Urgensi Kebijakan Prorakyat di Masa Krisis
Pandemi Covid-19 telah melahirkan krisis kesehatan, sosial, dan ekonomi bagi sebagian besar rakyat negeri. Di tengah situasi ini, keputusan politik yang tepat dan cepat serta berorientasi pada rakyat dinanti.
Keputusan politik bisa menyelamatkan rakyat. Tapi keputusan politik juga bisa sebaliknya, ”membunuh” rakyat. Meminjam idiom lagu berjudul ”Madu dan Racun” yang dirilis Bill & Brod, keputusan politik bisa menjadi madu tetapi juga bisa menjadi racun.
”Madu di tangan kananmu. Racun di tangan kirimu. Aku tak tahu, mana yang akan kau berikan padaku.” Demikian potongan refrain lagu yang dirilis pada tahun 1985 tersebut.
Keputusan politik, pusat maupun daerah, yang gagal atau menjadi racun bagi rakyat acapkali disebabkan adanya kepentingan terselubung (vested interest) yang menunggangi keputusan politik tersebut. Namun bukan itu saja. Ketidakmampuan politisi dan birokrat juga menjadi faktor dalam kegagalan keputusan politik.
Mark Levin, pengacara yang pernah bekerja untuk Presiden Amerika Serikat (AS) ke-40 Ronald Reagen, dalam bukunya yang berjudul ”Kebebasan dan Tirani”, lebih-kurang menyatakan, politisi dan birokrat membuat keputusan politik atas dasar miskinnya informasi, bukan dengan kedalaman pemahaman akan dinamika dan kebutuhan pasar atau masyarakat. Berbagai kesalahan kalkulasi menunjukkan bahwa mereka tidak dan tidak mampu memiliki informasi, pengetahuan, metode, dan disiplin untuk mengelola ekonomi.
Krisis Covid-19 ini menuntut politisi dan birokrat untuk menjawab kebutuhan rakyat dengan keputusan politik yang tepat dan cepat. Tak ada yang menyangkal dahsyatnya krisis Covid 19. Tak ada satu negara pun yang siap. Namun justru dalam situasi krisis inilah, politisi dan birokrat benar-benar diuji, apakah keputusan politiknya menjadi madu atau racun bagi rakyat.
Krisis Covid-19 ini menuntut politisi dan birokrat untuk menjawab kebutuhan rakyat dengan keputusan politik yang tepat dan cepat. Tak ada yang menyangkal dahsyatnya krisis Covid 19. Tak ada satu negara pun yang siap. Namun justru dalam situasi krisis inilah, politisi dan birokrat benar-benar diuji, apakah keputusan politiknya menjadi madu atau racun bagi rakyat.
Di banyak perkara, keputusan politik tidak selalu rumit dan harus melalui administrasi berbelit. Kenyataannya, banyak keputusan politik yang sederhana sifatnya dan bisa cepat dilakukan. Toh ada saja keputusan yang mestinya sederhana dan cepat dilakukan tetapi faktanya berlangsung lambat sehingga bisa ”membunuh” rakyat.
Contoh paling jelas adalah soal kebijakan iuran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Mahkamah Agung (MA) per 9 Maret telah memutuskan tarif iuran JKN kembali ke aturan lama yang nilainya lebih rendah.
Namun gara-gara peraturan presiden (perpres) yang mestinya menindaklanjuti putusan MA tersebut belum terbit, peserta JKN pada April ini masih diwajibkan membayar iuran dengan tarif baru yang nilainya dua kali lipat tarif lama. Jatuh tempo pembayaran iuran bulanan adalah setiap tanggal 10.
Kepala Humas BPJS Kesehatan M Iqbal Anas Ma’ruf di Jakarta, Senin (20/04/2020), menyatakan, perpres tindak lanjut putusan MA sampai saat ini belum terbit. Untuk itu, regulasi masih menggunakan aturan sebelumnya.
”BPJS Kesehatan menunggu terbitnya perpres pengganti. Saat ini sedang berproses,” kata Iqbal.
