Polisi Tangkap Penyebar Hoaks, Masyarakat Sipil Ingatkan Suara Kritis Jangan Dibungkam
Penegakan hukum jadi pilihan terakhir Polri di tengah pembatasan sosial berskala besar. Polisi akan tangkap penyebar kabar bohong dan masyarakat yang melawan petugas. Namun, polisi diingatkan jangan bungkam suara kritis.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kepolisian RI meminta agar masyarakat mematuhi imbauan dari pemerintah dan petugas. Kepolisian hanya akan menangkap penyebar kabar bohong dan mereka yang melawan petugas dalam penerapan pembatasan sosial berskala besar atau PSBB. Dalam kondisi itu, masyarakat sipil mengingatkan agar suara kritis jangan sampai dibungkam.
Sejumlah daerah sudah mengajukan ke Menteri Kesehatan permohonan pemberlakuan PSBB di daerahnya. DKI Jakarta menjadi daerah pertama yang PSBB-nya disetujui.
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/239/2020 tentang Penetapan PSBB di Wilayah Provinsi DKI Jakarta dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19 ditandatangani Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto pada Selasa (7/4/2020). Melalui surat keputusan itu, PSBB dinyatakan berlangsung selama masa inkubasi terpanjang, yakni 14 hari. Apabila masih ada penyebaran, PSBB dapat diperpanjang.
Kepala Badan Pemelihara Keamanan Polri Komisaris Jenderal Agus Andrianto, ketika dihubungi, Selasa, di Jakarta, menyatakan, penegakan hukum hanya salah satu upaya dalam penerapan PSBB. Selain itu, upaya hukum merupakan upaya terakhir dari kepolisian.
”Penegakan hukum hanya kepada penyebar kabar bohong dan yang melawan petugas yang meminta untuk menerapkan pembatasan sosial dan pembatasan fisik secara tegas dan disiplin,” kata Agus.
Hingga 6 April, Polri telah menangani 76 kasus kabar bohong. Sebagian besar kasus terjadi di wilayah Kepolisian Daerah Metro Jaya (11 kasus), Polda Jawa Timur (11 kasus), dan Polda Jabar (6 kasus). Selebihnya kasus itu ditangani Badan Reserse Kriminal Polri dan polda lain. Selain itu, Polri, melalui Satuan Tugas Pangan, telah menangani 18 kasus dugaan penimbunan dan kenaikan harga alat pelindung diri (APD).
Pedoman Polri dalam melaksanakan PSBB adalah maklumat Kapolri dan lima surat telegram Kapolri. Kelima surat telegram tersebut menjadi pedoman Polri tentang potensi pelanggaran atau kejahatan yang muncul, antara lain terkait penerapan PSBB, ketersediaan bahan pokok, serta kejahatan terkait situasi dan opini yang ada di ruang siber.
Selain itu, kata Agus, tugas Polri tidak hanya terkait dengan penegakan hukum, tetapi juga memastikan perekonomian masyarakat tidak terganggu. Sebab, meski secara umum dilakukan pembatasan, terdapat pengecualian untuk beberapa tempat kerja, seperti kantor pemerintah, utilitas publik, dan toko yang berhubungan dengan bahan pangan.
”Demi keselamatan dan kesehatan masyarakat, semua pihak harus berperan aktif. Aparat kepolisian dan TNI akan sangat terbantu dengan kepatuhan dan ketaatan masyarakat,” ujar Agus.
Secara terpisah, kriminolog Universitas Indonesia, Josias Simon, berpandangan, Polri dapat menjalankan PSBB secara bertahap, mulai dari antisipasi dengan deteksi dini, upaya preventif, sampai penegakan hukum. Namun, penegakan hukum mesti dilakukan secara humanis.
”Karena yang dihadapi adalah Covid-19, bukan kriminal biasa. Jika memang tidak mengindahkan, bisa dibubarkan atau sampai dibawa ke kantor polisi. Tetapi, itu hanya untuk diberi pemahaman tentang bahaya Covid-19,” ucap Josias.
Terkait dengan kabar bohong, kata Josias, sudah ada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Namun, jika kabar bohong yang dimaksudkan terkait Covid-19, polisi perlu melihat konten lebih jauh. Menurut Josias, jangan sampai kritik atau masukan bagi penguasa yang informatif dikategorikan sebagai kabar bohong.
Sementara itu, Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Asfinawati mengatakan, pemerintah dan kepolisian semestinya paham bahwa dalam situasi darurat kesehatan seperti saat ini, yang dikedepankan semestinya tenaga kesehatan. Namun, yang tampak saat ini adalah situasi darurat sipil.
Dalam situasi seperti ini, menurut Asfinawati, dirinya khawatir Polri justru membungkan suara-suara kritis dari masyarakat dengan dalih penyebar berita bohong. Padahal, bisa jadi suara kritis tersebut menggambarkan situasi yang sulit di kalangan masyarakat bawah.
”Dengan situasi seperti ini seharusnya tidak represif. Kekritisan itu penting untuk menangkap apa yang terjadi di masyarakat bawah,” kata Asfinawati.