Status Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Ditetapkan
”Perang” melawan Covid-19, Presiden Jokowi akhirnya umumkan Keppres Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dan Keppres Kedaruratan Bencana Non-Alam, serta PP Pembatasan Sosial Berskala Besar.
Oleh
Nina Susilo
·5 menit baca
Kompas/Heru Sri Kumoro
Wartawan menyimak pidato pengantar dari Presiden Joko Widodo dalam Rapat Terbatas Penanganan Arus Masuk WNI dan Pembatasan Perlintasan WNA yang disiarkan secara daring di Jakarta, Selasa (31/3/2020). Pemerintah tengah menyiapkan protokol untuk mengantisipasi penyebaran Covid-19 terkait mulai datangnya gelombang WNI yang pulang ke Indonesia.
BOGOR, KOMPAS — Presiden Joko Widodo akhirnya menetapkan status kedaruratan kesehatan masyarakat untuk wabah Covid-19 yang terjadi. Dengan status kedaruratan kesehatan masyarakat ini, opsi pembatasan sosial berskala besar yang dipilih bisa dilakukan secara lebih disiplin dan tegas.
Presiden Jokowi mengumumkan Keputusan Presiden mengenai Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dan Keppres Kedaruratan Bencana Non-Alam Nasional, serta Peraturan Pemerintah tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam keterangan kepada wartawan melalui telekonferensi dari Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Selasa (31/3/2020).
”Sesuai Undang-Undang (Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan), PSBB ini ditetapkan Menteri Kesehatan yang berkoordinasi dengan kepala Satgas Covid-19 dan kepala daerah,” tuturnya.
Sesuai Undang-Undang (Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan), PSBB ini ditetapkan Menteri Kesehatan yang berkoordinasi dengan kepala Satgas Covid-19 dan kepala daerah.
Dengan adanya PP mengenai PSBB tersebut, Presiden meminta kepala daerah tidak membuat kebijakan sendiri-sendiri yang tidak terkoordinasi. Semua kebijakan di daerah diharapkan berada dalam koridor UU, PP, dan keppres. Kepolisian Negara RI juga dapat menegakkan hukum secara terukur supaya PSBB bisa diterapkan secara efektif dan benar-benar bisa mencegah meluasnya wabah Covid-19.
Sejauh ini, dalam UU No 6/2019, setelah status kedaruratan kesehatan masyarakat ditetapkan, ada beberapa instrumen yang bisa dipilih baik karantina rumah, karantina wilayah, karantina rumah sakit, atau pembatasan sosial berskala besar. Opsi pembatasan sosial berskala besar setidaknya dilakukan dengan meliburkan sekolah dan kerja, membatasi kegiatan keagamaan, dan membatasi kegiatan-kegiatan di area publik atau fasilitas umum. Adapun instrumen lain untuk penerapan PSBB, seperti pembatasan transportasi publik, bisa ditambahkan sepanjang ada koordinasi antara Gugus Tugas Penanganan Covid-19 pusat dan daerah.
Tak hanya itu, Presiden Jokowi juga menerbitkan Keputusan Presiden mengenai Kedaruratan Bencana Non-Alam Nasional yang memberi keleluasaan kepada Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) untuk memobilisasi sumber daya.
KOMPAS/ADITYA DIVERANTA
Kondisi lobi Stasiun Gambir, Jakarta Pusat, Rabu (25/3/2020) siang. Jarak kursi antarpengunjung di lobi menjadi lebih jauh dalam rangka pembatasan sosial. Tindakan ini untuk mengantisipasi penularan Covid-19 yang masif di Jakarta.
Belajar dari pengalaman negara lain
Presiden Jokowi menjelaskan, pemerintah belajar dari pengalaman negara lain, tetapi tidak meniru begitu saja langkah penanganan Covid-19. Sebab, setiap negara memiliki perbedaan baik luas wilayah, jumlah penduduk, kedisiplinan, kondisi geografis, karakter, budaya, perekonomian masyarakat, maupun kemampuan fiskalnya. Karena itu, strategi yang dipilih diperhitungkan dengan cermat.
”Kita tidak boleh gegabah merumuskan strategi. Semuanya harus dihitung, dikalkulasi dengan cermat. Jadi, inti kebijakan kita sangat jelas dan tegas,” kata Presiden.
Komparasi yang dibuat pemerintah selama ini, dalam catatan Kompas, dari hasil penelusuran di Istana, lockdown seperti di Wuhan China, Italia, dan India. Di Wuhan, lockdown berhasil dijalankan karena antara lain, selain sistem pemerintahannya, juga sistem jaminan sosialnya yang kuat hingga ke bawah.
Di Italia meski diterapkan lockdown, korban akibat pasien yang menderita positif Covid-19 tetap tinggi, karena selain demokratis, masyarakatnya juga tidak disiplin dan patuh karena tidak adanya sanksi. Sementara di India, yang hampir sama dengan kondisi Indonesia, juga gagal menerapkan lockdown sehingga terjadi resistensi dari warga dan antrean panjang penduduk miskinnya yang membutuhkan makanan dan jaminan hidup.
Kita tidak boleh gegabah merumuskan strategi. Semuanya harus dihitung, dikalkulasi dengan cermat. Jadi, inti kebijakan kita sangat jelas dan tegas.
Skenario darurat sipil, menurut Presiden, disiapkan jika terjadi keadaan abnormal. Namun, saat ini, tentu skenario ini tidak diterapkan.
”Inti kebijakan kita sangat jelas dan tegas. Pertama kesehatan masyarakat adalah yang utama. Oleh sebab itu, kendalikan penyebaran Covid-19 dan kita obati yang terpapar,” kata Presiden.
