Sejumlah kalangan menilai syarat mendirikan tempat ibadah yang diatur dalam PBM No 8 dan 9/2006 menimbulkan masalah di berbagai daerah dan mengganggu hak warga untuk beribadah.
Oleh
Agnes Theodora, Rini Kustiasih
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Kementerian Agama berencana mengumpulkan sejumlah kementerian dan tokoh lintas agama untuk mengevaluasi persyaratan pendirian rumah ibadah dalam Peraturan Bersama Menteri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006. Peraturan yang sudah berlaku selama 13 tahun itu perlu segera direvisi untuk menjamin perlindungan hak masyarakat untuk beribadah.
Masalah ini kembali mengemuka pasca perusakan Mushala Al-Hidayah di Kecamatan Kauditan, Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara, pekan lalu, yang menambah panjang catatan buruk kebebasan beragama dan beribadah di Tanah Air.
Poin yang menjadi sorotan untuk direvisi adalah Pasal 14, yang mengatur adanya syarat minimal 90 orang jumlah pemeluk agama terkait serta persetujuan minimal dari 60 orang masyarakat setempat untuk mendirikan rumah ibadah. Pada praktiknya, kedua syarat itu kerap menjadi sumber persoalan perizinan rumah ibadah di berbagai daerah.
Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama Kementerian Agama Nifasri mengatakan, pihaknya akan memanggil kementerian dan lembaga terkait, serta tokoh-tokoh lintas agama untuk mengevaluasi dan bila perlu menyusun ulang PBM yang lebih menjamin kebebasan masyarakat untuk beribadah sesuai kepercayaan masing-masing.
Ada kemungkinan, setelah dievaluasi, PBM akan dirumuskan ulang dalam bentuk peraturan yang lebih mengikat, seperti peraturan presiden atau undang-undang.
“Banyak hal yang perlu dibahas. Saya tidak bisa menyimpulkan apakah ujungnya pasti revisi, tetapi kami akan mengadakan diskusi dan pertemuan lalu menampung masukan dari semua tokoh agama,” katanya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (3/2/2020).
Nifasri menilai, persoalan terkait pendirian rumah ibadah bersumber dari penerapan PBM yang disalahartikan di daerah serta minimnya peran pemerintah daerah sebagai mediator dan fasilitator.
Pasal 14 Ayat (3) PBM sebenarnya mengatur, jika persyaratan dukungan dari penduduk setempat belum terpenuhi, pemda wajib memfasilitasi tersedianya lokasi pembangunan rumah ibadah.
Bagian ini kerap luput dalam penerapan, sehingga kelompok agama tertentu sulit mendapat tempat beribadah begitu pendirian rumah ibadahnya ditolak warga setempat. Terkait ini, Kemenag berencana menggandeng Kementerian Dalam Negeri untuk merumuskan mekanisme yang lebih mengikat pemda.
“Di PBM kan sudah jelas, pemda wajib memfasilitasi. Kenyatannya, banyak pemda tidak lakukan itu. Harusnya kan peran pemda harus lebih berani untuk mengambil keputusan dan menengahi,” kata Nifasri.
Laporan Kemerdekaan Beragama dan Berkeyakinan 2018 Wahid Foundation menunjukkan, perusakan rumah ibadah merupakan satu dari 10 tindakan intoleransi yang menonjol. Selain perusakan, pembatasan, penutupan, atau penyegelan juga masuk 10 besar.
Jumlah tindakan pelanggaran pun meningkat dari tahun ke tahun. Wahid Foundation mencatat, temuan pelanggaran kemerdekaan beragama dan berkeyakinan di Indonesia meningkat dari 2017 ke 2018. Dalam kurun waktu 2018, terjadi 276 tindakan pelanggaran. Jumlah itu lebih tinggi dibanding 2017 yaitu 265 pelanggaran.
