Pengawasan terhadap Napi yang Dikeluarkan Perlu Diperketat
Ditjen Pemasyarakatan telah bekerja sama dengan aparat kepolisian untuk mengawasi narapidana yang dikeluarkan dari lapas atau rutan untuk mencegah penyebaran pandemi Covid-19.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengeluaran narapidana yang bertujuan untuk menghindari penyebaran Covid-19 di lingkungan lembaga pemasyarakatan/rumah tahanan negara mempunyai tantangan baru karena beberapa di antara mereka didapati melakukan kejahatan lagi. Aparat penegak hukum, pemerintah, dan masyarakat pun diharapkan dapat bekerja sama untuk mengawasi mereka.
Hingga Selasa (14/4/2020), sebanyak 36.708 napi telah dikeluarkan melalui program asimilasi dan integrasi. Adapun jumlah napi yang masih di lapas/rutan sebanyak 226.967 orang, sedangkan kapasitas yang ada hanya menampung 132.335 orang.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Nugroho, mengungkapkan, sebanyak 12 napi yang telah dikeluarkan melakukan kejahatan kembali.
”Sesuai dengan instruksi Menkumham, narapidana yang kembali melakukan tindak kejahatan setelah bebas akan diberi sanksi berat,” kata Nugroho dalam diskusi melalui telekonferensi bertajuk ”Pembebasan Napi dalam Pandemi: Residivisme dan Antisipasinya” di Jakarta, Selasa.
Sesuai dengan instruksi Menkumham, narapidana yang kembali melakukan tindak kejahatan setelah bebas akan diberi sanksi berat.
Sebelumnya, Nugroho mengatakan, hak asimilasi narapidana bisa dicabut jika mereka melanggar hukum. Laporan pelanggaran napi itu dapat berasal dari ketua rukun tetangga dan rukun warga (RT/RW), lurah, atau kepolisian setempat (Kompas, 6/4/2020).
Dalam diskusi yang diselenggarakan Australia Indonesia Partnership for Justice 2 dan The Asia Foundation ini, Nugroho menuturkan, untuk mengantisipasi terjadinya tindak kejahatan kembali oleh para napi yang telah dikeluarkan, peran pembimbing kemasyarakatan balai pemasyarakatan (bapas) dan aparat setempat pun diperkuat.
Peran aparat dibutuhkan karena jumlah pembimbing pemasyarakatan terbatas. Dengan keterbatasan itu, para napi tersebut hanya dipantau melalui panggilan video atau telepon.
Oleh karena itu, Nugroho berusaha memperkuat koordinasi dengan pemerintah daerah hingga ke tingkat desa untuk turut membantu mengawasi napi tersebut. Di sisi lain, Nugroho juga berharap masyarakat mau menerima dan mengawasi para napi selama di rumah. Selain itu, ia ingin masyarakat tidak memberikan stigmatisasi terhadap mereka dan muncul rasa takut yang berlebihan.
Direktur Hukum dan Regulasi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Prahesti Pandanwangi mengatakan, peran dari kepolisian, bapas, dan kelompok masyarakat (pokmas) harus dioptimalkan untuk mengawasi pelaksanaan asimilasi serta integrasi.
Kepolisian dapat berkoordinasi dengan Ditjen Pemasyarakatan mengenai persebaran narapidana yang dikeluarkan. Mereka dapat melakukan upaya preventif untuk mencegah terjadinya kejahatan lagi. Adapun pembimbing kemasyarakatan bapas dapat mengamati perubahan perilaku para napi tersebut sebelum dan selama menjalani pidana.
Pembimbing kemasyarakatan bapas dapat bekerja sama dengan pokmas untuk tahapan bimbingan lanjutan dalam rangka asimilasi dan reintegrasi sosial. Sementara itu, pokmas dapat menjadi sarana pembinaan bagi warga binaan pemasyarakatan untuk memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana. Karena itu, perlu ditekankan usaha pemulihan kembali pada keadaan semula bagi masyarakat dan bukan pembalasan.
Komisioner Ombudsman RI Ninik Rahayu menegaskan, pemerintah memiliki tanggung jawab besar untuk membina napi yang dikeluarkan dan tidak bisa mengalihkan tanggung jawab tersebut kepada masyarakat.
Pemerintah juga harus memberikan informasi yang cukup supaya napi tersebut tidak ditolak masyarakat. Di sisi lain, kepolisian juga harus melakukan pendampingan kepada para napi itu agar tidak melakukan kejahatan lagi.
Secara terpisah, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Raden Prabowo Argo Yuwono mengatakan, Polri telah berkoordinasi dengan bapas sebagai pengawas asimilasi. ”Kalau ada yang melakukan pidana, segera laporkan ke polisi,” kata Argo.
Direktur Pembinaan Narapidana dan Latihan Kerja Produksi Ditjen Pemasyarakatan Kemenkumham Yunaedi mengatakan, sesuai dengan peraturan dan prosedur pemberian asimilasi dan hak integrasi, pada 2020 telah dipetakan ada 40.329 warga binaan yang secara berangsur-angsur harus dikeluarkan. Karena itu, masyarakat diharapkan tidak perlu khawatir terhadap pengeluaran napi ini.
Sebagian besar napi yang dikeluarkan itu terkait dengan narkoba dengan hukuman di bawah lima tahun. Mereka tidak masuk dalam Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 yang mengatur pengetatan pemberian remisi dan asimilasi, serta pembebasan bersyarat bagi napi untuk pidana khusus, seperti koruptor, teroris, bandar narkoba, dan pelanggar HAM berat.
Kriminolog Leopold Sudaryono mengungkapkan, fenomena residivis merupakan hal yang umum terjadi di seluruh dunia. Ia pun mengkritisi wacana yang berkembang di tengah masyarakat melalui pesan berantai yang menyatakan bahwa akan ada gelombang pembunuhan dan pemerkosaan.
Fenomena residivis merupakan hal yang umum terjadi di seluruh dunia.
Leopold mengatakan, berdasarkan data Ditjen Pemasyarakatan, ada dua kejahatan yang sulit dihilangkan, yakni penyalahgunaan narkoba dan pencurian. Khusus untuk narkoba, kejahatan tersebut merupakan yang terbanyak di Indonesia. Hal itu terjadi karena mereka tidak memperoleh rehabilitasi di LP sehingga masih kecanduan.