REUTERS/ADNAN ABIDI
Tunawisma duduk di depan restoran di New Delhi, India, yang tutup saat hari pertama karantina nasional, Rabu (25/3/2020). Pemerintah India memutuskan melakukan karantina nasional kepada lebih dari 1 miliar warganya untuk menekan penyebaran virus korona tipe baru yang menjadi penyebab mewabahnya Covid-19. Karantina nasional itu diberlakukan selama tiga minggu. Hingga Rabu (25/3/2020) pukul 15.00 WIB, jumlah total penderita Covid-19 di India sebanyak 562 orang dengan korban meninggal 10 orang dan 40 orang di antaranya sembuh.
Kebijakan berikut adalah mempersiapkan jaring pengaman sosial untuk masyarakat lapisan bawah. Dengan demikian, masyarakat tetap bisa memenuhi kebutuhan pokok dan menjaga daya beli. Dunia usaha, terutama usaha mikro, kecil, dan menengah, juga akan disiapkan stimulus supaya bisa tetap beroperasi dan menyerap tenaga kerja.
Adapun bantuan untuk masyarakat lapisan bawah ini terdiri atas enam hal. Pertama, Program Keluarga Harapan (PKH) yang ditingkatkan baik jumlah penerima manfaatnya maupun besarannya mulai April 2020. Jumlah penerima manfaat naik dari 9,2 juta keluarga menjadi 10 juta keluarga. Besaran manfaat naik sekitar 25 persen, misalnya komponen ibu hamil Rp 2,4 juta menjadi Rp 3 juta per tahun, komponen anak usia dini menjadi Rp 3 juta per tahun, komponen penyandang disabilitas menjadi Rp 2,4 juta per tahun.
Kedua, jumlah penerima kartu bahan kebutuhan pokok dinaikkan dari 15,2 juta penerima menjadi 20 juta penerima. Nilainya juga naik 30 persen dari Rp 150.000 menjadi Rp 200.000. Bantuan ini diberikan selama sembilan bulan.
Ketiga, anggaran kartu prakerja dinaikkan dari Rp 10 triliun menjadi Rp 20 triliun. Adapun jumlah penerima manfaat menjadi 5,6 juta orang, terutama pekerja informal dan pelaku usaha mikro dan kecil yang terdampak Covid-19. Nilai manfaat kartu prakerja Rp 650.000 sampai Rp 1 juta per bulan selama empat bulan ke depan.
Keempat, pemerintah memotong tarif listrik untuk pelanggan dengan daya 450 VA dan 900 VA. Sebanyak 24 juta pelanggan listrik 450 VA tak perlu membayar selama tiga bulan, yaitu April, Mei, dan Juni 2020. Adapun 7 juta pelanggan listrik dengan daya 900 VA akan mendapatkan diskon 50 persen sepanjang Mei-Juni 2020.
Relawan memberikan sebotol susu kepada Lamberto Paolucci (88) di Roma, Italia, Senin (9/3/2020). Selain bahan makanan, relawan juga membantu menyediakan obat-obatan setelah pihak berwenang meminta orang tua tetap tinggal dirumah. Imbauan itu diambil setelah Italia memberlakukan karantina bagi warga di sejumlah kota.
Kelima, pemerintah telah mencadangkan Rp 25 triliun untuk pemenuhan kebutuhan pokok dan operasi pasar dan logistik. Keenam, pemerintah memberlakukan keringanan pembayaran kredit bagi pekerja informal baik ojek online, sopir taksi, dan pelaku UMKM, serta nelayan dengan penghasilan harian dan kredit di bawah Rp 10 miliar. Otoritas Jasa Keuangan telah menerbitkan aturan untuk ini dan berlaku mulai April 2020. Pengajuannya bisa dilakukan tanpa harus ke bank atau perusahaan leasing, tetapi cukup melalui media komunikasi digital.
Semoga enggak ada yang melebihi kewenangan dari undang-undang. Selain itu, tetap perlu didorong karantina wilayah untuk beberapa daerah yang sudah mendesak dengan melihat persebaran Covid-19 dan ketersediaan fasilitas kesehatan serta tenaga kesehatan.
Publik tunggu rincian PP
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Fajri Nursyamsi, menilai penetapan status ini dilakukan dua pekan lalu. Namun, dengan penetapan ini, masyarakat menunggu detail penerapan PSBB dalam peraturan pemerintah yang baru ditandatangani presiden. ”Semoga enggak ada yang melebihi kewenangan dari undang-undang. Selain itu, tetap perlu didorong karantina wilayah untuk beberapa daerah yang sudah mendesak dengan melihat persebaran Covid-19 dan ketersediaan fasilitas kesehatan serta tenaga kesehatan,” tuturnya.
Dia juga berharap pemerintah lebih cepat memutuskan kebijakan-kebijakan lainnya terkait tindak lanjut dari PP dan keppres tersebut. Dengan demikian, upaya masyarakat mengikuti keharusan bekerja dari rumah, belajar dari rumah, ibadah di rumah tidak sia-sia karena penyebaran virus terus meluas.
KOMPAS/ERIKA KURNIA
Sejumlah gerobak milik pedagang makanan dan minuman berjajar di kawasan Gelora, Jakarta Pusat, Rabu (18/3/2020). Kebijakan bekerja di rumah sebagai upaya pembatasan sosial untuk mencegah penyebaran virus korona jenis baru membuat penghasilan pekerja informal seperti mereka turun.