Meramu "Moderatisme" di Medsos
Maraknya narasi keagamaan yang keras dan cenderung intoleran membuat sejumlah orang dengan latar belakang pemahaman yang moderat tergerak untuk melahirkan narasi berbeda. Media sosial pun menjadi ladang "pertarungan" wacana.
Sebuah tulisan berjudul "Hikayat Bedug dari Cheng Ho hingga Jadi Ikon Budaya Islam Nusantara" di website alif.id menceritakan tentang perjalanan bedug, yang disumbang oleh kontributor situs berita keislaman tersebut, Christian Saputro.
Tulisan dibuka dengan fakta bedug sebagai salah satu instrumen untuk memanggil orang menjalankan Shalat lima waktu. Penulis pun mengelaborasikannya dengan pengaruh kebudayaan China pada bedug. Sumber sejarah lainnya mengaitkan bedug dengan pengaruh dari Timur Tengah.
Tulisan panjang yang dilengkapi foto itu mewakili narasi kebudayaan yang berusaha disampaikan alif.id untuk menyajikan alternatif narasi keislaman yang belakangan ini disesaki pemahaman yang kaku, tekstual, dan melupakan estetika.
Pola-pola narasi semacam itu pun sedikit banyak menjadi karakter tulisan di situs alif.id. "Kami ingin menghadirkan warna lain keislaman yang antara lain mengusung narasi kebudayaan, estetika, dan seni. Sebab, selama ini, masih belum banyak media keislaman yang mengupas kebudayaan sebagai salah satu wajah Islam. Sedikit, misalnya, yang menulis soal kaligrafi, arsitektur, dan bentuk budaya lain yang juga merupakan bagian dari wajah Islam," ungkap Hamzah, Rabu (23/10/2019), di Jakarta, yang mendirikan alif.id bersama jurnalis Susi Ivvaty.
Menurut Hamzah, Islam tidak sekadar tentang hadist, fiqh, tafsir, dan ayat-ayat tekstual, melainkan juga tentang kehidupan secara umum. Isu tentang lingkungan, kerusakan hutan, pemanasan global, ilmu pengetahuan dan teknologi, dan isu-isu lainnya, juga merupakan isu keislaman. Segala isu kehidupan ini, termasuk pula isu menyangkut kebudayaan, adalah isu-isu keislaman.
Oleh karena itu, ketika narasi di media sosial, termasuk media-media digital dengan label "islam" lebih banyak didominasi soal "halal haram" yang berpatokan pada teks semata-mata, alif.id berupaya memberikan warna berbeda. Bahkan, ketika tidak meniatkan diri melakukan narasi perlawanan terhadap narasi keagamaan yang ekstrem dan hitam putih dalam melihat fenomena kehidupan, alif.id hadir menjadi bentuk lain dari narasi Islam yang moderat. Islam berusaha ditampilkan dalam bentuk lain yang lebih riil dan menyentuh kehidupan manusia lebih holistik, tidak melulu halal-haram dan syariat.
Memberi Harapan
Moderatisme Islam yang dikembangkan sejumlah media belakangan ini, yang kebetulan dikelola oleh "santri" dari organisasi Islam terbesar, yakni Nahdlatul Ulama (NU), memberikan harapan bagi upaya menumbuhkan sikap moderat dalam beragama. Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) berkontribusi pada pendirian NU Online, sebuah situs yang menitikberatkan pada diskusi keagamaan dan kegiatan-kegiatan NU serta anggotanya.
Di dalam Rubrik Keislaman di NU Online, sebagai contoh, diulas sejumlah artikel dan berita seputar tafsir, khutbah, hikmah keagamaan, hingga ekonomi syariah. Tulisan-tulisan itu berisikan kajian-kajian tafsir dan hadist dari sudut pandang yang beragam khas NU.
Misalnya, dalam ekonomi syariah ada artikel yang mencontohkan siapa yang paling bertanggung jawab atas rusaknya suatu lahan karena ternak. Si pemilik ternak-kah, atau orang kedua yang membawa atau mengundang masuk ternak tersebut ke dalam lahan orang lain. Dengan menggunakan analogi dari kejahatan lain, termasuk pembunuhan, penulis artikel itu merujuk pada pendapat para ulama dari kitab kuning, buku-buku klasik hingga modern. Si pemilik ternak itu boleh jadi ikut bersalah dan harus menanggung beban ganti rugi atas pemilik lahan.
Namun, ulama membedakannya lebih jauh dengan meneliti peran pihak kedua sebagai penyebab langsung hewan ternak itu masuk ke dalam lahan orang lain. Pembayaran ganti rugi tidak dijatuhkan semena-mena, melainkan dibebankan secara berkeadilan dan kepada orang yang tepat.
Di era media sosial (medsos), Pemimpin Redaksi NU Online Achmad Mukafi Niam mengatakan, NU Online memanfaatkan berbagai platform, seperti twitter, facebook, instagram, dan youtube untuk menyebarkan pandangan moderat. Dalam melihat sesuatu persoalan, NU Online tidak menggunakan satu kacamata tunggal, melainkan membuat perbandingan madzhab untuk meluaskan cakrawala pembaca. Empat madzhab yang dipakai ialah Syafii, Maliki, Hambali, dan Hanafi.
