JAKARTA, KOMPAS —Tentara Nasional Indonesia masih berupaya menyelesaikan masalah manajemen sumber daya manusia yang menyebabkan kelebihan jumlah perwira menengah dan tinggi TNI. Namun, upaya restrukturisasi dan reorganisasi TNI itu diharapkan tidak bertentangan dengan agenda reformasi TNI.
Saat ini, ada kelebihan jumlah perwira menengah dan tinggi TNI. Akibatnya, ratusan perwira menengah dan tinggi tanpa jabatan. Restrukturisasi itu akan dilakukan. Salah satunya dengan menempatkan sejumlah perwira tinggi TNI yang ”menganggur” ke sejumlah kementerian dan lembaga sipil. Hal ini menjadi solusi jangka pendek.
”Ini soal teknis saja, manajemen sumber daya manusia. Tidak sama dengan dwifungsi ABRI yang menduduki jabatan politik seperti bupati,” kata Kepala Pusat Penerangan TNI Mayor Jenderal Sisriadi saat berkunjung ke kantor harian Kompas, Selasa (12/2/2019).
Menurut dia, saat ini sudah tak ada lagi doktrin peranan sosial dan politik di dalam TNI. Ia mengatakan, penambahan institusi sipil yang diduduki perwira militer aktif sebenarnya sudah dilakukan walau institusi sipil itu tak disebutkan dalam UU TNI. Kedua institusi ini adalah Badan Keamanan Laut (Bakamla) dan Badan Nasional Pemberantasan Terorisme (BNPT).
Reformasi TNI
Pada kesempatan terpisah, Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari 28 organisasi, seperti Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Imparsial, menyatakan, penataan organisasi militer perlu didasarkan pada pertimbangan dinamika lingkungan strategis guna meningkatkan efektivitas organisasi dalam menghadapi ancaman. Namun, hal ini perlu dilakukan dengan tetap berpijak pada fungsinya sebagai alat pertahanan dan mempertimbangkan aspek ekonomi.
”Penataan organisasi TNI harus mempertimbangkan aspek reformasi TNI sehingga tak boleh bertentangan dengan agenda reformasi TNI itu sendiri,” kata Al Araf dari Imparsial.
Koalisi menilai, rencana penempatan militer aktif pada jabatan sipil melalui revisi UU TNI tidak tepat. Penempatan TNI aktif pada jabatan sipil bisa mengembalikan fungsi kekaryaan TNI yang dulunya berpijak pada doktrin dwifungsi ABRI (fungsi sosial-politik) yang sudah dihapus sejak reformasi.