Persamaan persepsi dan pemahaman antara negara-negara di kawasan Asia Tenggara dalam upaya pemberantasan terorisme menjadi langkah penting untuk menyusun rencana aksi nasional di tiap negara.
Oleh
Muhammad Ikhsan Mahar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Dibutuhkan kolaborasi antarnegara untuk meredam ekstremisme kekerasan yang menjadi dasar aksi teror. Persamaan persepsi sejumlah negara di kawasan terhadap terorisme merupakan faktor penting untuk menyusun langka-langkah pencegahan komprehensif terhadap kejahatan kemanusiaan transnasional itu.
Deputi Bidang Kerja Sama Internasional Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Andhika Chrisnayudhanto menuturkan, kerja sama di kawasan, terutama Asia Tenggara, menjadi syarat mutlak untuk mengantisipasi aksi ekstremisme berbasis kekerasan yang menjadi awal tindakan terorisme. Menurut dia, rencana aksi regional untuk memberantas terorisme perlu dimiliki sebagai pedoman awal bagi setiap negara menyusun rencana aksi nasional.
Ia menjelaskan, Asia Tenggara telah menyepakati pembentukan Rencana Kerja Bali (Bali Work Plan) 2019-2025, Desember 2019, untuk menentukan langkah kerja negara Asia Tenggara dalam kejahatan transnasional, salah satunya pemberantasan terorisme. Terdapat empat prioritas utama yag menjadi perhatian Asia Tenggara dalam mengantisipasi radikalisme di kawasan, yaitu pencegahan radikalisasi dan ekstremisme kekerasan, memberantas radikalisme dan mempromosikan deradikalisasi, penegakan hukum dan penguatan legislasi, serta kemitraan dan kerja sama regional.
“Rencana aksi regional itu bertujuan untuk memberikan petunjuk bagi negara-negara di kawasan untuk menyusun rencana aksi nasional. Alhasil, negara-negara di kawasan memiliki persepsi serupa dalam penyusunan rencana aksi itu dengan mempertimbangkan kondisi politik, keamanan, sosial, dan budaya setempat,” tutur Andhika dalam seminar bertahuk “Regional Workshop on Establishment of The National Action Plan on Preventing and Countering Violent Extremism” di Jakarta, Kamis (23/1/2020).
Perwakilan Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) Indonesia Christophe Bahuet menambahkan, berbagi pengalaman dalam menyusun rencana aksi dibutuhkan untuk memastikan langkah pemberantasan terorisme di kawasan berjalan secara efektif. Ia mengungkapkan, permasalahan ektremisme berbasis kekerasan yang dialami Asia Tenggara telah terjadi pula di Asia Selatan.
“Pertukaran pemahaman secara regional berfungsi sebagai pedoman bagi Indonesia dan negara lain untuk mengidentifikasi pendekatan dan langkah terbaik untuk rencana aksi nasional,” kata Bahuet.
Pelaksanaan
Lebih lanjut, kata Andhika, Indonesia telah memiliki rencana aksi nasional dalam penanggulangan terorisme. Hal itu tertuang dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Dalam dasar hukum itu, pilar utama Indonesia untuk menanggulangi radikalisme dan aksi teror ialah pencegahan, penegakan hukum, serta kerja sama dengan kementerian/lembaga terkait dan masyarakat sipil.
Asisten Direktur Divisi Riset dan Publikasi Southeast Asia Regional Centre for Counter Terrorism (SEARCCT) Malaysia, Siti Fatimah Nurain menjelaskan, Malaysia juga telah menjalankan rencana aksi nasional yang mengolaborasikan antara pendekatan keras melalui penegakan hukum dan pendekatan lunak melalui berbagai program pencegahan.
Dalam penegakan hukum, lanjutnya, otoritas keamanan Malaysia giat melakukan penangkapan terhadap sejumlah individu yang terindikasi berafiliasi dengan kelompok teroris dan yang merencanakan aksi teror. Di sisi lain, kata Fatimah, Malaysia memiliki program pencegahan yang dimulai dengan memperkuat pemahaman keagamaan moderat di komunitas, melakukan rehabilitasi terhadap terpidana terorisme di penjara, serta melaksanakan program pemberdayaan mantan terpidana terorisme, misalnya dengan pelatihan vokasi untuk memberi bekal mantan teroris untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Namun, tambah Fatimah, program pendekatan lunak itu tidak bisa dilakukan tanpa adanya kolaborasi pemerintah dengan akademisi, ahli, masyarakat sipil, dan pihak swasta. Pemerintah memerlukan kemitraan untuk membantu menyusun program yang dibutuhkan di akar rumput.
“Kita tidak bisa bekerja sendiri. Banyak mitra yang dibutuhkan pemerintah untuk menjalankan kampanye anti radikalisme dan ekstremisme yang komprehensif di masyarakat,” katanya.
Kita tidak bisa bekerja sendiri. Banyak mitra yang dibutuhkan pemerintah untuk menjalankan kampanye anti radikalisme dan ekstremisme yang komprehensif di masyarakat
Sentimen negatif
Asisten Sekretaris Departemen Pemerintahan Dalam Negeri dan Lokal (DILG) Filipina, Alexander Macario, menyatakan, Filipina yang 90 persen masarakatnya beragama Katolik menghadapi masalah, yaitu hadirnya persepsi mayoritas masyarakat terkait Islam yang identik dengan radikalisme. Atas dasar itu, kata Macario, pemerintah Filipina memerlukan kerja sama dari sejumlah negara, termasuk Indonesia, untuk menghadirkan pemuka agama Islam yang moderat. Hal itu diperlukan untuk menunjukkan bahwa Islam melarang berbagai tindak kekerasan.
Masalah ekstremisme di Filipina, lanjut Macario, sudah semakin rumit karena kelompok teroris Abu Sayyaf mulai memberikan pengaruh kepada komunitas minoritas Islam di bagian utara Filipina untuk mengikuti pemahaman keagamaan mereka. Adapun Abu Sayyaf berasal dari kawasan Filipina selatan.
Permasalahan serupa juga dialami oleh Sri Lanka. Dehinga Lasie Udara de Thabrew, dari Kantor Rencana Aksi Nasioal Pencegahan dan Pemberantasan Radikalisasi Sri Lanka, mengungkapkan, usai peristiwa bom di Hari Paskah, 21 April 2019, muncul pula sentiment negatif kepada komunitas muslim di negara itu. Oleh karena itu, lanjut Thabrew, pemerintah berkoordinasi dengan organisasi masyarakat sipil dan swasta untuk melawan opini tersebut.