Bagi kelas menengah dan atas, barangkali tidak ada persoalan dengan situasi ini. Tapi bagi peserta JKN dari kalangan masyarakat bawah di luar penerima bantuan iuran dari pemerintah, kelambatan keputusan politik tersebut membuat penderitaan mereka berlipat. Mereka yang rata-rata adalah pekerja di sektor informal itu sudah minim bahkan nihil penghasilan sejak merebaknya krisis Covid-19 di pertengahan Maret lalu. Alhasil, untuk membeli kebutuhan pokok sehari-hari saja, mereka sudah kesulitan. Apalagi untuk membayar iuran JKN.
Efriyanto (43), sopir ojek daring di Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, mengaku tak mampu lagi membayar iuran JKN. Sebab, penghasilannya benar-benar nihil karena penumpang ojek sudah turun drastis sejak merebaknya Covid-19 mulai pertengahan Maret. ”Sehari bisa hanya satu penumpang. Saya sudah nggak ada pemasukan lagi. Harus pinjam ke sana-sini dulu biar tidak kenda denda,” kata Efriyanto.
Dulu sebelum pemerintah menaikkan tarif iuran JKN, ayah dua anak itu membayar Rp 320.000 per bulan untuk keluarganya yang seluruhnya berjumlah empat orang. Masing-masing iurannya Rp 80.000 per buan. Sejak tarif baru diterapkan per 1 Januari 2020, Efriyanto membayar Rp 640.000 per bulan untuk keluarganya atau Rp 160.000 per orang per bulan.
Presiden Joko Widodo para rapat terbatas melalui telekonferensi dari Istana Kepresidenan Bogor (24/03), telah menyatakan, perlu landasan hukum baru setelah MA membatalkan kenaikan iuran JKN. Untuk itu ia menekankan pentingnya penyelesaian dasar hukum baru yang dibutuhkan untuk mengatur pembiayaan. Toh sampai sekarang aturan yang dimaksud belum juga terbit.
Problem di lapangan
Pada kasus lain, krisis Covid-19 juga menunjukkan bahwa keputusan politik di tingkat pusat harus ditransmisikan secara komprehensif dan cepat ke tingkat bawah. Ini misalnya relevan dengan keputusan politik untuk menjaga daya beli masyarakat.
Setelah menggelar rapat beberapa kali pada pertengahan Maret, pemerintah bersama Otoritas Jasa Keuangan, Bank Indonesia, dan Lembaga Penjamin Simpanan, sepakat meluncurkan program restrukturisasi kredit Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dengan nilai pinjaman maksimal Rp 10 miliar, subsidi bunga, dan pemberiaan tambahan kredit modal kerja. Ini berlaku untuk pembiayaan dari bank maupun industri keuangan nonbank.
Keputusan itu pertama kali diumumkan Presiden pada keterangan pers di Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (24/03). Namun dua minggu setelah pengumuman, informasi di bawah masih saja simpang siur. Kepada nasabah yang bertanya, seorang petugas industri keuangan nonbank melalui aplikasi layanan pesan memberikan pernyataan keras yang tidak sejalan dengan keputusan politik pusat.
”Ga ada urusan Pak. Memang dia (Presiden) mau nalangin. Gini ya Pak. Cicilan Bapak udah jatuh tempo. Kapan kepastian bapak akan bayar?” Demikian bunyi pesannya.
Ga ada urusan Pak. Memang dia (Presiden) mau nalangin. Gini ya Pak. Cicilan Bapak udah jatuh tempo. Kapan kepastian bapak akan bayar?
Bahkan setelah lebih dari setengah bulan sejak Presiden mengumumkan kebijakan restrukturisasi kredit UMKM, baru sebagian bank dan industri keuangan nonbank yang mengeksekusinya di tingkat bawah. Oleh sebab itu, Presiden dalam rapat terbatas di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (15/04), menekankan percepatan pelaksanaan program.
”Harus segera dilaksanakan. Jangan menunggu sampai mereka tutup baru kita bergerak. Jangan sampai nanti terlambat, jangan sampai terlambat dan menimbulkan gejolak di masyarakat. Saya minta semua kebutuhan dihitung anggarannya sehingga kita bisa memutuskan,” kata Presiden.
