Indeks Negara Hukum Indonesia cenderung stagnan dalam lima tahun terakhir. Untuk menaikkan skor indeks, pemerintah perlu memperbaiki tiga aspek yang dinilai, yaitu aspek antikorupsi, peradilan perdata, dan juga pidana.
Oleh
Dian Dewi Purnamasari
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah dinilai belum serius dalam upaya memperbaiki sistem peradilan, baik pidana maupun perdata, serta dalam upaya pemberantasan korupsi. Ini setidaknya terlihat dari masih rendahnya skor Indeks Negara Hukum 2020 yang dikeluarkan World Justice Project, khususnya di tiga aspek tersebut.
Secara keseluruhan, Indonesia memperoleh skor 0,53 atau naik 0,01 dari skor empat tahun berturut-turut sejak 2015 (0,52). Indonesia berada di peringkat ke-59 dari 128 negara yang disurvei. Indeks menggunakan skala 0-1, makin besar nilai indeks, makin baik kondisinya.
Ada delapan aspek yang diukur, yaitu pengendalian kekuasaan pemerintahan, antikorupsi, keterbukaan pemerintah, pemenuhan hak-hak dasar warga, ketertiban dan keamanan, penegakan hukum, peradilan perdata, dan sistem peradilan pidana.
Dari delapan aspek itu, aspek antikorupsi dan sistem peradilan pidana memiliki skor terendah, yakni 0,39. Sementara skor peradilan perdata 0,46.
Peneliti Auriga Nusantara, Erwin Natosmal Oemar, menilai skor indeks negara hukum dalam lima tahun terakhir stagnan. Pemerintah tidak serius, khususnya dalam memperbaiki performa di tiga aspek itu.
”Ada kenaikan (skor), tetapi tipis sekali. Kenaikan ini tidak terlalu signifikan, apalagi jika dibandingkan dengan rata-rata negara di wilayah Asia Pasifik, Indonesia masih jauh berada di bawah standar,” ujarnya.
Pada lima aspek yang diukur, skor Indonesia meningkat. Pada aspek pengendalian kekuasaan pemerintah, antikorupsi, peradilan perdata, dan sistem peradilan pidana masing-masing naik 0,02 persen, sedangkan keterbukaan pemerintah naik 0,01 persen. Sementara skor rata-rata Asia Pasifik 0,57-0,61.
Menurut Erwin, masih rendahnya skor indeks negara hukum ini akan berimplikasi ke banyak hal. Riset WJP digunakan banyak negara di dunia untuk menilai sebuah negara. Riset WJP ini pun digunakan Transparency International untuk menilai indeks persepsi antikorupsi.
”Bagi investasi, atau penilaian politik, riset WJP ini menjadi standar umum. Jika pemerintah ingin menaikkan skor, sebenarnya tinggal fokus di tiga aspek yang masih rendah ini saja,” katanya.
Sementara itu, berdasarkan data Laporan Tahunan Ombudsman RI 2019, juga ditemukan sejumlah data yang bersesuaian dengan hasil survei indeks negara hukum. Anggota Ombudsman RI, Ahmad Alamsyah Saragih, mengatakan, sepanjang 2019 masih banyak laporan masyarakat terkait dengan peradilan. Dari total 168 laporan yang masuk, masalah yang banyak dilaporkan adalah mengenai eksekusi putusan pengadilan (67 persen), kinerja panitera (27 persen), dan pengawasan peradilan (27 persen).
”Putusan pengadilan masih banyak yang belum terlaksana dalam waktu yang cukup lama meskipun putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap,” kata Ahmad Alamsyah Saragih.
Ombudsman RI juga menemukan penyimpangan prosedur penangkapan dan penahanan gembong narkoba, malaadministrasi penanganan kasus Novel Baswedan, serta malaadministrasi penanganan unjuk rasa dan kerusuhan 21-23 Mei 2019. Sejumlah rekomendasi dan tindakan terkait hal itu sudah diberikan Ombudsman RI untuk perbaikan kinerja aparat penegak hukum ke depan.