Empat madzhab itu boleh jadi berbeda dalam melihat suatu persoalan. Oleh karena itu, NU tidak mudah mengafirkan atau menyalahkan pandangan keagamaan yang berbeda. Sebab segala sesuatunya dikembalikan kepada konteks kehidupan manusia itu berada, tidak semata-mata berpaku pada pemahaman tekstual. Oleh karena itu, nilai-nilai kelokalan di mana umat berada, kearifan budaya, tidak dijauhi, bahkan turut mewarnai. "NU berada di tengah dalam perbedaan madzhab itu," kata Niam.
Upaya membangun narasi balik tentang Islam yang moderat di medsos memang menjadi salah satu tugas berat dari NU Online di tengah-tengah maraknya akun-akun yang menyebarluaskan pemahaman keagamaan yang cenderung intoleran dan mudah menyalahkan pihak-pihak yang tidak satu pemahaman. Kondisi itu di samping merugikan umat, juga tidak sehat bagi kehidupan bangsa dan negara.
Medan Dakwah yang Baru
Peran serta organisasi Islam moderat dalam melawan narasi kekerasan antara lain menjadi kunci dalam menghadang pemahaman-pemahaman yang mudah menuding kafir dan menyalah-nyalahkan orang lain. NU sendiri sebagai organisasi beserta kader-kadernya tengah berbenah diri menghadapi medan dakwah yang sama sekali baru.
Niam mengatakan, upaya bersaing dalam narasi keagamaan memang harus dilakukan di era medsos, karena orang kini banyak mengakses internet melalui telepon pintarnya. Kelompok menengah ke atas dengan akses pada internet dan kesejahteraan yang lebih baik, termasuk kelompok milenial, adalah sasaran bagi konter-narasi paham keagamaan yang keras dan pemarah.
"Memang tidak mudah, karena harus diakui saat ini akun-akun dan website dengan muatan keislaman dengan pandangan keras semacam itu lebih mendominasi wacana di ruang publik, terutama di dunia maya. Sejumlah website dengan pandangan lebih moderat juga berupaya mengimbangi supaya wacana keislaman tidak melulu diisi pemahaman yang ekstrem," tutur Niam menambahkan.
Selain alif.id dan NU Online, ada pula Islami.co dan bincangsyariah.com, yang antara lain menampilkan narasi keislaman moderat. Pengisi rubriknya adalah para jurnalis, pengajar, kyai, akademisi, dan santri, serta pemerharti keislaman moderat dari berbagai latar belakang.
Pengorganisasian dan pengelolaan media itu pun relatif sederhana. Alif.id, misalnya, bahkan belum memiliki kantor. Para editornya yang berjumlah lima orang bekerja secara remote melalui telepon pintar dan komputer masing-masing di tempat tinggal mereka. Kelenturan metode kerja di dunia digital memungkinkan artikel-artikel itu tetap bisa disunting tanpa harus "ngantor."
Kontributor tulisan-tulisan itu sebenarnya berasal dari komunitas yang beragam, sekalipun dengan pemahaman keagamaan yang umumnya moderat dan dekat dengan pandangan NU. "Ada juga dukungan dari sejumlah kementerian dan institusi untuk jalannya organisasi. Dukungan berupa sponsor maupun program-program kerja sama dalam menangkal ekstremisme," kata Niam.
Wakil Sekretaris Jenderal PBNU Masduki Baidlowi mengatakan, NU menyadari sebagai sebuah organisasi keagamaan yang menjunjung tinggi politik kebangsaan, harus pula bergelut dengan kekinian.
"Jangan sampai NU kalah dalam narasi keislaman, sebab kalau tidak mampu mengikuti arus zaman, terutama untuk orang-orang yang hidup di perkotaan, pemahaman keagamaannya bisa tergelincir ke pandangan yang cenderung intoleran kepada orang yang berbeda," katanya.
Secara organisasi, NU juga menggelar madrasah-madrasah bagi kader NU hingga di cabang-cabang untuk mengenalkan mereka tentang medsos, dan upaya membangun narasi keagamaan itu melalui dunia digital. Bagi warga NU yang kerap dilabeli dengan "Islam tradisional", hal ini memang memerlukan proses. Santri yang sehari-harinya mengaji dan mengkaji, kini kian intens dikenalkan dengan dunia maya yang jauh dari kehidupan mereka sehari-hari. Sebagian pesantren tidak membolehkan siswanya membawa ponsel selama kegiatan belajar mengajar.
Upaya untuk mengejar ketertinggalan di dunia digital itu terus diikhtiarkan oleh anak-anak bangsa yang peduli dengan narasi keagamaan yang lebih menentramkan. Upaya itu memang belum sepenuhnya berhasil meredam paham-paham keagamaan yang ekstrem dan cenderung intoleran. Akan tetapi, sedikit banyak, upaya itu memberi oase di tengah wacana keagamaan yang kian hari menyesakkan dada lantaran tiada keramahan, harapan, kerap dipenuhi kebencian serta nafsu perang, hingga konten-konten yang dapat meluruhkan fitrah welas asih kita...