Karakteristik wilayah perbatasan yang berbeda antara satu tempat dan lainnya mesti diperhatikan dalam membangun wilayah perbatasan. Pembangunan juga mesti melibatkan masyarakat.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
KEPULAUAN ANAMBAS, KOMPAS — Karakteristik wilayah perbatasan dengan kebutuhan yang berbeda antara satu tempat dan lainnya mesti diperhatikan dalam membangun wilayah perbatasan. Tidak hanya itu, pembangunan wilayah perbatasan perlu melibatkan masyarakat setempat. Dalam arti kata lain, pembangunan bukan semata program pemerintah pusat.
Bupati Kepulauan Anambas Abdul Haris mengatakan, sebagai kabupaten yang terdiri dari 255 pulau, pembangunan di Anambas mesti berorientasi pada maritim. Terlebih dari 255 pulau itu, lima di antaranya merupakan pulau terluar, dekat perbatasan dengan Vietnam dan Malaysia.
”Kepulauan Anambas memiliki potensi pariwisata dan perikanan yang luar biasa. Jika diberi penanganan atau dikembangkan secara serius, dapat menjadi sumber devisa negara,” kata Abdul, di Kepulauan Anambas, Kepulauan Riau, Selasa (17/3/2020).
Data Badan Pusat Statistik 2019 mencatat, nilai produksi perikanan tangkap Kabupaten Anambas mencapai Rp 589 miliar. Pada 2019, sebanyak 555,24 ton ikan diekspor ke Hong Kong. Di sektor pariwisata, Pemerintah Kabupaten Kepulauan Anambas mencatat, terdapat banyak pantai aaupun resor yang sudah dikenal, seperti Pulau Pulau Bawah dan Kusuma Resort.
Menurut Abdul, potensi pariwisata berupa pantai atau pulau tersebut masih memiliki tantangan mendasar, yakni penyediaan infrastruktur dasar untuk air bersih, konektivitas, dan telekomunikasi. Sementara untuk penerbangan saat ini sudah ada penerbangan dari Bandara Letung ataupun Bandara Matak menuju Batam dan Tanjung Pinang.
Oleh karena itu, kata Abdul, alokasi anggaran dari program Gerakan Pembangunan Terpadu Kawasan Perbatasan 2020 bagi Kepulauan Anambas diharapkan dapat diarahkan untuk memenuhi infrastruktur dasar yang masih kurang tersebut.
Jika tahun lalu Kepulauan Anambas mendapatkan anggaran sekitar Rp 121 triliun, tahun ini anggarannya bertambah menjadi Rp 350 miliar. Namun, anggaran tersebut tersebar setidaknya di 14 kementerian dan lembaga.
”Manfaat program itu sangat jelas. Sebab, kementerian dan lembaga akan mengeroyok dalam membangun. Misalkan membangun infrastruktur dasar, lalu membangun konektivitas, juga jaringan 4G yang hari ini masih susah,” kata Abdul.
Sementara itu, Camat Kecamatan Jemaja Abdullah Sani mengatakan, pengembangan sektor pariwisata menjadi cara paling cepat untuk mendorong ekonomi masyarakat setempat. Terlebih di saat harga produk hasil perkebunan seperti cengkeh dan karet jatuh seperti terjadi saat ini.
Meski demikian, menurut dia, tidak mudah mendatangkan investor untuk berinvestasi di sektor pariwisata. Sebab, untuk mendapatkan izin mengelola sebuah kawasan, bukan hal mudah.
”Misalnya ada lahan yang berpotensi dikembangkan menjadi lokasi wisata, tetapi status lahannya hutan lindung. Padahal untuk dikelola statusnya mesti area penggunaan lain,” kata Abdullah.
Amdan (40), salah satu warga Kepulauan Anambas yang bekerja wiraswasta, mengatakan, kebutuhan mendasar yang perlu diperhatikan adalah menurunkan harga bahan pokok dan sayur-mayur yang tinggi. Meskipun sudah ada program tol laut, harga-harga itu tetap tinggi.
Secara terpisah, Peneliti Bidang Pembangunan Daerah dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Syarif Hidayat mengatakan, berbagai program pembangunan perbatasan oleh pemerintah kebanyakan merupakan program pusat, tak menyerap aspirasi masyarakat setempat.
”Pembangunan kawasan perbatasan merupakan masalah yang kompleks. Selain perlu menerapkan prinsip transparansi, demokratis, akuntabilitas, program tersebut juga harus inklusif dan mempertimbangkan konteks atau karakter lokal,” kata Syarif.
Ia menekankan, masyarakat lokal harus dilibatkan, tidak hanya berhenti pada pemerintah daerah. Itu berarti, pembangunan harus didasarkan pada kebutuhan riil masyarakat, baik berupa kebutuhan fisik maupun yang nonfisik.