Gerakan masyarakat sipil di Indonesia dinilai stagnan, bahkan cenderung mundur. Mereka menghadapi tantangan berat, mulai dari seretnya pendanaan, sulitnya merekrut sukarelawan,
Oleh
·5 menit baca
Gerakan masyarakat sipil di Indonesia dinilai stagnan, bahkan cenderung mundur. Mereka menghadapi tantangan berat, mulai dari seretnya pendanaan, sulitnya merekrut sukarelawan, terbatasnya kualitas aktivis, adanya keterbelahan di masyarakat, hingga fragmentasi di kalangan mereka sendiri.
Padahal, negeri ini butuh gerakan masyarakat sipil yang kuat untuk mengawasi pemerintah. Hal ini diungkapkan oleh 86,3 persen responden jajak pendapat Kompas. Terkait hal tersebut, masyarakat sipil didorong segera berkonsolidasi.
Hal ini mendesak mengingat situasi demokrasi yang juga kian mundur menyusul makin terkonsolidasinya modal dan kekuatan politik yang cenderung melemahkan gerakan sipil. Kompas mewawancarai sejumlah aktivis. Berikut ini suara mereka. (edn/ink/bow)
Acuan kami adalah Gusdur. Maka, kami meyakini, masyarakat sipil yang kuat akan membuat negara menjadi kuat. Masyarakat sipil, kan, mewakili suara rakyat dan tak memiliki kepentingan terhadap kekuasaan. Masyarakat sipil yang kuat membuat negara punya balance. Masyarakat sipil memilih bidang apa yang ingin ditekuni. Misal, Gusdurian. Ketika kami memilih menekuni demokrasi dan kerja sama lintas iman, itu karena mewarisi perjuangan itu dari Gusdur, bukan karena banyak duitnya. Karena sifatnya gerakan sosial, kami memang tak tergantung dengan lembaga donor.
Organisasi masyarakat sipil menghadapi tantangan besar tatkala kritik dihadapkan pada ancaman pidana. Orang menyampaikan pendapat dituduh (penyebar) hoaks. Organisasi masyarakat sipil alami pelemahan sangat mendasar. Ini membuat kebebasan sipil berada dalam ancaman sangat serius.
Saat ini, selain peran negara yang sedang kuat, peran yang juga tidak kalah kuatnya dimiliki partai politik untuk turut menentukan kebijakan. Hal ini relatif berbeda dengan masa di awal reformasi ketika negara sedang limbung. Pada saat itu, peran masyarakat sipil justru besar dengan menghadirkan sejumlah gagasan dan konsep-konsep menarik. Di dalamnya termasuk keberadaan sejumlah lembaga baru, seperti Mahkamah Konstitusi dan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Selama hampir dua dekade telah terjadi konsolidasi kekuasaan dan ekonomi. Sementara di masyarakat sipil tidak. Tetapi, kini potensi konsolidasi sudah ada. Karena sudah kelihatan ada perbedaan tajam antara apa yang kita pikirkan tentang pemerintah dan yang saat ini ada. Antara das sollen (yang seharusnya) dan das sein (yang nyata) sudah enggak nyambung banget.
Saat ini, untuk isu digitalisasi, ada kecenderungan pertarungan narasinya hanya terjadi antara pemerintah dan korporasi. Narasi yang menyuarakan kepentingan publik kurang kuat. Padahal, di sisi lain, isu terkait digitalisasi dalam konteks bernegara cenderung makin kompleks. Etika algoritma, perlindungan privasi, kedaulatan data, demokrasi di era 4.0, disinformasi di media sosial, dan sebagainya makin butuh advokasi organisasi masyarakat sipil. Untuk memperbaiki hal itu, diperlukan peningkatan kapasitas di sisi masyarakat.
Sering kali organisasi itu seperti lilin. Mereka bekerja menerangi sekitarnya, tetapi pada dasarnya abai terhadap hal-hal yang internal, abai di manajemen organisasi, dan abai memikirkan keberlanjutan.