Wakil Ketua Komisi VIII DPR Ace Hasan Syadzily mendorong revisi PBM dilakukan, bahkan meningkatkan statusnya menjadi undang-undang yang lebih mengikat. Menurutnya, persoalan kuantitatif berupa syarat minimal dukungan penduduk setempat kerap menghalangi kelompok agama lain.
Persoalan itu pun akan menjadi salah satu hal yang disoroti dalam rapat kerja antara Kemenag dengan Komisi VIII DPR, Selasa (4/2/2020) ini. “Aturan yang ada jangan justru membuat masyarakat jadi sulit beribadah. Dalam konsep negara bangsa, tidak ada mayoritas-minoritas, semua diperlakukan sama,” kata Ace.
Perusakan mushala di Minahasa adalah satu dari sejumlah catatan buruk kebebasan beragama di Indonesia. Desember 2019, muncul larangan ibadah umat Kristen merayakan Natal di Dharmasraya dan Sijunjung, Sumatera Barat. Terkait kasus ini, seorang aktivis hak kebebasan beragama dan berkeyakinan di Sumbar sempat ditangkap polisi dengan tuduhan menyebarkan informasi menyesatkan.
Pertengahan Januari 2020, muncul penolakan izin pendirian Gereja Katolik Paroki Santo Joseph di Kabupaten Karimun, Kepulauan Riau. Sampai sekarang, kasus perizinan GKI Yasmin Bogor dan HKBP Filadelfia, Bekasi, juga belum tuntas. Delapan tahun terakhir ini mereka beribadah di depan Istana Kepresidenan sebagai bentuk protes.
Faktor politik
Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti menilai, evaluasi regulasi rumah ibadah perlu menyoroti syarat jumlah pemeluk agama dan persetujuan masyarakat setempat. “Selama ini, banyak terjadi manipulasi jumlah pemeluk agama dan penolakan oleh masyarakat setempat karena faktor politik,” katanya.
Selama ini, banyak terjadi manipulasi jumlah pemeluk agama dan penolakan oleh masyarakat setempat karena faktor politik
Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (Lakpesdam PBNU) Rumadi Ahmad menilai, PBM problematik karena peraturan di dalamnya mengandaikan kondisi masyarakat di Indonesia baik-baik saja.
“Implementasi PBM itu yang bermasalah, karena relasi sosial di antara masyarakat kita ada persoalan. Pada beberapa kasus, pendirian rumah ibadah telah memenuhi ketentuan. Namun, ada kelompok-kelompok intoleran yang kemudian memprotes, warga yang semula setuju lalu diprovokasi, sehingga yang semula memberi dukungan berubah mencabut dukungan itu,” katanya.
Ruang dialog
Terkait itu, ujar Mu\'ti, juga perlu mendorong solusi yang bersifat kekeluargaan serta penegakan hukum tanpa pandang bulu. Rumusan aturan ke depan idealnya juga dilengkapi norma yang mewadahi forum musyawarah ketika satu persyaratan tidak terpenuhi. Harapannya, hak beribadah umat beragama tidak dilanggar meskipun syarat-syarat tertentu belum dipenuhi.
Relasi sosial antarumat beragama dan kesadaran masyarakat untuk menghormati umat lintas agama juga perlu diperbaiki dengan menciptakan lebih banyak ruang dialog inklusif.
Relasi sosial antarumat beragama dan kesadaran masyarakat untuk menghormati umat lintas agama juga perlu diperbaiki dengan menciptakan lebih banyak ruang dialog inklusif. Dialog bisa mengurangi kecurigaan dan konservatisme keagamaan akibat minimnya komunikasi antarumat beragama. Di sini, peran pemda menjadi kunci.
“Ruang-ruang pertemuan dan dialog itu dapat mencegah pengentalan identitas masyarakat yang berkutat dengan kelompok agamanya sendiri. Tidak harus secara resmi membahas keagamaan, bisa dalam bentuk pertemuan sosial, acara hiburan, atau olahraga, tapi yang ditekankan adalah basis keberagaman itu,” ujar Peneliti Setara Institute Bonar Tigor Naipospos.