Pemerintah harus segera mengambil keputusan yang cepat dan tepat agar kontroversi pemulangan 660 WNI eks NIIS tidak merugikan keutuhan bangsa dan berdampak pada keamanan negeri akibat bahaya radikalisme.
Oleh
Riana A Ibrahim
·4 menit baca
Kontroversi pemulangan 660 WNI eks NIIS perlu diselesaikan segera, dengan opsi yang tepat, agar tidak merugikan keutuhan bangsa dan berdampak pada keamanan negeri dari bahaya radikalisme.
Pada November 2019, pengadilan khusus untuk para milisi Negara Islam di Irak dan Suriah digagas Presiden Suriah Bashar al-Assad. Ratusan milisi saat itu ditahan Suriah dan sekitar 10.000 milisi NIIS ditahan Pasukan Demokratik Suriah yang mengendalikan sebagian Suriah. Dari jumlah itu, ada sekitar 2.000 orang yang berasal dari negara di luar Suriah dan Irak, termasuk Indonesia.
Sejak saat itu, isu pemulangan para bekas milisi Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) ke Tanah Air menjadi bahasan tidak hanya di tingkat lokal, tetapi juga internasional. Sebagian besar negara di Eropa memutuskan tidak memulangkan eks kombatan NIIS itu ke negara asal. Salah satunya Inggris, yang bahkan tak akan memulangkan anak-anak yang telah bergabung ke NIIS. Setidaknya ada 30 anak warga negara Inggris yang ditahan di kamp di bagian utara Suriah. Australia pun mengikuti langkah yang sama.
Untuk Indonesia, pada Rabu (5/2/2020) Presiden Joko Widodo menyatakan, secara pribadi, tidak sepakat jika bekas kombatan NIIS menginjakkan kaki ke Tanah Air. Namun, secara resmi pemerintah belum memutuskan wacana pemulangan eks NIIS itu karena masih akan dibahas dalam rapat terbatas.
Pemerintah belum memutuskan wacana pemulangan eks NIIS itu karena masih akan dibahas dalam rapat terbatas.
Dalam acara bincang Satu Meja The Forum bertajuk ”Eks ISIS, Perlukah Dipulangkan?” yang ditayangkan di Kompas TV, Rabu (5/2/2020) malam, Juru Bicara Wakil Presiden Masduki Baidlowi menyatakan, Indonesia menganut asas perlindungan maksimal terhadap WNI. Mereka yang masih tercatat sebagai WNI wajib dilindungi.
”Sikap resmi belum diambil. Ada rapat yang cukup intensif dan berbagai pertimbangan dilakukan. Adanya Undang-Undang Kewarganegaraan juga membuat pemerintah tidak bisa mengambil langkah gegabah. Perlu ada tahapan yang dilakukan pemerintah apakah menerima (eks NIIS) karena UU, tetapi juga tetap harus mengedepankan keamanan warga yang ada di sini juga. Ada fokus terhadap anak-anak dan perempuan,” ujar Masduki.
Dalam acara yang dipandu Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo ini, hadir juga anggota Komisi III DPR, Nasir Djamil; pakar hubungan internasional, Dinna Wisnu; Dewan Syuro Partai Kebangkitan Bangsa Maman Imanulhaq; Direktur Eksekutif Human Rights Working Group Muhammad Hafiz; dan Direktur Aida sekaligus pengamat terorisme, Hasibullah Satrawi.
Dalam kesempatan terpisah, Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid Saadi, Kamis (6/2), menegaskan, Kementerian Agama tidak mendukung pemulangan WNI eks NIIS. ”Sampai dengan detik ini, Kemenag belum pernah menerima usulan pemulangan dari siapa pun, termasuk BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme),” ujarnya.
Kemenag, ungkap Zainut, masih melihat adanya potensi ancaman keamanan jika para WNI eks NIIS itu dipulangkan. Sebab, mereka tidak saja sekadar terpapar paham radikal, tetapi juga pelaku yang terlibat langsung dalam kegiatan NIIS.
Karena itu, diperlukan tinjauan dari aspek hukum formal. Kemenag meminta rencana pemulangan eks NIIS perlu dipertimbangkan kembali secara lebih matang, cermat, serta hati-hati.
Pernah dilakukan
Nasir mengatakan, pemulangan bekas kombatan NIIS pernah dilakukan BNPT pada 2016 dan 2017. Setidaknya ada 50 orang yang dipulangkan dan mengikuti program deradikalisasi, bahkan telah reintegrasi ke tengah masyarakat. Lalu, pada 2018, BNPT juga melakukan profiling terhadap WNI yang berada di NIIS.
Hasibullah menambahkan, pemetaan profil WNI eks NIIS merupakan hal terpenting jika opsi pemulangan diambil pemerintah. Sebab, menurut dia, tak semua yang berangkat ke Suriah karena persoalan ideologi. Sebagian pergi karena janji perbaikan ekonomi.
”Hal ini patut dipertimbangkan. Jadi, data yang ada dikaji dan dilakukan pendekatan secara holistik untuk menentukan sikap yang tepat. Sebab, jika hanya sekadar memulangkan tanpa pertimbangan yang matang dan kajian yang kuat, hal ini berpotensi menimbulkan masalah baru saat kita juga masih berupaya mengatasi persoalan radikalisme,” kata Hasibullah.
Jadi, data yang ada dikaji dan dilakukan pendekatan secara holistik untuk menentukan sikap yang tepat. Sebab, jika hanya sekadar memulangkan tanpa pertimbangan yang matang dan kajian yang kuat, hal ini berpotensi menimbulkan masalah baru saat kita juga masih berupaya mengatasi persoalan radikalisme.
Dinna sepakat dengan hal ini. Belajar dari Denmark yang juga pernah memutuskan menerima kembali warga negaranya yang terpapar NIIS, mereka justru kecolongan. Padahal, pengawasan ketat dilakukan terhadap orang per orang selama dua tahun penuh, tetapi pada akhirnya sebagian tetap memilih kembali ke Suriah.
”Jangan menganggap remeh hal ini dan harus dikalkukasi dengan baik. Apabila ingin menunjukkan negara kita ini humanis dan pro pada pemenuhan hak asasi manusia, tidak perlu berbicara ini. Selesaikan dulu saja kasus pelanggaran HAM lain yang jelas membutuhkan kejelasan,” katanya.
Terkait persoalan ini, Maman meminta pemerintah segera bersikap tegas. Ia juga menyarankan opsi lain berupa komunikasi politik dengan negara lain yang memiliki masalah serupa untuk mengarahkan penuntasan para bekas kombatan NIIS ini ke pengadilan internasional.
Semuanya kini berpulang kepada pemerintah. Opsi paling bijak harus diambil demi melindungi kemaslahatan warga negara yang ada di Indonesia karena tidak ada tempat bagi radikalisme untuk tumbuh di negeri ini. (NTA)