Oleh karena itu, sering kali di daerah ada organisasi muncul tenggelam, tergantung ada proyek atau tidak. Sebab, mereka tidak memikirkan sustainability-nya. Organisasi masyarakat sipil harus meningkatkan quality of internal governance mereka agar publik tak ragu ketika ingin memberi bantuan. Sebab, publik yakin bahwa semua ada pertanggungjawabannya.
Gerakan masyarakat sipil secara global memang menyusut. Ada beberapa modus penyusutan. Di Indonesia lewat aturan hukum/administrasi, secara fisik lewat kriminalisasi baik melalui Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) atau dituduh korupsi, dan diserang narasi negatif, seperti doxing, hoaks, dan kontranarasi. Yang menarik, di akar rumput, misalnya di kampus-kampus, sebenarnya sudah ada keresahan terhadap keadaan saat ini. Mahasiswa haus akan realitas yang sebenarnya terjadi. Nah, mereka ini sebenarnya bisa jadi kekuatan. Cuma, cara untuk berkomunikasi dengan mereka, ya, harus menggunakan pola pikir mereka.
Keberadaan masyarakat sipil sangat dibutuhkan pemangku kepentingan, bahkan kami diajak dalam perumusan kebijakan. Namun, di saat yang sama, secara internal, kami berhadapan dengan dinamika yang sangat luar biasa berkaitan dengan daya tahan organisasi untuk bisa hidup dan menjaga nilai-nilai organisasi sesuai statuta pendirian lembaga. Godaan terbesar kami yang bekerja di isu demokrasi adalah benturan kepentingan untuk terlibat masuk ke ruang-ruang kontestasi. Oleh karena itu, yang diperlukan konsistensi, komitmen, dan kesabaran untuk menekuni bidang ini di ruang-ruang kemandirian serta nonpartisan.
Kemampuan dan kapasitas insan LSM perlu ditingkatkan. Dengan penelitian yang baik, kualitas advokasi akan meningkat. Hal ini akan membuat pemerintah dan kekuasaan lebih mendengar karena argumennya tidak hanya berbasis ideologi. Kalau kualitas LSM bagus, akan membantu kualitas legislatif dan eksekutif karena mereka juga belum punya basis litbang yang bagus. LSM bisa jadi ajang untuk menciptakan pemimpin masa depan. Dengan demikian, seusai dari LSM, para aktivis bisa masuk ke partai politik atau pemerintah dengan bekal keahlian yang cukup untuk dikontribusikan, tidak sekadar menjadi pencari kerja semata.
Kesadaran politik rakyat untuk terlibat dalam urusan publik belum merata. Hal ini di antaranya disebabkan parpol tidak mengalami reformasi di era 1998. Media pun saat ini dikuasai pemodal, LSM tak banyak yang ada di akar rumput. Pendidikan kesadaran kritis tak dilakukan. Di sisi lain, LSM terus beregenerasi. Orang yang matang di lapangan dan dekat dengan masyarakat setelah selesai di LSM malah memperkuat negara. Setelah masuk ke dalam, tidak banyak yang bisa dilakukan, termasuk menjembatani dialog antara pemerintah dan masyarakat. Ini jadi persoalan karena perubahan sosial tak bisa hanya dilakukan segelintir orang.
Lembaga-lembaga riset masyarakat sipil sesungguhnya bisa untuk tidak hanya berpatokan pada sumber pendanaan eksternal, tetapi juga lewat sumber-sumber internal. Aktivitas riset atau konsultasi, misalnya, bisa menjadi pilihan. Namun, tantangan berat bagi penggerak organisasi masyarakat sipil adalah menyesuaikan dengan kondisi di masa sebelumnya, kala terbiasa menerima sumber dana eksternal dalam jumlah besar. Sementara upaya pemberdayaan ekonomi secara mandiri butuh kemampuan mengelola pendapatan-pendapatan lebih kecil.