Politik identitas muncul di banyak tempat secara global sebagai perlawanan terhadap ketidakadilan yang dipicu globalisasi dan liberalisasi ekonomi. Hal itu dapat melahirkan apatisme politik generasi muda.
Oleh
·5 menit baca
Menyambut kemerdekaan ke-75 tahun Indonesia pada 17 Agustus 2020 dan ulang tahun ke-55 harian Kompas pada 28 Juni, harian Kompas mengadakan rangkaian diskusi panel menyongsong 100 tahun Indonesia pada 2045. Setelah diskusi pertama pada Januari silam, digelar diskusi kedua pada Februari yang dihadiri panelis Panglima Komando Gabungan Wilayah Pertahanan II Marsekal Madya Fadjar Prasetyo, peneliti Center for Strategic Risk Assessment Kusnanto Anggoro, pengajar FISIP Universitas Indonesia Inaya Rakhmani, serta Head of Department of International Relations Centre for Strategic and International Studies Jakarta Shafiah Muhibat. Laporan diskusi dirangkum Ninuk M Pambudy, A Tomy Trinugroho, Anthony Lee, dan Edna Caroline Pattisina, serta disajikan di halaman 18 dan Kompas.id.
Pada Pemilu 2019, masyarakat Indonesia seakan terbelah tajam berdasarkan dukungan terhadap masing-masing calon presiden. Setelah Joko Widodo terpilih sebagai presiden periode 2019-2024 dan Prabowo Subianto sebagai kandidat presiden bergabung dengan kabinet pimpinan Joko Widodo, ketegangan di masyarakat seperti pupus.
Suasana keterbelahan saat itu tampak paling nyata di media sosial. Setiap kelompok mengidentifikasi diri melalui penggunaan kata yang bertebaran di media sosial. Pemberian nama oleh satu kelompok terhadap kelompok lain mempertegas adanya perbedaan tajam karakter kedua kelompok. Informasi bohong bertebaran di media sosial.
Setelah Joko Widodo terpilih sebagai presiden dan Prabowo Subianto sebagai kandidat presiden bergabung dengan kabinet pimpinan Joko Widodo, ketegangan di masyarakat seperti pupus.
Fenomena politik identitas tidak khas Indonesia. Fenomena global itu dapat dilihat di Amerika Serikat melalui kemenangan Donald Trump dalam Pilpres AS tahun 2016 dan di Inggris saat memisahkan diri dari Uni Eropa. Di Asia ada Narendra Modi di India dan Rodrigo Duterte di Filipina.
Politik identitas menandai kegiatan politik dalam arti luas berdasarkan pengalaman bersama kelompok sosial tertentu yang mengalami ketidakadilan.
Terbentuknya politik identitas tidak hanya melalui sistem kepercayaan, manifesto terprogram, atau afiliasi dengan parpol. Politik identitas biasanya bertujuan memastikan kebebasan politik kelompok spesifik yang termajinalisasi dalam konteks lebih besar. Kelompok spesifik tersebut menyatakan kekhasan mereka dengan menantang kelompok dominan yang menekan dan bertujuan mendapat hak lebih besar dalam menentukan nasib sendiri.
Politik identitas tak hanya berbasis primordialisme. Ada yang lahir karena memori budaya dan trauma akibat tekanan kelompok mayoritas atau negara. Memori tersebut dipelihara melalui, antara lain, aparatur negara dan kurikulum pendidikan yang instrumental.
Salah satu pendekatan untuk memahami politik identitas adalah memahaminya sebagai dampak ketimpangan sosial.
Ketimpangan kesejahteraan terlihat pada akumulasi kekayaan pada elite.
Laporan akhir tahun 2019, Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) menyebutkan, 1 persen orang Indonesia menguasai 50 persen aset nasional. Jika diluaskan menjadi 10 persen keluarga, penguasaan mereka menjadi 70 persen aset nasional. Di luar itu, terdapat kekayaan yang didapat dari bisnis ilegal yang sulit dilacak, sementara berulang kali masyarakat melihat anggota DPR, menteri, dan kepala daerah masuk penjara karena korupsi.
Secara global, ketimpangan dirasakan di banyak negara. Ketidakpuasan juga ditimpakan pada globalisasi yang mendorong perdagangan bebas barang dan jasa serta derasnya arus migrasi sebagai ciri perekonomian setelah Perang Dunia II.
Liberalisasi ekonomi juga mendorong pemerintah mengurangi peran melayani kebutuhan dasar pendidikan, kesehatan, dan perumahan.
Kelas menengah rentan
Kemarahan terhadap ketidakadilan diekspresikan dalam bentuk kerekatan sosial nontransaksional, seperti kerekatan berdasarkan agama, kekerabatan sedarah, sepersaudaraan, dan sebangsa.
