Bukti Kuat, KPK Tetapkan Mantan Sekretaris MA sebagai Tersangka
Perkara ini berawal dari kegiatan tangkap tangan pada 20 April 2016 dengan nilai barang bukti Rp 50 juta. Uang tersebut diserahkan Doddy Aryanto Supeno, pegawai PT Artha Pratama Anugerah, kepada Eddy Sindoro.
Oleh
Sharon Patricia
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemberantasan Korupsi akhirnya membuka penyidikan baru dan menetapkan tersangka setelah Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 berlaku. Melalui penyidikan sejak 6 Desember 2019, KPK menetapkan Sekretaris Mahkamah Agung periode 2011-2016, Nurhadi, sebagai tersangka perkara dugaan suap pengurusan perkara di MA.
Selain Nurhadi, KPK juga memberikan status tersangka kepada pengusaha yang juga menantu Nurhadi, Rezky Herbiono, dan Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal (MTI) Hiendra Soenjoto. Perkara dugaan suap terkait dengan pengurusan perkara di Mahkamah Agung (MA) pada 2011-2016.
”KPK sangat miris ketika harus menangani korupsi yang melibatkan pejabat dari institusi penegak hukum, terutama di institusi peradilan, khususnya MA. KPK sangat berharap MA benar-benar dapat menjadi tempat bagi masyarakat untuk mencari keadilan,” ujar Wakil Ketua KPK Saut Situmorang, di Jakarta, Senin (16/12/2019).
Secara keseluruhan, diduga NHD (Nurhadi) melalui RHE (Rezky Herbiono) telah menerima janji dalam bentuk 9 lembar cek dari PT MIT serta suap dan atau gratifikasi dengan total Rp 46 miliar. Suap atau gratifikasi dilakukan atas dugaan penerimaan hadiah atau janji terkait pengurusan perkara perdata PT MIT menggugat PT Kawasan Berikat Nusantara (Persero).
Selain itu, dalam perkara perdata sengketa saham PT MIT, diduga terdapat pemberian uang dari Hiendra Soejoto kepada Nurhadi melalui Rezky Herbiono sejumlah Rp 33,1 miliar. Kemudian, Nurhadi melalui Rezky Herbiono pada Oktober 2014-Agustus 2016 diduga menerima sekitar Rp 12,9 miliar terkait penanganan perkara sengketa tanah di tingkat kasasi dan peninjauan kembali di MA serta permohonan perwalian.
”KPK sangat berharap, selain agar perkara ini tuntas dalam proses hukum juga menjadi pembelajaran agar tidak ada lagi praktik mafia hukum ke depan, yaitu oknum-oknum yang diduga memperjualbelikan kewenangan, pengaruh, dan kekuasaan untuk keuntungan sendiri,” ujar Saut.
KPK bersama MA pun, kata Saut, telah duduk bersama untuk mencegah korupsi yang lebih serius. Harapannya, kepercayaan publik pada lembaga peradilan dapat dipulihkan dan tidak ada lagi praktik jual-beli perkara.
Wakil Ketua KPK Laode M Syarif menyampaikan, MA diharapkan tetap menjaga profesionalisme dan segala pedoman perilaku hakim tetap dilaksanakan. ”Berharap bahwa MA ke depan akan selalu menjadi Mahkamah Agung yang agung,” ucapnya.
Punya kewenangan
Penetapan para tersangka pun, kata Syarif, sudah dipelajari dengan saksama dan cukup yakin bahwa bukti yang didapat sudah cukup untuk menetapkan tiga tersangka. Menurut dia, KPK masih punya kewenangan untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka.
”Jadi, kami tetap berpedoman pada Pasal 69D Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam pasal tersebut, sebelum ada Dewan Pengawas, kami tetap (sebagai penyidik dan penuntut umum),” ujar Syarif.
Selain itu, delik-delik yang disangkakan kepada para tersangka pun adalah delik yang ada dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Dengan begitu, kewenangannya tetap sama.
”Tapi, saya yakin tim KPK, jaksa, dan penyidik tak mungkin gegabah untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka jika alat buktinya belum cukup,” kata Syarif.
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, mengapresiasi kerja KPK yang telah menetapkan mantan Sekretaris MA sebagai tersangka korupsi. Kasus ini dinilai akan sangat menentukan bagaimana dunia peradilan ke depan di Indonesia.
”Memang ada risiko (praperadilan). Namun, perlu dilihat bahwa hal itu rawan terjadi jika KPK tidak mengacu pada UU No 19/2019,” ujar Zaenur.
Pentingnya OTT
Saut menuturkan, perkara ini berawal dari kegiatan tangkap tangan pada 20 April 2016 dengan nilai barang bukti Rp 50 juta. Uang tersebut diserahkan Doddy Aryanto Supeno, pegawai PT Artha Pratama Anugerah, kepada petinggi PT Paramount Enterprise, yaitu Eddy Sindoro.
”Dari perkara inilah kemudian terbongkar skandal suap yang melibatkan pejabat pengadilan dan pihak swasta dari korporasi besar,” kata Saut.
Penyidikan awal pascaoperasi tangkap tangan yang dilakukan KPK pada 20 April 2016 menetapkan dua tersangka, yaitu Edy Nasution, Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan Doddy Aryanto Supeno, pengusaha.
Kemudian, pada 22 November 2016, KPK mengembangkan perkara ini dengan tersangka Eddy Sindoro. Setelah masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) dan akhirnya menyerahkan diri pada 12 Oktober 2019, KPK memproses Eddy Sindoro hingga persidangan.
Dalam proses tersebut, KPK menemukan bukti dugaan perbuatan obstruction of justice atau merintangi proses penyidikan. KPK pun menetapkan tersangka baru saat itu, Lucas selaku advokat. Proses hukum terhadap Lucas masih berjalan saat ini di tingkat kasasi.
Syarif menegaskan, proses hukum terhadap Lucas agar segera dituntaskan. ”Jangan sampai juga seperti kasus yang sebelumnya, tinggal sehari sebelum masa penahanan, baru keluar, itu juga tidak profesional,” ujarnya.
Pada 9 Juli 2019, MA memutus untuk melepaskan Syafruddin Arsyad Temenggung yang merupakan terdakwa perkara dugaan korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia. Syafruddin dilepaskan dari Rumah Tahanan Kelas 1 KPK, Jakarta Selatan, sehari sebelum masa tahanannya berakhir.