JAKARTA, KOMPAS — Penggunaan media sosial sebagai sarana penyebaran paham radikal membuat sasaran pengaderan kelompok radikal tidak terbatas, baik usia maupun lokasi domisili. Hingga Jumat (15/3/2019), tim Detasemen Khusus 88 Antiteror telah menangkap tujuh terduga teroris yang memiliki hubungan dengan jaringan Abu Hamzah.
Selain Abu Hamzah alias Husain, ketujuh anggota jaringan itu yang telah ditangkap adalah AK alias Ameng, P alias Ogel, RG alias R, A, R, Y alias Khodijah, dan RS alias PS. Mereka ditangkap di tiga wilayah berbeda, yaitu Sibolga (Sumatera Utara), Klaten (Jawa Tengah), dan Bandar Lampung (Lampung).
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Dedi Prasetyo menjelaskan, jaringan teroris Abu Hamzah menggunakan media sosial untuk menyebarkan propaganda. Kelompok itu, lanjutnya, telah menyebarkan video dan konten propaganda yang berisi ancaman kepada anggota kepolisian.
”Kelompok Abu Hamzah juga telah menghadirkan fenomena baru, yaitu merekrut perempuan untuk terlibat dalam aksi teror. R dan Y alias Khodijah adalah perempuan yang telah direkrut Abu Hamzah,” ujar Dedi di Markas Besar Polri, Jakarta, Jumat (15/3/2019).
Kelompok Abu Hamzah juga telah menghadirkan fenomena baru, yaitu merekrut perempuan untuk terlibat dalam aksi teror. R dan Y alias Khodijah adalah perempuan yang telah direkrut Abu Hamzah.
Adapun R adalah janda dari tersangka teroris AN yang tewas ketika hendak ditangkap tim Densus 88 Antiteror Polri, Oktober lalu, di kediamannya di Tanjung Balai, Sumatera Utara. Abu Hamzah telah berencana untuk menikahi R dan menjadikan R sebagai istri kedua. Sementara itu, Y, yang ditangkap di Klaten, juga telah aktif mengatur penyebaran konten radikal di dunia maya. Bahkan, Y juga telah merencanakan aksi teror dengan sasaran anggota kepolisian.
Video yang disebarkan oleh kelompok Abu Hamzah merupakan aksi teror jaringan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) di seluruh dunia serta ledakan di dekat lokasi debat presidensial kedua di kompleks Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta.
”Kita akan terus menganalisis dan mengantisipasi pola baru aksi teror yang direncanakan kelompok teroris, seperti merekrut perempuan dan anak-anak. Model perekrutan itu meniru serangan NIIS di Afghanistan, Irak, dan Suriah,” kata Dedi.
Direktur Eksekutif Yayasan Prasasti Perdamaian Taufik Andrie mengatakan, kelompok teroris menggunakan media sosial karena praktis dan efisien. Melalui pengaderan di media sosial, kelompok teroris tidak perlu lagi menggunakan langkah panjang untuk pengaderan, misalnya melalui pengajian rutin. Bahkan, proses radikalisasi cenderung dialami generasi muda, baik laki-laki maupun perempuan.
Selain itu, penyebaran konten radikal juga jauh lebih mudah. Itu karena jaringan kelompok teroris cukup menyalin konten atau video yang ditemukan di internet untuk disebarkan ke grup aplikasi pesan instan.
”Untuk melakukan radikalisasi di dunia maya tidak membutuhkan keahlian khusus. Secara teknis mudah karena proses radikalisasi dan doktrin juga hanya menyalin dan menyebarkan kembali konten dari informasi yang telah tersedia di media sosial,” kata Taufik.
Oleh karena itu, Taufik menekankan, perlu ada kerja keras dari pemerintah dan elemen masyarakat untuk memperkuat narasi kontra radikal di media sosial. Di sisi lain, kepekaan masyarakat di lingkungan sosial juga diperlukan agar mampu mendeteksi secara dini kehadiran individu yang teradikalisasi.