Gus Sholah dikenang sebagai sosok yang menjadi ”obor” persatuan bangsa. Warga nahdliyin dan bangsa Indonesia kehilangan sosok Gus Sholah yang konsisten memperjuangkan persatuan di tengah keberagaman.
Oleh
Rini Kustiasih/Nikolaus Harbowo
·4 menit baca
Tulisan opini terakhir KH Salahuddin Wahid di harian Kompas, 27 Januari 2020, cukup banyak disebarkan di media sosial oleh warganet yang berduka atas berpulangnya tokoh nahdliyin yang lebih dikenal dengan sebutan Gus Sholah ini. Tulisan Gus Sholah yang bertajuk ”Refleksi 94 Tahun NU” itu secara garis besar mengajak Nahdlatul Ulama kembali ke khitah.
”NU sebaiknya tidak terlibat dalam politik praktis dan tetap berada di wilayah masyarakat madani. Sikap istikamah dan konsisten bergiat membuat NU bermartabat dan efektif menjadi jangkar bangsa Indonesia,” tulis Gus Sholah di pengujung artikel tersebut.
Kepergian Gus Sholah menghadap Sang Khalik, Minggu (2/2/2020) malam, menyisakan duka mendalam bagi banyak pihak. Kiprah sepanjang 77 tahun usia menggambarkan kepeduliannya bagi NU dan bangsa Indonesia.
Jejak kepedulian adik Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid ini terhadap isu-isu kebangsaan dan NU juga terekam dari artikel opininya yang dimuat di harian Kompas. Dari basis data Kompas, Gus Sholah menulis 123 artikel opini serta tiga surat pembaca. Artikel opini pertama Gus Sholah dimuat di Kompas, 15 Oktober 1998, dengan tajuk ”Mengembalikan Kekayaan Negara”. Tulisan itu terkait dengan isu pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme. Dalam rentang 1998-2020, Gus Sholah konsisten menulis tema-tema politik, kebangsaan, korupsi, toleransi, NU, serta ekonomi kerakyatan.
Ketika obor padam, sulit dicari penggantinya. Ini kehilangan yang besar.
Sekretaris Jenderal Pengurus Besar NU Helmy Faishal Zaini menyimak tulisan terakhir Gus Sholah di harian Kompas. Ia menilai, hal itu adalah pesan pamungkas Gus Sholah kepada NU dan bangsa yang dicintainya. Keinginan untuk menjadikan NU sebagai ashabul haq (pemangku kebenaran) adalah dambaan semua warga NU. Pesan tersebut menjadi salah satu hal penting yang akan dibahas dalam Muktamar Ke-34 NU di Lampung tahun ini.
Bagi PBNU, Gus Sholah adalah obor, baik bagi organisasi maupun jemaah secara umum.
”Beliau adalah salah satu tokoh yang merupakan obor persatuan. Ketika obor padam, sulit dicari penggantinya. Ini kehilangan yang besar. Beliau selama hidupnya banyak memberikan teladan persatuan, kerukunan tanpa membeda-bedakan, termasuk dengan umat beragama lain,” tutur Helmy.
Solusi konflik
Sepanjang hidupnya, Gus Sholah banyak berkiprah dalam memperjuangkan nilai-nilai keindonesiaan dan terlibat dalam urusan kenegaraan. Publik antara lain mengetahui perannya sebagai Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia tahun 2002, yang juga pernah memimpin Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) kasus kerusuhan Mei 1998 dan Ketua Tim Penyelidik Ad Hoc Pelanggaran HAM berat kasus Mei 1998. Pada 2018, ia menjadi anggota Dewan Etik Mahkamah Konstitusi (MK).
Staf Khusus Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila Benny Susetyo menuturkan, Gus Sholah terlibat dalam upaya menyelesaikan persoalan saat terjadi pembakaran gereja-gereja dalam kerusuhan di Situbondo, Jawa Timur, pada 1996. Pada 1999, Gus Sholah dan Benny bersama-sama dipercaya Presiden Abdurrahman Wahid untuk membangun rekonsiliasi Papua yang kala itu ramai gerakan Papua merdeka.
Benny mengajak Gus Sholah bertemu dengan para uskup Papua untuk mencari solusi perdamaian bagi ”Bumi Cenderawasih” di Wisma Konferensi Waligereja Indonesia. Sejak saat itu, Gus Sholah memiliki hubungan baik dengan Uskup Jayapura Leo Laba Ladjar. ”Kami berdiskusi bagaimana membangun pendekatan kultural budaya sehingga Papua menjadi tanah damai dengan pendekatan budaya itu. Akhirnya, terjadilah rekonsiliasi sehingga Gus Dur datang ke Papua,” ucap Benny.
Tak berhenti di Papua, perjumpaan Benny dan Gus Sholah berlanjut intensif saat mengatasi konflik Ambon (Maluku) dan Poso (Sulawesi Tengah). Mereka menginisiasi pertemuan tim lintas agama.
Utamakan persatuan
Pembelahan dalam kontestasi Pilpres 2019, yang bahkan mengikutsertakan ulama di tingkat akar rumput, membuat Gus Sholah prihatin. Ketika itu terjadi pembelahan yang berat di antara pendukung pasangan capres-cawapres Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
”Pendirian Indonesia tak bisa dilepaskan dari peran umat dan tokoh Islam. Karena itu, bersatunya Indonesia juga mensyaratkan persatuan antarumat Islam. Seharusnya sekarang tak perlu ada lagi 01 (pendukung Jokowi-Amin) dan 02 (pendukung Prabowo-Sandi), tetapi sekarang 0 semua,” kata Gus Sholah saat mengumpulkan ulama dari sejumlah daerah di Ponpes Tebuireng, Jombang, April 2019.
Siapa pun yang terpilih memimpin Indonesia, menurut Gus Sholah, telah tercantum dalam Lauhul Mahfudz, atau catatan Tuhan, sehingga pertentangan yang berlebihan dan terlalu sengit menjadi tidak relevan lagi. Perbedaan politik adalah hal lumrah. Namun, jangan sampai hal itu memicu perpecahan bangsa.
Pendirian Indonesia tak bisa dilepaskan dari peran umat dan tokoh Islam.
Di lingkungan Ponpes Tebuireng, Gus Sholah selaku pengasuh memberikan kebebasan kepada santrinya untuk menentukan pilihan politik. Hal yang sama terjadi di lingkungan keluarga kiai dan pengasuh pondok. Perbedaan semacam itu tak membuat hubungan antarkeluarga renggang karena pilihan politik tidak lebih tinggi dari persaudaraan dan kemanusiaan.
Sepupu Gus Sholah, KH Agus Zaki Hadzik, mengatakan, perbedaan ialah sego jangan atau makanan sehari-hari di pesantren. Dalam khazanah pemikiran NU, berbeda pendapat lumrah. Bekal budaya ”santri” yang kental itu, kata Gus Zaki, melatarbelakangi sikap toleran warga dan ulama NU, termasuk Gus Sholah.
Banyak pesan dan teladan yang ditinggalkan Gus Sholah. Semoga hal itu tersimpan di memori kolektif bangsa sehingga akan terus menjadi ”obor” bagi terangnya persatuan dan kerukunan negeri ini.