Di Indonesia, jumlah kelas menengah naik dari 25 persen pada tahun 1990-an menjadi 45 persen pada pertengahan 2000-an. Sementara 52 juta orang merupakan kelas menengah mapan, 115 juta orang lainnya mengadopsi gaya hidup kelas menengah tanpa keamanan sosial-ekonomi, seperti pendidikan memadai, pekerjaan tetap, tabungan, dan aset.
Kelas menengah rentan ini mengandalkan kebutuhan dasar, seperti pendidikan dan kesehatan, pada layanan pemerintah. Mereka rentan menjadi miskin kembali jika ada kejutan ekonomi atau situasi darurat, seperti mewabahnya virus korona Covid-19.
Kelas menengah rentan ini mengandalkan kebutuhan dasar, seperti pendidikan dan kesehatan, pada layanan pemerintah.
Ilustrasi munculnya politik identitas dapat dilihat dari kehadiran ”kota mandiri” atau gated communities. Negara memberlakukan mekanisme pasar dengan konsekuensi terbentuknya kelompok kelas menengah eksklusif. Kelas menengah mapan memenuhi kebutuhan layanan sosial dasar dengan mengonsumsi jasa yang disediakan swasta.
Ketegangan dapat terjadi antara kelas menengah mapan dan kelas menengah rentan (bisa merupakan pekerja formal atau pekerja informal) yang melihat gaya mengonsumsi kelas menengah mapan.
Pada Pemilu 2017, politik identitas memanifestasi melalui munculnya tentara siber yang dimobilisasi untuk membangun ketakutan.
Secara mendasar, politik identitas adalah gejala populisme atau aliansi lintas kelas sebuah komunitas yang merasa senasib dalam melawan ketidakadilan, seperti elite yang korup hingga respons terhadap dampak buruk globalisasi neoliberal yang melibatkan berbagai jenis dislokasi sosial.
Ketimpangan sosial ini bertali-temali dengan identitas sosial orang-orang yang merasa terpinggirkan secara sosio-ekonomi. Kegamangan ekonomi dan kecemasan sosial akibat transformasi neoliberal memberi tempat tumbuhnya politik identitas sayap kanan. Gerakan ini memobilisasi wacana, seperti ”rakyat”, ”umat”, dan ”bangsa”.
Dengan kata lain, sentimen berbasis identitas dapat dikonstruksi melalui ruang sosial yang tersegregasi yang pada prinsipnya dibentuk melalui mekanisme pasar bebas.
Apatisme sosial-politik
Memahami generasi Indonesia 2045 dapat melalui generasi milenial yang menjadi orangtua generasi muda tahun 2045.
Pemerintah tengah mendorong investasi untuk penciptaan lapangan kerja melalui RUU Cipta Kerja. Persoalannya, lapangan kerja yang diimajinasikan saat di perguruan tinggi tidak selalu mewujud dalam lapangan kerja yang tersedia.
Kepercayaan kepada pemerintah dapat menurun ketika generasi milenial dalam periode bonus demografi menciptakan lapangan kerja sendiri yang tidak disediakan pemerintah. Fakta lain, generasi ini lahir pada era digital yang terbiasa mengakses informasi berganda, memberi akses informasi dan kebebasan berekspresi.
Lapangan kerja yang diimajinasikan saat di perguruan tinggi tidak selalu mewujud dalam lapangan kerja yang tersedia.
Menghadapi kegamangan ekonomi-sosial ini dapat diperkirakan terbentuk aliansi berbasis agama, ras, etnis, kelas ekonomi, dan generasi. Bergantung pada siapa memanfaatkan situasi ini, ancaman dari luar atau liyan dapat digeneralisasi sebagai jahat dan dikaitkan dengan ras, etnis, atau agama.
Politik identitas sejauh ini tak terinstitusionalisasi karena ekonomi pasar bebas tidak memungkinkan terbentuknya lembaga yang hierarkis. Generasi milenial tetap dapat menghidupi dirinya dari kerja kasual, informal. Mereka tidak selalu membutuhkan pekerjaan tetap jangka panjang.
Kecenderungan ini akan terus terjadi karena pasar kerja tidak dapat menyediakan pekerjaan tetap seperti era 1960-an sampai 1990-an. Terbentuknya kelompok berbasis politik identitas tidak sampai menciptakan kekacauan dalam arti menuntut pergantian pemerintahan, tetapi akan lahir sikap apatis politis yang menghambat pembangunan. Apabila tidak serius dikelola, peluang menjadi kekacauan sosial dapat meningkat.