Kemunculan ”buzzer” di media sosial kerap dikaitkan dengan penggiringan opini publik yang politis. Karena sebagian tindakan ”pendengung” itu tak dilakukan dalam koridor etis, hal ini bisa merusak adab demokrasi.
Oleh
Rini Kustiasih
·5 menit baca
Perspektif dalam memahami fenomena buzzer atau pendengung ini beragam, tergantung pada sudut pandang yang diambil. Namun, apabila ditarik ke belakang, posisi buzzer dan situasi media sosial saat ini sebenarnya sejalan dengan teori lama dalam ilmu komunikasi yang berkembang sejak akhir tahun 1920-an.
Mazhab behaviourism dari teori komunikasi menyimpulkan, massa sebagai the sitting duck atau bebek yang sekadar diam menerima pesan dari media massa. Audiens yang diasumsikan sebagai bebek yang diam ini dipandang sebagai sasaran tembak yang empuk untuk proyek propaganda dan kampanye narasi politik tertentu. Harold Lasswell, dalam bukunya Propaganda Technique in The World War (1927), adalah pakar yang pertama kali menggambarkan teknik komunikasi ini sebagai the bullet theory atau teori peluru, yang mengandaikan pesan dari media ”mengenai” langsung audiens, dan diterima mentah-mentah.
Pandangan terhadap audiens sebagai ”bebek yang diam” ini meskipun dikritik para pengkaji mutakhir komunikasi, tetap relevan pada beberapa kasus. Maraknya hoaks atau kabar bohong yang diterima mentah-mentah pada era medsos, sehingga membuat kehebohan, bahkan kerusuhan, menunjukkan the bullet theory masih relevan. Dua prasyarat berjalannya teknik komunikasi ini ialah keberadaan massa yang tidak kritis dan tidak berhati-hati dalam menerima pesan. Selain itu, juga keberadaan penghasil pesan yang kini bisa berasal dari mana saja, siapa saja, bahkan anonim.
Pemakai jasa ”buzzer”
Diskusi dimulai dengan pembahasan isu hangat di masyarakat tentang maraknya penggunaan jasa buzzer untuk membangun narasi politik. Para pengguna buzzer ini tidak terbatas pada politikus dan swasta, tetapi juga pemerintah, sebagaimana dipaparkan kajian Oxford Internet Institute (OII).
Dalam kajian itu, sejumlah pemerintah memakai jasa buzzer, seperti China dan Rusia. Meskipun Indonesia tidak disebutkan dalam kajian itu sebagai contoh pemerintah yang memakai jasa buzzer, informasi yang berkembang di medsos ialah sebaliknya. Banyak pertanyaan muncul soal apakah Pemerintah Indonesia juga memanfaatkan buzzer untuk membangun narasi.
”Pemerintah memang membutuhkan penyampai informasi yang positif, tetapi itu dilakukan melalui kanal KSP RI dan web site presiden,” kata Eko.
Dia menegaskan, berdasarkan studi OII, tidak ada pasukan siber yang dikelola Pemerintah Indonesia. Pengguna jasa buzzer itu ialah kelompok politik dan pihak swasta, bukan pemerintah.
Eko Kunthadi yang aktif di Twitter mengatakan, ia mendukung Jokowi dalam Pemilu Presiden 2019. Sampai sekarang kegiatannya ”ngetwit” dilakukan secara sukarela, bukan atas bayaran. Hal serupa, katanya, juga dilakukan masyarakat lainnya. Menurut dia, hal itu wajar-wajar saja sebagai bentuk dukungan publik.
Namun, menurut Adhie M Massardi, buzzer wajib diwaspadai karena berpotensi merusak demokrasi. Informasi menyesatkan di medsos bisa berbahaya bagi masyarakat. Menurut dia, tidak ada teori di mana pun di dunia yang menyebutkan ”pendengung” berkontribusi positif pada demokrasi. Buzzer bukan bagian dari pembangunan opini publik.
”Saya melihat buzzer ini seperti sarana propaganda atau agitasi seperti yang dulu pernah dilakukan Nazi (Jerman di era Hitler). Hanya saja ini dilakukan di medsos,” katanya.
Konten yang disampaikan buzzer dinilai Addie tidak beretika lantaran tidak substansial dan terkadang menjadi tidak adil karena orang-orang yang kritis kepada pemerintah justru dihantam. Buzzer ini diduga ada yang mengorganisasi sehingga tema-tema dan topik yang disuarakan cenderung senada.
