. Juga tangan, sehingga menulis juga sudah tidak. Pak Arief sudah tidak mau mikir yang berat-berat. Namun, terkadang suka masih bercerita," lanjut Wawan.
Dalam catatan Kompas, pada 2012, Arief dan Leila terkadang tinggal di Australia, terkadang di Salatiga, sebelum kemudian seterusnya tinggal di kota sejuk tersebut.
Arief merupakan salah satu sosok yang dekat dengan Petrus Kanisius Ojong, pendiri Harian Kompas. Pada 9 Juli 1980, dalam mengenang 40 hari meninggalnya P.K. Ojong, Arief menulis di Kompas dengan judul "In Memoriam: P.K. Ojong".
Terakhir kali Arief menulis di Rubrik Opini Kompas yakni pada 19 Maret 2005, dengan judul "Soal Pencekalan terhadap Aspinall". Pada tulisan itu, ia mempertanyakan pencekalan Dr Edward Aspinall, sarjana ilmu sosial Australia yang ahli tentang Indonesia, saat masuk ke Tanah Air.
Rektor UKSW Neil Semuel Rupidara, dalam keterangannya, menuturkan, Arief bukan hanya bagian dari sejarah UKSW, tetapi juga banyak memberi kontribusi. Salah satunya dalam pendirian program Pasca Sarjana Studi Pembagunan.
Arief, lanjut Neil, ialah sosok pribadi yang rendah hati dan mau berbagi dengan orang lain. Selain itu, kajiannya tentang Indonesia serta pemikiran-pemikiran beliau diterima secara luas, di dalam dan di luar negeri.
Baca Juga: Rumah Gerakan 98: Pengalaman Buruk Saat Orde Baru Jangan Terulang
“Menjadi seorang intelektual kritis seperti pak Arief pada zaman itu bukan hal mudah karena saat itu tak cukup longgar bagi intelektual kritis untuk mengekpresikan pikirannya secara terbuka. Namun, beliau cukup konsisten menyampaikan pandangan-pandangannya," ujar Neil memaparkan.
Berkawan dengan konflik
Sekitar 10 tahun yang lalu, Kompas menemui aktivis 1966, Arief, di rumahnya, Kampoeng Percik Salatiga, Jawa Tengah. Ia belum lama kembali Indonesia. Meski telah lama tak berada di Indonesia, terasa jiwa aktivisnya masih terus menggebu sehingga ia memutuskan pulang.
"Kalau menonton televisi, saya suka mikir.... Apalagi kalau denger pidato pejabat negara, (saya) suka emosional. Kalau di Australia, perdana menterinya pidato, saya enggak terlalu mikir," ucap Arief, dengan tangan kiri yang kerap gemetar, saat itu.
Sahabat Arief, Yosep ”Stanley” Adi Prasetyo mengenang sosok Arief alias Soe Hok Djin yang memang semasa hidup tak pernah kendor mengkritik persoalan bangsa, termasuk kritik-kritik terhadap situasi-situasi yang ada di lingkungan dia skala kecil di Salatiga.
Kekecewaan terhadap Orde Baru itu berlanjut saat Arief menjadi profesor emeritus di University of Melbourne. Dia membuat penelitian dan menulis buku di dalam bahasa Indonesia berjudul "Warisan Orde Baru" yang terbit pada 2005.
Melalui buku itu, Arief mengungkapkan, sistem demokrasi Indonesia yang dikooptasi oleh kekuasaan. Watak yang diwariskan kekuasaan selama 32 tahun lalu sudah terlalu mengakar. Partai politik yang muncul pasca jatuhnya Presiden Soeharto dinilainya adalah oligarki yang meniru sistem di Orde Baru.
"Ini warisan yang akan sulit dipulihkan, dan menjadi tumpukan atau gunungan masalah untuk pemerintah ke depan. Dan itu terbukti," ucap Stanley, menceritakan perbincangannya dengan Arie waktu itu.
Direktur Percik Salatiga, Pradjarta Dirdjosanjoto, yang dihubungi pun mengenang sosok Arief yang tak jauh berbeda dengan cerita Stanley. Dia seorang yang kritis dan lugas dalam pemikiran.
Suatu ketika Pradjarta pernah bertanya kepada Arief, "Bagaimana kamu bisa hidup dengan tenang dengan melawan militer?"
"Dia tak semata-mata menggolongkan yang kontra harus dimusuhi, tetapi yang kontra itu harus diyakinkan (pandangannya)"
Arief menjawab enteng bahwa yang dia lawan adalah ideologi, bukan pribadinya. "Jadi, saya tak pernah memikirkan sebagai risiko," ucapnya enteng.
Itu tercermin dari perjalanan hidup Arief. Menurut cerita Pradjarta, setiap ada konflik, Arief tak pernah memusuhi orang-orang yang kontra dengan pandangannya. "Dia tak semata-mata menggolongkan yang kontra harus dimusuhi, tetapi yang kontra itu harus diyakinkan (pandangannya)," tutur Pradjarta.
Sosok itulah yang dibutuhkan saat ini. Pradjarta menyampaikan, sekarang semua hal bisa dipolitisasi dan meletakkan orang pada satu pihak yang kontra sehingga mengancam persatuan. Ketika kontra, orang itu pasti berada di posisi yang salah. "Jadi, saat ini kita kesulitan untuk mencari orang yang bisa menjadi jembatan, yang bersih dari kepentingan. Saya melihat Arief berusaha untuk berdiri pada kakinya sendiri. Artinya, dia berdiri atas pendapatnya. Kalau dia merasa salah, dia pun mengakui saja. Itulah hidup tanpa beban," ucap Pradjarta lagi.
Kini, Arief telah pergi di tengah kegelisahan warisan Orde Baru yang masih mengakar hingga saat ini. Semoga masih tersisa suara-suara yang berani mengawal negeri seperti sosok Arief agar sesuatu yang buruk tak senantiasa diwariskan berulang-ulang.