Pada kasus lain lagi, krisis Covid-19 juga menunjukkan bahwa penting sekali bagi penyelenggara negara mengerjakan dan membereskan tugas-tugas dasar penyelenggaraan negara di hari-hari biasa. Pada situasi normal, barangkali urgensinya tidak tampak mencolok meskipun itu tidak mengurangi kadar pentingnya pekerjaan yang mereka lakukan. Namun saat terjadi krisis, hasil dari tugas-tugas dasar tersebut menjadi penentu kualitas keputusan politik berikut eksekusinya.
Baca juga: Kesampingkan Keuntungan Bisnis untuk Semangat Kemanusiaan
Tugas dasar penyelenggaraan negara yang dimaksud misalnya adalah pendataan berikut pemutakhiran daftar penduduk miskin, penduduk rentan miskin, dan para pekerja informal. Dalam gambar yang lebih besar lagi, ini adalah menyangkut data kependudukan Indonesia secara keseluruhan.
Pemerintah pusat memiliki data 40 persen penduduk termiskin di seluruh negeri, termasuk di dalamnya adalah data nama dan alamat. Untuk data penduduk miskin, katakanlah sebagian besar data akurat.
Namun begitu menyangkut data penduduk rentan miskin, kalau pun datanya tersedia, validitas dan kemutakhirannya menjadi tanda tanya besar. Padahal sejumlah program jaring pengaman sosial untuk mengatasi dampak sosial-ekonomi Covid 19 ditujukan untuk kelompok ini dengan anggaran mencapai puluhan triliun rupiah.
Selama ini, pemutakhiran data penduduk miskin dilakukan setiap tiga tahun sekali. Petugas mendata dari rumah ke rumah. Pada 2017, Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) pernah menginisiasi pemutakhiran data penduduk miskin yang bisa dilakukan setiap tahun dengan Mekanisme Pemutakhiran Mandiri (MPM) Data Terpadu Program Penanganan Fakir Miskin.
Melalui program itu, penduduk yang merasa miskin tetapi belum terdaftar bisa proaktif mendaftarkan diri ke desa atau kelurahannya masing-masing. Selanjutnya musyawarah desa atau kelurahan akan memutuskan dan meneruskannya secara berjenjang sampai ke pusat.
Baca juga: Relaksasi Kredit Tekfin Pertimbangkan Peminjam dan Pemberi Pinjaman
Pada 2017, proyek percontohan MPM digelar di 12 daerah. Namun hingga sekarang model itu tidak kunjung diterapkan secara nasional. Jikalau ada evaluasi dan koreksi, toh hingga sekarang belum juga ada model pemutakhiran data penduduk miskin yang dilaksanakan setiap tahun.
”Belum sempat dilakukan secara nasional. Sedang disusun panduannya keburu Covid 19,” kata Sekretaris Eksekutif TNP2k Bambang Widianto di Jakarta, Senin (20/04/2020).
Tulisan ini sama sekali tidak pernah mengasumsikan politisi dan birokrat harus sempurna sehingga menghasilkan keputusan politik yang sempurna pula. Apalagi persoalan yang ditimbulkan Covid 19 ini masif dan luas. Bagaimana pun, banyak politisi dan birokrat yang telah melakukan ikhtiar dengan berbagai keterbatasan dalam situasi krisis ini.
Akhirnya, semua berharap bangsa Indonesia dan bangsa-bangsa lain di dunia segera keluar dari krisis Covid 19. Di Tanah Air, krisis diperkirakan baru mulai landai pada pertengahan atau akhir Juni. Masih ada waktu untuk terus memperbaiki diri.
Dan jangan lupa, ketika krisis telah berakhir, ikhtiar memperbaiki berbagai kelemahan bangsa ini mestinya bukannya berhenti tetapi justru harus semakin intensif dilakukan. Presiden AS ke-35 John F Kennedy pada pidato di Kongres, 11 Januari 1962, mengatakan, ”saat untuk memperbaiki atap rumah adalah ketika matahari sedang bersinar terang”.