Kepala Polri Jenderal (Pol) Idham Azis memerintahkan jajarannya untuk membuka blokade wilayah yang dilakukan secara sepihak. Perintah tersebut dilakukan agar distribusi bahan pokok tidak terganggu.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kepala Polri Jenderal (Pol) Idham Azis memerintahkan jajarannya untuk membuka blokade wilayah yang dilakukan secara sepihak. Perintah tersebut dilakukan agar distribusi bahan pokok tidak terganggu.
Melalui Surat Telegram Nomor ST/1148/IV/OPS.2./2020, bertanggal Kamis 9 April 2020, Kapolri memerintahkan jajarannya untuk menjamin tidak adanya blokade atau penutupan jalan oleh pihak mana pun. Hal itu dilakukan karena adanya blokade di beberapa daerah yang mengakibatkan terhambatnya distribusi bahan pokok dan kebutuhan masyarakat lainnya.
Untuk itu, Kapolri memerintahkan jajarannya untuk mengawal distribusi bahan pokok dan kebutuhan masyarakat lainnya.
”Melakukan pengawalan secara langsung oleh sabhara maupun lantas pada jalur distribusi bahan pokok dan kebutuhan masyarakat secara umum,” sebagaimana dikutip dari surat telegram yang ditandatangani Kapolri tersebut.
Kemudian, Kapolri memerintahkan jajarannya untuk bertindak tegas dalam menerapkan kebijakan jaga jarak fisik. Meski demikian, aparat kepolisian juga diminta tidak arogan dan tidak mengucapkan kalimat yang malah kontraproduktif.
Angka kriminalitas
Secara terpisah, Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri Komisaris Besar (Pol) Asep Adi Saputra mengatakan, kondisi keamanan dan ketertiban masyarakat saat ini cukup kondusif.
Bahkan, angka kriminalitas disebutnya menurun. Pada 15-21 Maret 2020, total ada 4.197 kejahatan. Sementara pada 22-28 Maret 2020, jumlah kejahatan menurun menjadi 3.743 kejahatan.
Terkait dengan penyelewengan atau penyalahgunaan alat pelindung diri baik dalam hal produksi maupun distribusi, menurut Asep, sampai saat ini Polri telah menangani 18 kasus.
Modus operandi dari kasus-kasus tersebut adalah memainkan harga, menimbun, dan menghalangi distribusi alat kesehatan. Selain itu, juga terdapat alat kesehatan maupun cairan antiseptik yang tidak sesuai standar atau izin edar.
”Dari 18 kasus ini terdapat 33 tersangka dan dua di antaranya dilakukan penahanan,” kata Asep.
Para tersangka akan dijerat dengan dua undang-undang. Pertama adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, Pasal 29 dan Pasal 107, dengan ancaman hukuman maksimal 5 tahun penjara dan denda Rp 50 miliar. Kedua adalah Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Pasal 98 dan Pasal 197, dengan ancaman pidana penjara paling lama 15 tahun penjara dan denda Rp 1,5 miliar.