Menurut Adhie, mulanya pihak yang ”beternak” buzzer ialah lembaga survei atau konsultan politik yang mengusung calon tertentu dalam kontestasi politik. Mereka bekerja dengan mengeksploitasi kebaikan kandidat yang diusung.
”Karena banyak kandidat yang diusung kurang kompeten, mereka kemudian mengeksploitasi keburukan lawan politiknya. Selanjutnya, setelah kandidat yang diusung menang, mereka (buzzer) lalu diambil alih pemenang,” kata Adhie.
Mengenai makna peyorasi buzzer, Haris Azhar tidak sepenuhnya setuju dengan Adhie. Namun, ia sepakat ada buzzer yang menyerang personal seseorang dan tanpa keahlian tertentu berkomentar tentang berbagai hal di medsos. Para buzzer ini menyasar kelompok orang tertentu, termasuk yang kritis terhadap pemerintah, bahkan menguntit kehidupannya.
”Ada yang kehidupannya dipotret 24 jam dan diikuti berhari-hari, lalu diunggah di internet. Sayangnya, ada sejumlah website yang tidak bermutu juga memuat itu,” katanya.
Haris mengatakan, dalam praktik pendengung semacam itu, ia sepakat konten informasi yang disebarkan tidak bermutu dan merusak adab demokrasi. Mereka tidak beretika dalam bertindak. Menurut dia, dalam berkomunikasi di ruang publik, pendengung harus menyampaikan data yang benar dan tidak menyerang personal atau mengungkap data pribadi seseorang dengan tujuan mendiskreditkan.
Eko Kunthadi tidak sependapat dengan Haris karena siapa pun kini bisa berkomunikasi di medsos. Bukan hanya pakar yang boleh berpendapat di medsos. ”Medsos justru meruntuhkan sekat-sekat itu karena publik bisa mengungkapkan pendapatnya, tergantung cara berkomunikasinya,” ujarnya.
Posisi medsos
Agus Sudibyo menilai, ada kebingungan dalam melihat posisi medsos. Apakah medsos sarana komunikasi interpersonal ataukah sarana komunikasi publik. Apabila medsos merupakan sarana komunikasi interpesonal, syarat-syarat berkomunikasi di ruang publik yang beretika tidak dipersyaratkan untuk dipenuhi. Namun, realitasnya, kini sulit menyatakan medsos sebagai komunikasi antarpribadi semata karena pesan antara dua atau tiga orang bisa dilihat ribuan, bahkan jutaan orang sekaligus.
”Saya pikir, medsos sekarang adalah media arus utama. Oleh karena itu, komunikasi yang dilakukan di medsos adalah komunikasi publik. Dengan demikian, etika komunikasi publik harus diterapkan. Pendengung harus by name, tidak boleh anonim, dan harus bertanggung jawab atas apa yang ia ungkapkan di medsos,” kata Agus.
Agus membagi pendengung menjadi dua tipe, yakni mereka yang bekerja secara sukarela dan yang bekerja dengan pengorganisasian tertentu.
Pada praktiknya, perang narasi di medsos tergambarkan dalam kajian Drone Emprit. Hari Ambari menunjukkan hasil pemetaan yang dilakukannya atas percakapan di Twitter mengenai topik-topik tertentu, misalnya isu pelemahan KPK, demo mahasiswa dan pelajar, bahkan isu desakan kepada mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said agar membuka keburukan pemerintah. Dalam peta itu terlihat akun-akun mana saja yang pertama kali mencuit isu itu dan kuadran mana yang kontra terhadap narasi itu.
”Biasanya ada dua pihak, yang pro dan kontra, terhadap suatu isu. Tetapi tidak tertutup kemungkinan ada pihak lainnya, yakni pihak ketiga, atau giveaway yang berusaha masuk trending topics untuk merebut perhatian netizen,” ujarnya.
Konten, menurut Hari, menjadi hal yang harus dipertimbangkan dalam menilai posisi pendengung. Hal senada diungkapkan Haris Azhar yang menilai pendengung pun bisa berperan sebagai pendengung yang baik bila tujuannya baik.
Terlepas dari peran pendengung, apakah baik atau buruk bagi demokrasi, satu hal yang menentukan ialah literasi digital masyarakat. Tanpa literasi digital yang memadai, masyarakat berpotensi menjadi the sitting duck yang mudah teracuni disinformasi dan kabar bohong. Daya kritis masyarakat menjadi antitesa terhadap narasi palsu.